Tuesday, September 24, 2013

Sejarah BANTEN

Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro – Tegal Lalang, Gianyar, sekarang) .

Kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro.

Jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air, dan api disebut “Bali”, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Jadi yang dinamakan orang Bali mula-mula adalah penduduk Taro.

Lama kelamaan ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau, sehingga pulau ini dinamakan Pulau Bali, dalam pengertian pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali, lebih tegas lagi pulau di mana penduduknya melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara (Bali).

Tradisi beragama dengan menggunakan banten kemudian dikembangkan oleh Maha Rsi lain seperti: Mpu Sangkulputih, Mpu Kuturan, Mpu Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, dan Mpu Nirartha.

Sejak kapan sarana upakara itu berubah nama dari “Bali” menjadi “Banten” dan mengapa demikian, sulit mencari sumber sastranya. Beberapa Sulinggih yang saya hubungi ada yang menyatakan bahwa banten asal kata dari wanten mengalami perubahan dari kata wantu atau bantu.

Jadi banten adalah alat bantu dalam pemujaan, sehingga timbul pengertian bahwa bali atau banten adalah “niyasa” atau simbol keagamaan.

Umat Hindu melaksanakan ajaran Agama-nya antara lain melalui empat jalan/ cara (marga), yaitu: Bhakti marga, Karma marga, Jnana marga, dan Raja marga.

Bhakti marga dan Karma marga dilaksanakan sebagai tahap pertama yang lazim disebut sebagai “Apara bhakti”, sedangkan tahap berikutnya sesuai dengan kemampuan nalar diri masing-masing dilaksanakan Jnana marga dan Raja marga yang disebut sebagai “Para bhakti”.

Pada tahap apara bhakti pemujaan dilaksanakan dengan banyak menggunakan alat-alat bantu seperti banten, simbol-simbol dan jenis upakara lainnya, seterusnya pada tahap para bhakti penggunaan banten dan simbol-simbol lainnya berkurang.

Umumnya di Bali keempat marga itu dilaksanakan sekaligus dalam bentuk upacara Agama dengan menggunakan sarana banten yang terdiri dari bahan pokok: daun, bunga, buah, air ,dan api. Sarana-sarana itu mempunyai fungsi sebagai:

Persembahan atau tanda terima kasih kepada Hyang Widhi.Sebagai alat konsentrasi memuja Hyang Widhi.Sebagai simbol Hyang Widhi atau manifestasi-Nya.Sebagai alat pensucian.Sebagai pengganti mantra.Karena demikian sakralnya makna banten maka dalam Yadnya prakerti disebutkan bahwa mereka yang membuat banten hendaknya dapat berkonsentrasi kepada siapa banten itu akan dihaturkan/ dipersembahkan.

Dalam Buku Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu sebagai hasil Paruman Sulinggih yang disahkan PHDI disebutkan bahwa seorang Tukang Banten hendaknya sudah mensucikan diri dengan upacara Pawintenan (sekurang-kurangnya ayaban Bebangkit).

Tujuannya adalah agar Tukang Banten sudah mengetahui tata cara dan aturan-aturan dalam membuat banten misalnya dengan konsentrasi penuh melaksanakan amanat pemesan banten yang akan mempersembahkannya kepada Hyang Widhi.

Di kala membuat banten kesucian dan kedamaian hati tetap terjaga, antara lain tidak mengeluarkan kata-kata kasar, tidak dalam keadaan kesal atau sedih, tidak sedang cuntaka, tidak sedang berpakaian yang tidak pantas, menggaruk-garuk anggota badan, atau membuat banten di sembarang tempat.

Disimpulkan bahwa ketika membuat banten, dikondisikan situasi yang suci, sakral, konsentrasi penuh, rasa bhakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi. Lihatlah ketika banten disiapkan untuk upacara besar di Besakih, tempat membuat banten disebut sebagai “Pesucian” yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang atau orang yang tidak berkepentingan.

“Dewasa” atau hari baik untuk mulai membuat banten ditetapkan dengan teliti oleh para Sulinggih. Dalam puja-stuti pereresik banten juga diucapkan doa agar banten tidak dilangkahi anjing, ayam, atau dipegang oleh anak kecil, atau orang yang sedang cuntaka. Beberapa jenis banten utama bahkan hanya boleh dibuat oleh Sang Dwijati, misalnya Catur, dan Pangenteg Gumi.

Untuk menegaskan penting dan sakralnya banten, Mpu Jiwaya salah seorang tokoh pemimpin Agama di abad ke-10 mengajarkan membuat “reringgitan” dengan bahan daun kelapa, enau atau lontar. Reringgitan itu kadang demikian sulit sehingga konsentrasi kita harus penuh. Jika tidak, bisa reringgitannya rusak atau tangannya yang teriris pisau.

No comments:

Post a Comment