Tuesday, September 24, 2013

Raja - Raja Bali

Prasasti adalah ketetapan resmi yang dikeluarkan oleh para raja Bali-Kuno. Prasasti menjelaskan tentang aturan yang telah disepakati bersama. Teks prasasti jarang menjelaskan tentang asal usul keturunan para raja itu. Karena tidak dijumpai secara pasti nama keturunannya, juga secara parsial terputus tahun prasasti yang dikeluarkan dari raja satu ke raja yang lain, maka menimbulkan berbagai macam penafsiran tentang kisah peristiwa apa yang telah terjadi dalam kehidupan mereka terdahulu. Adakah hubungan kekerabatan antara raja satu dengan raja sebelumnya, berapa lama mereka  berkuasa, tahun berapa mereka meninggal dan dimana dicandikan? Adakah terjadi pengambilalihan kekuasaan secara paksa dari kerabat dekat raja maupun dari orang luar?

Sejarah pemerintahan raja-raja Bali-Kuno, tidak ditemukan peralihan kekuasaan dengan cara paksa, dalam arti jika sang raja meninggal, tapuk pemerintahan akan digantikan oleh istri dan atau
anaknya. Apabila sang anak masih kecil, belum cukup umur untuk berkuasa, maka akan digantikan oleh sang paman atau kerabat dekat raja yang lain. Apabila ‘buntu’ tak ada yang mau menggantikan,
maka akan dipakai metode yang lain, melaui jalan ‘niskala’, dengan jalan minta petunjuk “nedunang ida bhatara” Hal seperti ini terlihat dalam teks Purana Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh, dimana Sri
Pasung Grigis, seorang nyuklabrahmacari (tidak kawin seumur hidup), untuk mencari penggantinya sebagai orang suci di Pura Lempuyang, Gamongan, Karangasem.

Setelah terkumpul salinan naskah-naskah kuna itu, lalu kita telisik, prasasti satu dengan yang lain dirunut menurut angka tahun dan nama raja yang mengeluarkan prasasti itu. Kadang-kadang terlihat
nama samar, dengan perkataan lain, beda nama tetapi orangnya satu, misalnya, antara Raja Sri Jayasakti, Sri Gnijaya Sakti, Sri Gnijaya dan Sri Ragajaya. Masa pemerintahan ke empat nama raja ini, menurut tahun prasasti dan purana, yang dikeluarkan berkisar tahun 1119–1177 Masehi. Dalam prasasti nama Sri Gnijaya Sakti dan Sri Gnijaya tidak muncul, jadi tidak ada prasasti yang dikeluarkan, sebagaimana umumnya raja raja yang lain. Begitu pula dengan raja Sri Ragajaya, hanya mengeluarkan satu prasasti yang disebut Prasasti Tejakula, tahun Isaka 1077/1155 Masehi. Sedangkan Raja Sri Jaya Sakti mengeluarkan prasasti terakhir pada tahun Isaka 1072/1150
Masehi, yang disebut Prasasti Sading Kapal. (Poeger, 1964:105). Tetapi dalam naskah Purana Bali Dwipa, Piagem Dukuh Gamongan, Prasasti Pura Puseh, Sading, Kapal, Purana Pura Batu Karu, Purana Pura Pucak Bukit Gede, dan beberapa naskah lainnya, akan terlihat jelas kisah kehidupan para raja Bali-Kuno itu. Disamping itu, dalam purana tidak disebutkan prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para raja.

Teks Piagem Dukuh Gamongan dan Prasasti Pura Puseh Sading, Kapal, nama raja Sri Jaya Sakti identik dengan Sri Gnijaya Sakti, begitu juga putranya diberi nama sama dengan ayah kandung Sri
Gnijaya juga (tanpa ident sakti di belakang namanya). Dalam Piagem Dukuh Gamongan, Sri Gnijaya menjadi raja Bali Isaka 1051/1129 Masehi. Purana Bali Dwipa, Sri Jaya Sakti meninggal dunia Isaka
1072/1150 Masehi. Sedangkan nama Sri Ragajaya tidak muncul dalam purana manapun, Dalam kamus Jawa Kuna (Zoetmulder, 1994:899), kata raga artinya warna merah, Warna merah identik
dengan warna Api atau Gni. Dari analisis ini raja Sri Ragajaya adalah nama lain dari Sri Gnijaya, raja ini banyak menjadi titik awal dalam penulisan piagem, purana, babad, prakempa, pamancangah lainnya yang ada di Bali masa kini.

Demikian pula setelah Raja Sri Aji Hungsu berkuasa muncul nama Sri Walaprabhu yang menggantikannya. Raja Walaprabhu mengeluarkan tiga prasasti yang disebut Prasasti Babahan, Klandis, Babi A, menjadi raja Bali tahun 1079–1088 Masehi (Semadi Astra, 1977:21).

Dalam purana, raja Sri Walaprabhu tidak muncul nama itu, yang muncul menggantikan Sri Aji Hungsu adalah Sri Sakalindu Kirana, anak dari Sri Aji Hungsu yang beribu bangsawan. Hanya
satu prasasti yang dikeluarkan raja Sri Sakalindu Kirana yang disebut prasasti Pengotan, Isaka 1010/1088 Masehi. Padahal dalam Purana Bali Dwipa, Purana Pura Pucak Bukit Gede, Raja Sri Sakalindu Kirana berkuasa selama 20 tahun dan digantikan oleh adiknya Sri Suradipa yang berkuasa selama 15 tahun.

Dengan demikian Walaprabhu diperkirakan seorang janda yang menjadi raja, kemungkinan setelah Sri Aji Hungsu meninggal, kemudian tapuk pemerintahan diganti oleh sang permaisuri yang
seorang janda, maka disebut Waluprabu dalam buku Mengenal Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat oleh Tim (2008:211) istri Sri Aji Hungsu disebut bhatari mandul di-pratista atau dicandikan di
Pura Penulisan. Atau analisis lain, dalam Kamus Jawa Kuna, kata walaprabhu berasal dari bahasa sanskerta, dari urat kata wala dan prabhu. Wala artinya muda, kekanakan, tidak tumbuh atau belum
berkembang penuh, muncul baru, tolol, junior. Prabhu artinya raja, Jadi walaprabhu artinya raja muda, raja junior. Dengan demikian setelah Sri Aji Hungsu meninggal tapuk pemerintahan digantikan oleh permaisuri bersama putri mahkota yang masih kecil, bersamasama menjadi penguasa Bali pada era itu.

Tetapi kebalikkan dari purana ini yaitu dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Aji Hungsu selalu menyebutkan, paduka haji anak wungsu kalih bhatari lumah ing burwan, bhatara lumah ing banu
wka, artinya, raja Sri Aji Hungsu setiap mengeluarkan prasasti selalu mencantumkan almarhumah ibunya yang dicandikan di Buruwan, dan almarhumah ayah yang dicandikan di Banyu Wka. Sedangkan dalam purana tidak muncul nama Sri Aji Hungsu mengatasnamakan almarhum kedua orangtuanya yang dikebumikan di Bhurwan dan Banu Wka. Yang dicandikan di Buruwan adalah Ibunda Sri Mahendradatta dan di Banu Wka (Gunung Kawi) dicandikan ayahnda yaitu Sri Udayana.

Demikian pula dengan nama raja Sri Ajnadewi yang berkuasa setelah Sri Udayana. Hanya satu prasasti dikeluarkan oleh raja Sri Ajnadewi yang disebut prasasti Sembiran, tahun Isaka 938/1016
Masehi. Pertanyaannya siapakah Sri Ajnadewi? Di dalam Purana Bali Dwipa, Sri Udayana meninggal dunia Isaka 940/1018 Masehi, dicandikan di Banu Wka. Sri Ajnadewi tidak muncul dalam purana mana pun. Begitu pula dalam teks Purana Bali Dwipa, tertulis Sri  Marakata berkuasa bersama-sama ibunya sebagai penguasa Bali pada era itu. Dalam Purana Pura Luhur Batukaru dijelaskan Raja Sri Marakata menjadi raja Bali Isaka 944/1022 Masehi.

Sedangkan dalam prasasti yang dikeluarkan tidak kelihatan bahwa raja Sri Marakata berkuasa bersama ibunya. Kalau boleh diartikan secara bebas, Sang Ajnadewi artinya seorang dewi yang mahir
dalam bidang ilmu waskita. Dalam dongeng serat calonarang yang ada di Bali, permaisuri Sri Udayana yang bernama Sri Mahendratta Gunaprya Dharmapatni sering dihubungkan ahli dalam ilmu mistis.Raja ini dimakamkan di Buruwan, dikuburanya terlukis arca Durga Mahisasura Wardhini. Arca ini menguatkan dugaan orang bahwa Mahendradatta sebagai penganut ajaran-ajaran ilmu gaib dan Dewi Durgalah yang menganugrahinya kesaktian. Jadi Sri Ajnadewi nama lain dari Sri Mahendratta Gunapriya Dharmapatni.

Begitu pula Raja Patih Kebo Parud dengan Raja Patih Sri Jayakatong adik kandung dari Sri Pasung Gerigis. Dalam prasasti Pengotan, tahun Caka 1218/1296 Masehi dan prasasti Sukawana, tahun Caka 1222/1300 Masehi, yang dikeluarkan oleh Raja Patih Makakasir Kebo Parud, berisikan persoalan Desa Kedisan dan Desa Sukawana yang terletak di perbatasan Balingkang.

Sedangkan menurut buku Negarakertagama dikatakan bahwa pada tahun 1284 raja Kertanegara telah menyerang Bali dan rajanya ditawan. Sayang sekali dalam buku Negara Kertagama tidak disebutkan siapa nama raja Bali itu. Dalam Purana Bali Dwipa dijelaskan raja Kertanegara ingin mengusai Bali yang tatkala itu menjadi senapati Bali adalah Raja Patih Kebo Parud. Dalam Piagem Dukuh Gamongan dijelaskan tahun Caka 1238/1318 Masehi, Sri Jayakatong sebagai penguasa di kerajaan Batahanar dan mendirikan Pura Gaduh, Blahbatuh. Setelah raja patih Sri Jaya Katong yang menjadi raja adalah Sri Taruna Jaya, Sri Masula-Masuli dan Sri Astasura Ratna Bumi Banten, raja akhir
Bali Kuno.

Dari acuan di atas secara tegas menyebutkan yang menjadi pimpinan pemerintahan saat itu seorang Patih atau seorang Senapati bawahan raja yang mewakili dikeluarkannya prasasti tersebut. Dalam
skema silsilah Sri Karang Buncing bahwa Raja Patih Kebo Parud menjadi pucuk pimpinan setelah raja Sri Indracakru yang disebut juga Sri Sidhimatra, nama sama dengan sang ayah setelah menjalani
hidup suci. Raja Sri Indracakru menggantikan kakaknya yaitu Sri Dewa Lancana. Dimana putra dari Sri Dewa Lencana yaitu Sri Taruna Jaya masih kecil yang semestinya menggantikan ayahnya.
Karena kesenangan Sri Indracakru (Sri Sidhimantra) melakukan hidup suci mengikuti jejak para leluhur sebelumnya. Untuk menjalani roda pemerintahan diwakili oleh putranya yang nomor dua yaitu Sri Jaya Katong. Yang kemungkinan tatkala menduduki tapuk pemerintahan Sri Jaya Katong diberi gelar Raja Patih Makakasir Kebo Parud. Setelah Sri Taruna Jaya cukup umur untuk menjadi
raja maka Sri Jaya Katong pun melakukan hidup suci dengan mendirikan Pura Gaduh di Blahbatuh. Sri Jaya Katong merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan baru yang disebut Batahanar artinya
istana baru, dimana sebelumnya kerajaan Bali Kuno masih berada di Bali Utara, disebut kerajaan Singamandawa, sekarang menjadi nama kota Singaraja.

Perkembangan selanjutnya pusat kerajaan menyebar ke selatan daerah Pejeng, Bedulu dan Blahbatuh. Argumentasi lain pada era Kebo Parud muncul nama Kebo Iwa merupakan anak didik dari
Sri Jaya Katong. Jadi Kebo Parud bukan seorang patih dari Jawa. Dimana beberapa penekun sastra menafsirkan Kebo Parud seorang patih dari kerajaan Singosari.

Yang dipengaruhi oleh Kerajaan Singasari terhadap Bali adalah penyebaran paham baru yang disebut agama Bhairawa. Peninggalan paham Bhairawa sangat kentara pada masa kini dengan adanya peninggalan Patung Bhima di Pura Kebo Edan, Pejeng dan Patung Arca Pangulu (patung kepala) di Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh dan beberapa tinggalan lain yang tersebar di wilayah Gianyar. Dalam Piagem Dukuh Gamongan disebutkan Arca Pangulu maka lingganira hyang wawudateng artinya patung kepala merupakan simbol suci tuhan ajaran baru era itu.

Begitu pula dengan nama Sri Taruna Jaya identik dengan Sri Jayasunu. Catatan prasasti tembaga di Banjar Srokodan, Perbekel Abuan, Susut, Bangli, dialih aksara dan diterjemahkan oleh Putu Budiastra, disebut prasasti Srokodan (Bhatara Guru), satusatunya prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Taruna Jaya, tahun Isaka 1246/1324 Masehi untuk desa Hyang Putih dan sekitarnya.  Tetapi dalam Piagem Dukuh Gamongan, Sri Dewa Lancana menurunkan putra Sri Taruna Jaya. Tidak muncul Sri Taruna Jaya menurunkan putra buncing (kembar laki perempuan) Sri Masula dan Sri Masuli. Dalam Purana Bali Dwipa muncul Sri Jayasunu mempunyai putra buncing bernama Sri Masula dan Sri
 Masuli setelah menjadi raja diberi gelar Sri Bhatara Mahaguru Dharmotungga Warmadewa, gelar ini identik dalam prasasti Tumbu Isaka 1247/1325 Masehi.

Tetapi Sri Jayasunu satupun tidak ada mengeluarkan prasasti sebagai mana raja yang lain. Sedangkan dalam salinan lontar Aji Murti Siwasasana ning Bwana Rwa, milik Desa Pakraman Gamongan,
muncul nama Sri Jayasunu yang mengeluarkan pedoman itu disaat rapat besar di Majapahit. Dan beberapa purana lain muncul nama Sri Jayasunu yang menjadi pedoman awal dalam penulisan.

Salinan lontar Aji Murti Siwa Sasana dan Purana Bali Dwipa tersebut diatas tidak secara tegas tahun berapa naskah itu ditulis, siapa yang dimaksud dengan Sri Jayasunu? Siapakah orang tua Sri
Jayasunu? Kamus Jawa Kuna, oleh P.J. Zoetmulder (1994:1147), sunu artinya putra, anak, keturunan. Jadi Sri Jayasunu artinya raja keturunan Jaya. Tidak terdapatnya prasasti-prasasti Bali yang
dikeluarkan oleh raja Sri Jayasunu, membuat kekaburan perjalanan sejarah keturunan raja-raja Bali-Kuno. Yang dimaksud keturunan Jayasunu (turunan jaya) disini adalah turunan dari Sri Jaya Sakti nama lain Sri Gnijaya Sakti yang menjadi raja Bali pada tahun Isaka 1041/1119 Masehi, yang menurunkan 5 putra. Putra ke dua dari Sri Jaya Sakti bernama Sri Maha Sidhimantradewa, menurunkan putra bernama Sri Dewa Lancana, menurunkan putra Sri Taruna Jaya. Dengan demikian Sri Taruna Jaya adalah turunan Jaya juga, tiga generasi setelah Sri Jaya Sakti. Dari analisis ini Sri Jayasunu adalah turunan Jaya versi purana, identik dengan Sri Taruna Jaya turunan Jaya versi Prasasti Srokodan dan Piagem Dukuh Gamongan. Begitu pula dengan keberadaan Sri Batu Ireng identik dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten, raja Bali tahun 1337 Masehi. Dalam prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Bali Kuno, satu pun tidak tercatat nama raja Sri Batu Ireng. Setelah menjadi raja diberi gelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten 

Demikian juga dengan Sri Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing. Dalam mitologi yang dikenal masyarakat Bali hingga kini, Kebo Iwa adalah seorang patih sakti pada masa akhir Bali-Kuno. Ia
digambarkan seorang lelaki bertubuh besar, tinggi, gagah perkasa serta sakti. Kebo Iwa disebut-sebut bertempat tinggal di Blahbatuh, sebelah baratdaya kota Gianyar. Selain sebagai patih sakti, Kebo Iwa
dikenal juga sebagai seorang arsitek (undagi). Banyak bangunanbangunan kuno sebagai hasil karyanya. Tetapi dalam prasasti yang dikeluarkan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, satu pun tidak muncul nama Kebo Iwa sebagai mahapatih kerajaan Badhahulu dan kisah kehidupannya.

Secara administratif, dalam Prasasti Langgahan, Isaka 1259/1337 Masehi, yang dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, terdapat beberapa senapati (mahapatih) kerajaan yang
menyaksikan dikeluarkannya prasasti di kala itu, antara lain, senapati kuturan makakasir mabasa sinom (sang mahapatih di wilayah kuturan bernama makakasir mabasa sinom), sang senapati sarbwa
makakasir candri lengis, sang senapati wrasanten makakasir jagatrang, sang senapati dinganga makakasir gagak lpas, dan beberapa senapati lainnya.

Kebo Iwa hanyalah sebagai penjaga pos keamanan untuk daerah Batahanyar dan Blahbatuh, Ki Tambyak penjaga pos keamanan di Jimbaran, Ki Bwahan di Batur, Si Tunjung Tutur di Tenganan,
Ki Pasung Grigis di Tengkulak, serta para ksatria lainnya yang menyebar di jagat Bali. Sedangkan dalam purana, prakempa, babad, pamancangah, lainnya Kebo Iwa adalah mahapatih kerajaan
Badhahulu. Sedangkan dalam Purana Pura Luhur Pucak Padang Dawa, Kebo Iwa diberi sebutan bhatara amurbeng rat, dewa gede kebo iwa, bhatara gede sakti, bhatara guru, dan sebagainya.
Demikian juga dengan Sri Karang Buncing, karena nyineb wangsa (menutup asal usul), sehingga dalam kehidupan sosial di masyarakat ada menyebut, arya karang buncing, gusti karang buncing, prabali karang buncing, pasek karang buncing, sri arya karang buncing, karang gaduh, bendesa karang buncing, arya kedi dan soroh karang lainnya.

Munculnya perbedaan identitas tersebut berdasarkan guna karma, tugas dan fungsi keturunan beliau saat itu. Tatkala keturunannya menjabat sebagai kepala desa, bendesa karang buncing sebutannya. Tatkala keturunannya mendapat tugas pemerintahan Dalem (Majapahit), arya karang buncing sebutannya. Sedangkan keturunan yang berasal dari pertapa raja raja Bali Kuno di Desa Gamongan, persebaranya warga dukuh sebutannya. Tatkala ada pengelompokkan dalam penulisan babad antara nak jawa dan nak bali atau keturunan berasal dari Jawa dan orang Bali, prabali karang buncing disebutnya. Jika keturunannya mamarekan (mengabdi) di keluarga dalem atau yang berkasta lebih tinggi, pasek karang buncing disebutnya, dan sebagainya. Sesungguhnya kata-kata Karang Buncing yang berbeda itu berasal dari Sri Karang Buncing adik kandung Sri Kbo Iwa yang hidup pada masa peralihan pemerintahan Bali Kuno ke Majapahit. Beliau berdua adalah keturunan akhir raja-raja Bali Kuno dan misan mindon (sepupu) dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Disamping kesepakatan warga dalam Mahasaba, nama Sri Karang Buncing yang dipakai momentum oleh keturunannya masa kini di dalam mendekatkan diri kepada Hyang Kawitan (leluhur) dan Hyang Widhi/ Tuhan.

Sekilas dapat disimpulkan, bila penulisan awal sejarah Bali hanya bersumber dari prasasti prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang bersangkutan, akan terlihat mereka berkuasa sangat pendek, ini
terlihat berdasarkan awal dan akhir tahun prasasti yang dikeluarkan. Dalam prasasti tidak tertulis hubungan kekerabatan raja satu dengan raja yang lainnya, dan tidak kelihatan kisah kehidupan mereka. Sedangkan dalam purana kadang-kadang mereka berkuasa melebihi dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan, serta asal asul dan kisah peristiwa yang terjadi kepadanya sangat jelas. Sedangkan apabila hanya purana, piagem, babad, prakempa, pemancangah yang dipakai pedoman dalam penulisan awal sejarah Bali tanpa didukung data sejarah yang dikeluarkan pada zaman orangnya sendiri maka teks itu akan mengambang dalam arti masih diragukan kebenarannya. Hanya orang-orang penting yang berkuasa pada zamannya akan tercatat dalam buku sejarah Bali.

Sri Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing banyak mempunyai nama samar, tergantung masyarakat hendak menggambarkan beliau itu dari sisi yang mana, apakah kisah kehidupannya mau dimitoskan,
dilecehkan, dipolitisir, dibudayakan, disucikan, atau dihilangkan dan sebagainya, tentunya akan berdampak mendoktrin pikiran generasi selanjutnya tentang perjalanan sejarah Bali.

Runutan nama raja yang berkuasa di Bali, bersumber dari Prasasti,
Purana, Piagem, Babad, Prakempa dan Pamancangah lainnya, adalah
sebagai berikut:
1. Sri Kesari Warmadewa (isaka 804-837)
2. Sri Ugrasena (isaka 837-864).
3. Sri Haji Tabanendra Warmadewa (877-889).
4. Sri Jaya Singa Warmadewa (isaka 892).
5. Sri Janasadhu Warmadewa (isaka 897).
6. Sri Maharaja Cri Wijaya Mahadewi (isaka 905).
7. Sri Dharmodayana + Mahendradata (isaka 911-933).
8. Sri Sang Ajnadewi (isaka 938).
9. Sri Wardana Marakata (isaka 944-948).
10. Sri Haji Hungsu (isaka 971-999).
11. Sri Walaprabu (isaka 1001-1010).
12. Sri Sakalindu Kirana (isaka 1010-1023).
13. Sri Suradhipa (isaka 1024-1041).
14. Sri Jaya Sakti (isaka 1055-1072). 
15. Sri Gnijaya (isaka 1072-1077).
16. Sri Ragajaya (isaka 1077-1099).
17. Sri Maharaja Haji Jaya Pangus (isaka 1099-1103).
18. Sri Hekajaya Lancana (isaka 1103-1122).
19. Sri Adi Kuti Ketana (isaka 1122-1126).
20. Sri Adi Dewa Lancana (isaka 1126-1172).
21. Sri Indra Cakru (isaka 1172).
22. Rajapatih Kebo Parud (1206-1222).
23. Rajapatih Sri Jaya Katong (isaka 1222-1238).
24. Sri Taruna Jaya (isaka 1238-1246).
25. Sri Masula-Masuli (isaka1246-1250).
26. Sri Astasura Ratna Bumi Banten (isaka 1259-1265).
27. Kyayi Agung Pasek Gelgel (isaka 1265-1272).
28. Dalem Samprangan (isaka 1272).
29. Dalem Gelgel/Sri Kresna Kepakisan (isaka1302).
30. Dalem Waturenggong (isaka 1382). 

Nama keluarga akan berbeda setelah menjadi raja sesuai gelar yg diberikan oleh kerajaan, begitu pun setelah jadi raja dan melakukan hidup suci akan ganti nama juga ,,,

DAFTAR PUSTAKA

Beberapa data sekunder yang dipakai pedoman dalam penulisan atikel ini dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi, sebagai berikut:

1) Prasasti, adalah aturan resmi yang dikeluarkan oleh raja pada zamannya sendiri disaksikan strukturisasi pemerintahanya. Teks prasasti jarang menjelaskan tentang asal usul keturunan para raja
itu. Prasasti umumnya ditulis diatas tembaga, batu, perunggu, tahan ribuan tahun, sangat disucikan dan di stanakan di pura.

2) Purana,isinya menceritakan kejadian yang telah lewat tentang kisah para raja serta keturunannya dan dikaitkan dengan mitos para dewa yang berstana di gunung sekitarnya. Purana ditulis diatas daun
lontar menjadi pedoman untuk kelanjutan dari pangemong dan pangempon pura itu. Dalam purana tercatat nama leluhur warga yang merintis keberadaan sejarah pura. Purana pun disimpan di pura.

3) Piagem, adalah pegangan dari kelompok warga (klen) yang isinya menceritakan kisah leluhur mereka terdahulu dan keterkaitan dengan keberadaan purana dan prasasti dari pura tertentu.

4) Prakempa, adalah pegangan dari klompok warga (klen) yang isinya menceritakan sekelumit jejak leluhur mereka yang hanya ada di desa setempat.

5) Babad adalah cerita yang didengar, dari mulut ke mulut, bisa bersumber dari nak kerauhan (trance) atau hasil perenungan seseorang lalu ditulis dan dikait-kaitkan dengan nama tertentu, tanpa sumber sejarah yang jelas, menjadi milik pribadi.

6) Hasil deskripsi seseorang dalam persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi. Ironisnya jika para akademisi memakai acuan babad dalam menulis suatu karya ilmiah lalu dijadikan pedoman oleh umat kebanyakan maka hasilnya bertentangan dengan apa yang tercantum dalam prasasti dan purana.

No comments:

Post a Comment