Wednesday, September 25, 2013

TATA TITI LENGKAP INDIK NGABEN

PENGERTIAAN NGABEN DAN PITRA YADNYA


Ngaben sering dipersepsikan dengan arti negatif yaitu “ngabehin” (berlebihan). Ada pula yang menyebut “ngabin” atau nampa. Ada juga yang mengartikan “Ngabuin” (menjadikan abu. Ngaben asal katanya “Api”, mendapat prefix ang menjadi “ngapi”, kemudian mendapat suffix “an” menjadi “ngapen”. Kemudian terjadi perubahan fonem P menjadi B menjadi ngaben.  Upacara ngaben merupakan proses pengembalian unsur Panca Maha Butha kepada Sang Pencipta. Kekuatan Panca Maha Butha menciptakan adanya “Stula Sarira” yaitu Pertiwi (kulit), Teja (darah daging), Akasa (urat-urat), Bayu (tulang belulang), Apah (sumsum). Ada juga yang mengartikan lain, ngaben berasal dari kata beya (biaya atau bekal). Dari ngaben muncul kata meyanin atau ngabeyanin yang disingkat menjadi ngaben. Ngaben juga disebut sebagai Pitra Yadnya (Lontar Yama Purwana Tattwa). Pitra artinya leluhur atau orang yang mati, yadnya adalah persembahan suci.
Runtutan upacara Pitra Yadnya
1.    Upacara Atiwa-tiwa
2.    Upacara Pengabenan
3.    Upacara Pemukuran  (Penyekahan)
4.    Upacara Pengelemijian
5.    Upacara Pengrorasan (pada pengabenan)
6.    Upacara Nilapati (ngunggahang Betara Hyang)
Tahapan ini dapat diringkas menjadi empat bagian yaitu:
1.    Atiwa-tiwa
2.    Pengabenan
3.    Pemukuran/Penyekahan/Pengerorasan
4.    Nilapati.
Upacara Atiwa-tiwa memiliki tatanan upacara sebagai berikut:
1.    Ngeringkes (Upacara mebersih dan penyucian atau ngeringkes).
2.    Upacara menghaturkan Saji Pitra
3.    Upacara Pepegatan
4.    Upacara Pengiriman
5.    Upacara Pengrorasan

MAKNA UPACARA ATIWA-TIWA
Asal kata Atiwa-tiwa: Ati = berkeinginan, Awa =  terang atau bening atau bersih. Artinya: Keinginan melaksanakan pebersihan dan penyucian jenasah dan kekuatan Panca Maha buthanya. Atiwa-tiwa juga disebut upacara melelet atau upacara pengeringkesan. Merupakan upacara pebersihan dan penyucian secara permulaan thd jenasah dari kekuatan Panca Maha Butha. Dikenal dg Puja Pitara utk meningkatkan kesucian Petra menjadi Pitara.
Ngeringkes atau Ngelelet pengertiannya adalah pengembalian atau penyucian asal mula dari manusa yaitu berupa huruf2 suci sehingga harus dikembalikan lagi. Manusia lahir diberi kekuatan oleh Sang Hyang Widhi berupa Ongkara Mula, didalam jasad bermanifestasi menjadi Sastra Mudra, Sastra Wrestra (Nuriastra) dan Sastra Swalalita. Ketiga kekuatan sastra ini memberi makna Utpti, Stiti, Pralina (lahir, hidup, mati). Ketiga sastra ini kemudian bermanifestasi lagi memberi jiwa kepada setiap sel tubuh. Sebagai contoh Sastra Wrestra (Nuriastra) antara lain:
1.    A = kekuatan pada Ati Putih
2.    Na = kekuatan pada Nabi (pusar)
3.    Ca = cekoking gulu (ujung leher)
4.    Ra = tulang dada (tulang keris)
5.    Ka = pangrengan (telinga)
6.    Da = dada
7.    Ta = netra (mata)
8.    Sa = sebuku-buku (sendi)
9.    Wa = ulu hati  (Madya)
10. La = lambe (bibir)
11. Ma = cangkem (mulut)
12. Ga = gigir (punggung)
13. Ba = bahu (pangkal leher)
14. Nga = irung (hidung
15. Pa = pupu (paha)
16. Ja = jejaringan (penutup usus)
17. Ya = ampru (empedu)
18. Nya = smara (kama)

Tubuh manusia memiliki 108 Sastra Dirga (huruf-huruf suci) yang pada waktu meninggal sastra2 itu dikembalikan ke sastra Ongkara Mula atau disebut Ongkara Pranawa. Proses pengembalian ini disebut Ngeringkes yang memerlukan upacara dan sarana. Atiwa-tiwa sudah merupakan pensucian tahap permulaan, sehingga setelah atiwa-tiwa jenasah sudah bisa digotong dinaikkan ke paga atau wadah. Jika dikubur tanpa atiwa-tiwa sesungguhnya jenasah tidak boleh digotong, tetapi dijinjing karena masih berstatus Petra.

FILOSOFI PENGABENAN DARI GUGURNYA RESI BISMA
Pengabenan umat Hindu menggunakan filosofi yang diambil dari Gugurnya Resi Bisma dalam perang Berathayudha ditengah Kuru Setra. Badannya penuh dengan panahnya Sang Arjuna. Setelah rebah bdanya sama sekali tidak menyentuh tanah krena disangga ribuan panah. Resi Bisma gugur karena pembeyaran sumpahnya Dewi Amba yang reinkarnasi menjadi Sri Kandhi. Senjata Sri Kandhi yang pertama kali menembus kekebalan badannya Resmi Bisma, setelah kekebelannya hilang sbg pembayaran sumpahnya Dewi Amba, kemudian senjatanya Dresta Jumena dan ribuan panahnya Arjuna menembus seluruh tubuh Resi Bisma. Nilai-bilai yang dapat diambil dari sini adalah:
1.    Resi Bisma. Resi adalah orang yang telah mencapai tingkat kesucian tinggi. Dari sini diambil filosofi bahwa jasad harus melalui proses penyucian. Bisma berasal dari kata Wisma atau tempat atau wadah, yaitu wadahnya Sang Jiwatman atau Stula Sarira atau unsur-unsur Panca Maha Butha. Kata Resi Bisma mengandung filosofi proses penyucian terhadap Panca Maha Butha.
2.    Sri Kandhi. Sri = sinar suci (Div) kemudian menjadi Dewa. Kandi = kanda = dudonan atau tahapan.
3.    Dresta Jumena: Dresta = pedoman
4.    Seribu panahnya Sang Arjuna (Sang Dananjaya) = Dana dan Jaya artinya tulus iklas. Angka 1000 diambil dari angka Samkhiya adalah mengembalikan unsur Panca Maha Butha dari alam Bhur Loka ke Swah Loka (kehadapan Sang Pencipta).
5.    Mohon toya pemanah (Toya Manah). Air minum yang diminta oleh Rsi Bisma diberikan oleh Duryudhana mempergunakan sebuah Kundi Manik sebagai simbul indriya, ditolak oleh Rsi Bisma sebagai simbol penolakan indria (tidak lagi ngulurin indria), lalu minta kepada Arjuna, digunakan  sebuah anak panah (manah = intuisi = keneh, suara hati), air muncrat dari tanah (air klebutan). Ini merupakan dasar filosofi Manah Toya. Tirta Pemanah artinya: toya berasal dari sindhu atau hindu atau windhu artinya kosong atau sunya. Pemanah artinya: pe dan manah = alam pikiran. Tirta Pemanah = untuk mengembalikan  Panca Maha Butha berdasar ketulusan hati.
6.    Tiga anak panah sebagai bantal Rsi Bisma sbg simbul leluhur, juga mengandung makna Gegalang pisang kayu dan pis bolong 250 kepeng.
7.    Air untuk membersihkan badan diminta kepada Duryudana, diberikan menggunakan tempayan emas, tapi ditolak, sebagi simbul penolakan segala gemerlap duniawi.  Arjuna menggunakan dua panah dipanahkan keatas kmd panah pertama jatuh diatas kepala Resi Bisma, dan panah yang satunya lagi jatuh di kaki. Oleh karena itu pembersihan harus dimulai dari kepala. Dari sini diambil filosofi Toya Penembak yang diambil dari Campuhan pada tengah malam tanpa lampu (gelap) dan diambil oleh sanak keluarga. Maknanya sebagai sarana pemrelina mantuk maring Sangkan Paran (Ah … Ang) dan untuk menetralisir awidyanya sang lampus. Toya Penembak: pe = pemutus; nembak = pembuka jalan. Tirta Penembak: untuk memutuskan agar terbentuk jalan ke Sunya Mertha.
8.    Menjelang menghembuskan nafas terakhir Rsi Bisma berpesan kepada Arjuna agar jasadnya dibakar menggunakan senjata Geni Astra yang disimbulkan sebaga tirta pengentas. Tirta Pengentas: Pe = pegat, ngen = ngen-ngen = trena, tas = hangus. Tirta Pengentas untuk memutuskan dan menghilangkan Tresna agar kembali kepada kekuatan amertha yaitu ke Siwa Merta.
9.    Senjatanya Dresta Jumena adalah pelukatan. Dresta = sima = adat. Jumene = jumeneng = dikukuhkan sebagai pedoman.
10. Page yang dipakai untuk pebersihan menggunakan paga karena badan Resi Bisma tidak menyentuh tanah melainkan ditunjang oleh panah.
11. Penggunaan page dan leluhur merupakan ciri unsur bhur, bwah, swah loka.

UPAKARA ATIWA-TIWA
1.    Upakara Munggah di Kemulan
Peras, soda, daksina, suci alit asoroh, tipat kelanan, canang suci.
2.    Upakara Munggah di Surya
Peras, soda, daksina, tipat kelanan, canang pesucian
3.    Upakara disamping jenasah
Peras, soda, daksina. Tipat kelanan. Banten saji pitara asele. Peras pengambean, penyeneng, rantasan. Eteh-eteh pesucian, pengulapan, prayascita, bayekawonan. Banten isuh-isuh, lis degdeg (lis gede), bale gading (Kereb Akasa).
4.    Upakara Pepegatan
Pejati asoroh, banten penyambutan pepegatan angiyu, sebuah lesung, segehan sasah 9 tanding.
5.    Upakara Pengiriman
Pejati lengkap 4 soroh (termasuk pekeling di Prajapati), Saji Pitra asele, punjung putih kuning, tipat pesor dan nasi angkeb, Peras Pengambean, segehan sasah 9 tanding.
6.    Upakara Pengentas Bambang
Pejati lengkap asoroh, tumpeng barak, soda barak ulam ayam biying mepanggang, prayascita, bayekawonan, pengulapan, segehan barak atanding.
7.    Upakara di Sanggah Cucuk
Pejati asoroh, canang payasan, banten peras tulung sayut.

UPACARA PENGABENAN MEWANGUN
Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga upakaranya banyak. Ngaben jenis ini diikuti dengan Pengaskaran. Ada dua jenis: (1) Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang matah.  (2) Upacara Pengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi disimbulkan dg  adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan. Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul). Wedana = rupa atau wujud. Dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa2an (simbolis manusia).

UPACARA PENGABENAN PRANAWA
Pengabenan dengan sarana upakaranya ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri manusia. Pranawa berasal dari kata Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9). Kesembilan lobang yang dimaksud adalah:
1.    Udana (lobang kening), mempengaruhi baik buruknya pikiran
2.    Kurma (lobang mata) mempengaruhi budhi baik atau buruk , terobos ke dasendriya
3.    Krkara (lobang hidung), pengaruh Tri Kaya, jujur atau tidak
4.    Prana (mulut). Dosa bersumber dari mulut (Tri Mala Paksa)
5.    Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan mempengaruhi manah – sombong dan durhaka
6.    Samana (lobang pepusuhan), pengaruh jiwa menjadi loba dan serakah.
7.    Naga (lobang lambung)  pengaruh karakter yang berkaitan dg Sad Ripu
8.    Wyana (lobang sendi) pengaruhi perbuatan memunculkan Subha Asubha Karma.
9.    Apana (pantat  kemaluan) pengaruhi kama yg berkaitan denga Sapta Timira.
Kesembilan lobang manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa. Pengabenan Pranawa juga diikuti dengan upacara pengaskaran.


Ada lima jenis Pengabenan Pranawa
1.    Sawa Pranawa: Disertai jenasah atau watang matah
2.    Kusa Pranawa :  dg watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.
3.    Toya Pranawa. Sama dg Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh2 pengentas. Juga memakai Pengaskaran.
4.    Gni Pranawa. Sama dengan pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah tunggal. Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya  memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.
5.    Sapta Pranawa. Upaca ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan pengaskaran. Tapi tidak menggunakan Bale Paga pd waktu mengusung jenasah ke setra. Hanya menggunakan pepaga/penusanganb.  juga dilaksanakan langsung di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata bambang.

PENGABENAN SWASTHA
Pengabenan sederhana, dengan tingkat terkecil  karena tidak dengan pengaskaran. Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang. Tidak  menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut. Hanya menggunakan peti jenasah  dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra. Pelaksanaan upacara di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.
Swasta asal katanya “su” (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama. Pengabenan swstha terdiri dua jenis:
1.    Pengabenan Swastha Geni. Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenasah. Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.
2.    Pengabenan Swastha Bambang. Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah. Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan “pengandeg bambang”. Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan penganyutan , karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur. Sedangkan “pengelemijian” dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti ngaben biasa. Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.
3.    Pengabenan Kerthi Parwa. Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama. Dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang. Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja. Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.
4.    Pengabenan Ngelanus. Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan. Hanya teknisnya yang dibuat cepat. Ada dua jenis:
a.    Ngelanus Tandang Mantri. Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”. Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.
b.    Ngelanus Tumandang Mantri. Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka . Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.

TATA CARA NYIRAMANG LAYON
Persiapan sarana
1.    Tirta:
a.    Tirta penglukatan pebersihan dari wiku
b.    Tirta peleletan dari wiku
c.    Tirta Pekuluh dari mrajan.
d.    Tirta khusus:
                                          i.    Tirta Pengentas Bangbang: selesai atiwa-tiwa jika jenasah akan dikubur atau mekingsan di Gni, sebaiknya menggunakan tirta diatas agar sewaktu-waktu bisa ngaben. Jika tidak maka sebelum setahun tidak boleh ngaben
                                        ii.    Tirta SH Prajapati: bila jenasah dikubur atau mekingsan di Gni mempergunakan tirta ini, krn tirta ini memiliki kekuatan pengembalian ke sumbernya. SH Prajapati bersifat Mulaning Mula (wit = sumber). Prajapati adalah tempat kehidupan bermula.
2.    Persiapan sarana pebersihan
Toya kumkuman, Sisig ambuh, Sisir dan petat, Minyak rambut, Wastra pesalin sepradeg, Boreh kuning, Kain pengusap rai, Kain pengusap raga.
3.    Persiapan Sarana Penyucian:
a.    Gegaleng 1 ijas pisang kayu 9 atau 11 bulih, belayag berisi uang kepeng 225/250 biji, tebu ratu mesurat sangka paran, semuanya dibungkus kain putih. Ada juga yang menyebut Bantal Segi Tiga sebagai gegaleng.
b.    Momon (cincin mirah Windhusara) utk ngerajah dan momon. Simbul menetralkan sifat serakah manusia (momo) semasa hidupnya. Juga untuk mencegah bau busuk. Secara niskala simbul Jiwatma yang telah meninggalkan jenasah.
c.    Beberapa lembar kain putih yang dirajah huruf Modre (kajang).
d.    Simbul penyucian organ tubuh sensitif yang menimbulkan kama dan indriya selama hidupnya. Penukup yang dimaksud ialah: Penukup Siwa dwara (ubun-ubun), Penukup dua daun telinga, Penukup lambe (mulut), Penukup muka atau prerai, Penukup purus atau baga (kemaluan).
e.    Sebatang tebu ratu dan batang kayu sakti, disurat sbg Panca Datunya.
f.      Wewalungan (tulang belulang) yang dirangkai diletakkan diatas layon.
g.    Umbi skapa diiris-iris (usapang pada setiap persendian jenasah, sbg simbul penyucian wyana dari dasa prana).
h.    Daun intaran (simbul ardha Chandra). Kuncup kembang melati (pusuh menuh) untuk lubang hidung simbul SH Waruna. Bunga teleng putih (slagan alis)
i.      Daun delem (untuk telinga) sbg simbul SH Kwera.
j.      Malem 2 pulung (untuk lubang telinga), simbul apah, simbul Sang Blegode.
k.    Keramas (santen berisi air dapdap). Blonyoh putih (beras kencur), blonyoh kuning (beras kencur temutis). Juga bebek anget-anget. Kapas.
l.      Pecahan cermin 2 buah untuk kedua netranya. Simbul Teja (SH Surya Candra).
m.   Tali penyalin secukupnya
n.    Bebek (serbuk cendana) secukupnya. Taburi seluruh tubuh sbg simbul Pertiwi (SH Carman).
o.    Sebidang daun tunjung berisi kain hitam dan semburan (boreh) rempah-rempah utk sedaka lanang. Sedaka istri memakai sebidang daun tuwung bolo 3 lembar dilapisi kain hitam berisi rempah2 (anget2) pada kemaluan, simbul SH Smara.
p.    Pisau “sudha mala” atau pemutik untuk mekerik (lanang), pisau mejejahitan untuk istri. Pisau Sudha Mala (ujungnya tri sula) utk menetralisir kekuatan Sadripu dan Sapta Timira yang kelak mempengaruhi perbuatan (karmanya). Dari Tatwa: penyucian Dewa Kuku (SH Kenaka Manik) yang telah dikotori perilaku manusia (lontar Tutur Agastyaprana).
q.    Dua untai benang tetebus (benang putih) untuk ituk-ituk. Untuk ikat ibu jari kaki dan tangan. Simbul penyatuan Panca Budhindriya dengan Panca Karmendriya agar menyatu dengan manah untuk kembali ke Ahamkara.
r.     Sebuah ante dari bambu, ditulisi aksara suci di bagian kepala, ulu hati dan kaki. Sebidang tikar plasa yang sudah dirajah
s.    Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom dibuat dari daun enau muda dan bunga pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm, panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga tergantung hasil Tri Kayanya (Karma Wasana).
t.      Upakara Beyakala, jejaritan Bale Gading dan lis degdeg.
u.    Kain putih untuk menggulung. Kain putih melelancing dengan lapis kain 11 lapis (untuk kajang solas)
v.     Dua lempeng perak dibungkus tiga helai daun kayu sakti sebagai pegembelnya. Kepingan waja 4 tebih (untuk gigi) simbul Bayu, simbul dari SH Bayu.
w.   Peti jenasah yang sudah diupacarai, tumpang salu, pepelengkungan. Ancak saji: pagar tempat jenasah dibaringkan.
x.     Kain putih berisi sesuratan dedayang sebagai sarana ulon.
y.     Sebuah pelepah Pisang Udang Sabha (warga Pasek sesuai Bhisama menggunakan daun biyu kaikik), nantinya ditindih oleh jenasah. Ditulis huruf “Rwa Bhinneda”. Kata Udang = Uda + Ang. (Uda = air = Wisnu = Ung) (Ang = Ah = Sunia). Daun Pisang Udang Saba bermakna: “karmanyalah menentukan sorga (sunya loka) atau tidak.

4.    Persiapan tempat pebersihan yaitu Pepaga atau pandyusangan atau penusangan. Pemandian sawa sebagai simbul bumi, dibuat dg kawat mas, perak tembaga (tridatu). Diberi alas tikar dan pandan berduri sebelum dipakai. Pepaga (penusangan) dibuat dari bambu (kalau bisa bambu kuning), bertiang empat tingginya 175 Cm, ujung atas dari tiang dipasangi leluwur. Pepaga dibuat setinggi puser sang “yajamana” (pemilik upacara), dipasangi leluwur. Pojok timur laut dari tiang dipasang 11 uang kepeng sebagai simbul tingkatan alam sunia yg dituju. Panjang bambu dua jengkal lebih dari ukuran jenasah dengan lebar 80 Cm atau sesuai lebar jenasah. Galarnya menggunakan perhitungan “Ante” (cekur, pinggang, nyawan, galar, ante, guling). Etika pemasangan: jika laki tengahnya menengadah lainnya tengkurep, wanita sebaliknya.
5.    Persiapan peti jenasah (simbul kekuatan maya SHW). Pada bagian kaki dilubangi sebesar “aguli” (ajari tengah) sebagai jalannya Panca Maha Butha keluar dari maya menuju alam “Sapta Petala”. Lubang dibagian kepala adalah jalan keluar jiwatma menuju Sapta Sunia. 
6.    Upakara ayaban setelah melelet diletakkan diwulu tempat layon (luanan), baik nista, utama atau madya. Contoh: Banten ayaban tumpeng 27, hulunya daksina gede sarwa 4 lengkap dengan banten sucinya, Banten Saji Tarpana, Banten Pulegembal, Banten Pengulapan, prayascita, bayekawonan.
7.    Seember air antiseptic (air + daun intaran/daun base, atau air diisi bahan kimia antiseptic yang dibeli ditoko) untuk cuci tangan orang ikut ngeringkes.
8.    Tata Cara Upacara Ngelelet
a)    Mengikuti subha dewasa peleletan, menunggu kesiapan krama banjar (perintah Klian banjar)
b)    Penurunan layon dari Bale Gede, dilakukan sanak keluarga, diserahkan kpd krama banjar dicacapan bale, keluarga tetap memopong bagian kepala. Menuju pepaga, posisi kaki layon tetap lebih dahulu.
c)    Pada waktu memandikan, layon tidak langsung ditelanjangi. Busana hanya dibuka bagian dada saja dulu.
d)    Wiku nyurat sastra diraga dengan cincin mirah. (AH – Nabi; Dasaksara – perut; Mang = ulu hati; Ang = bahu kiri; Ung = bahu kanan; Adu muka = selagan alis; Ang = ubun2.)
e)    Pertama kali keramas dengan toya ambuh, mesisig, bilas air bersih, bilas air kumkuman. Mantra ngeramasi: Om banyu klemukan, banyu pawitra pangilanging papa klesa, danda upata atemahan sudha nirmala yns. Ong2 angurah candra dimuka yns
f)     Keringkan rambut dan muka dengan kain putih. Rambut dipetat dan disisir. Pusung gelung gota (irtri) pusungan mudra lingga (lanang)
g)    Setelah keramas barulah busana dibuka seluruh, keluarga menutup bagian kemaluannya.
h)    Seluruh badan dibilas air biasa , gosok dg blonyoh (boreh kuning), dibilas. Setelah bersih barulah disirami air kumkuman secara merata, keringkan dengan kain. Mantra memandikan: Om sarira suda yns. Om gangga paripurna yns.
i)     Memakai busana kewikuan. Tirta Bayekala di kakinya saja, perciki tirta pebersihan dengan bale gading dan lis degdeg.
j)      Wiku memercikkan tirta kekuluh merajan (tirta aswapada Hyang Guru), dengan posisi tangan layon memegang sebuah kwangen berisi 11 pis bolong.
k)    Sanak keluarga mohon restu ke SH Raditya dg kwangen, posisi tangan di selagan alis, dan kwangen diletakkan di kaki layon. Mantra: Om Swargantu, Om Suniantu, Om Moksantu, Om Mursantu, Om Ksama Sampurna yenamah swaha. Sembahyang:
a)    Tangan puyung (utpeti sembah)
b)    Ke surya (SH Siwa Raditya) dg kewangen: mohon banugerah kekuatan widya kepada Sang Lina (Stiti sembah)
c)    Sembah ke Sang Lina sbg pengaksama agar sang lina melepas tresnanya kpd keluarga yg ditinggalkan

Selesai pebersihan (pebersihan hidup), dilanjutkan dengan penyucian atau Pengeringkesan sebagai berikut:
a)    Memasang gegaleng di kepala layon
b)    Wiku memercikkan tirta pengeringkesan ke seluruh tubuh
c)    Pengerikan kuku (dg pisau sudamala atau pisau banten). Kerikan kuku dibungkus tiga helai daun kayu sakti diletakkan di kaki layon.
d)    Memasang sarana Panca Dathu sbb:
d)    Wewalungan di atas dada layon
e)    Cermin di dua mata (simbul teja)
f)     Daun intaran pada kedua alis (ardha Chandra)
g)    Lempeng waja di gigi (SH Bayu)
h)    Bunga celeng putih selagan alis
i)     Malem pada lubang telinga
j)      Daun delem pada daun telinga
k)    Tali itik2 pd dua ibu jari tangan dan kaki
l)      Memasang kwangen:
1.    Penyolasan pd setiap persendian
2.    Kwangen jari: setiap kwangen berisi lima tubungan (diplintir sekecil2nya ujungnya diisi irisan bawang putih (lambing kuku). Juga kwangen jari kaki. Total membuat 20 tubungan.
3.    Memasang kwangen isi 33 kepeng pd panggul
4.    Kwangen di ulu hati: menghadap keatas berisi 2 kepeng, menghadap kebawah berisi 2 kepeng.
5.    Total semua uang kepeng yang digunakan 225 biji
m)  Penangkeb baga atau purus
n)    Memasang tebu yg sudah ditulis pd tulang punggungnya.
o)    Memasang sepotong kayu sakti yg sudah ditulis pd tulang dada
p)    Memasang momon pada rongga mulut.
q)    Memasang kajang (angkeb rai, karna, siwa dwara, cangkem, prana)
r)     Layon digulung dengan kaun penggulung, kemudian tikar, ante yang sudah disurat di bagian kepala–uluhati-kaki, ikat dg tali ketekung (tali rotan) yang sudah disurat, dipasang melingkar di bagian kepala, uluati, panggul. Tali lingkaran kepala dihubungkan ke bagian ulu hati dan bagian panggul. Tali rotan adalah simbul “melepaskan diri dari ikatan tali samsara (panumitisan). Maka perbaikilah karmamu yang asubakarma menjadi subakarma.
s)    Digotong ke bale gede dg posisi kaki layon didepan. Masuk peti, petinya sudah berada diatas tumpang salu.
t)     Memasang pelengkungan, diatasnya kain putih melelancing dengan lapis kain 11 lapis (kajang solas).
u)    Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom dibuat dari daun enau muda dan bunga pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm, panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga tergantung hasil Tri Kayanya (Karma Wasana).
v)    Setelah ngayab, dilanjutkan “Upacara Pepegatan”
w)   Wiku memuja ngaturang Saji Tarpana (Narpana Saji).

Tata cara diatas juga merupakan tata cara untuk meraga wiku. Sedikit penyederhanaan untuk ngelelet layon meraga welaka adalah sebagai berikut:
1.    Persiapan Sarana Pebersihan
a.    Air bersih dan air kumkuman
b.    Air keramas, sisig, minyak wangi
c.    Berbagai jenis bunga harum
d.    Pakaian seperadeg/pesaluk/pesehan (pakaian sembahyang lengkap)
                                          i.    Pesaluk hidup laki (kain, saput udeng)
                                        ii.    Pesaluk hidup wanita (tapih, kain, sabuk, kamben cerik
                                       iii.    Pesaluk mati, laki perempuan sama, kain putih untuk yang sudah kawin, kain kuning bagi yang belum kawin.
e.    Pakaian untuk ngulung dan kain putih.
f.      Tikar
g.    Samsan atau sekarura: beras kuning ditambah irisan daun temen diisi 33 pis bolong, ditempatkan dalam wakul yng dibungkus kain putih.
h.    Beberapa jenis tirta:
       i.    Tirta Penglukatan dan Pebersihan (untuk menghilangkan mala petaka atau pembersihan
              jenasah.
       ii.    Tirta Aswapada Betara Hyang Guru
       iii.    Tirta Pengresikan
       iv.    Tirta sesuhunan keluarga (pura2, kawitan, kemulan). Maksud: trita restu agar perjalanan
              lancer.
       v.    Tirta Kahyangan: pakeling bahwa sang atma akan menghadap ke kahyangan
      vi.    Tirta pengulung: diperecikkan pd waktu ngulung mayat.
      vii.    Tirta penembak: memandikan jenasah membersihkan kotoran lahir bathin.
      viii.   Tirta pengentas: tirta pemutus hubungan (memutuskan ikatan purusa. Tiuk pengentas
               adalah pisau untuk memutus hubungan.
      ix.    Tirta manah toya ning: adalah petitis keneh (manah).
      x.    Tirta prelina atma: agar jiwatma yang meninggal pergi kealam asalnya, tideak ngrebeda.
2.    Pelaksanaan Ngelelet
Sama dengan Wiku, hanya ngambuhin bagian duur dapat dilakukan penglingsir.
Pebersihan 10 prana sebagai dosa manusia sebagai “dasa mala”. Sepuluh prana itu ialah:
1.    Prana (lubang mulut)
2.    Udana (lobang kepala/kening)
3.    Samana (lobang pepusuhan)
4.    Wyana (lobang persendian)
5.    Kurma (lobang mata)
6.    Krkara (lobang hidung)
7.    Dewa Data  (lobang bibir)
8.    Dhananya (lobang tenggorokan)
9.    Naga (lobang lambung)
10. Apana (lobang dubur dan kelamin)

UPACARA PENGASKARAN


Ngaskara (askara=penyucian=pebersihan) adalah penyucian roh dari Atma Petra (roh orang baru meninggal) menjadi Pitara. Ketika kematian terjadi, prakerti (badan kasar) terpisah dg atma (roh) (antahkarana sarira) tapi masih diikuti oleh suksma sarira (alam pikiran, perasaan, keinginan, nafsu). Karenanya roh perlu dibersihkan dg askara (inisiasi). Oleh krn itu roh yang tidak diaben puluhan tahun akan berubah jadi Bhuta Cuil (roh yg tidak bersih) yang mengganggu kehidupan manusia
Pelaksanaan Ngaben harus diikuti upacara Pengaskaran untuk mengembalikan unsur Panca Maha Butanya secara sempurna, sehingga kesucian dari Sang Petra terus ditingkatkan, dari Petra menjadi Pitra, pitra menjadi Dewa Pitara, kemudian dari status Dewa Pitara menjadi Hyang Pitara atau Betara Hyang. Contoh puja masing-masing status tersebut adalah:
Status Petra: Om Tigantu Atma Petras ca, Tigantu Atma Petranam,  Tigantu Atma Petra, Sarwa yn Swadah.
Status Pitara: Om Jagrantu Pitara Ganem, Jagantu Pitara Ganem, Jagrantu Pitarah, Sarwa yn Swadah
Status Hyang Pitara: Ong Ayantu Pitara Dewa, Ayantu cariman pujam, Ayantu I A Se Te I, Siprathisto siprathisto, yn swadah, Ong nama wah pitaro suksma yn swadah. Ong namo wah pitara turya yn swadah. Ong nama wah pitaro ktan, yn swadah.

Pengabenan sepatutnya disertakan “Pengaskaran” (Samskara Atma Preta) baik Utama, Madya, Nista. Prinsipnya Petra itu harus diproses agar menjadi sifat pitara, kemudian disucikan lagi menjadi Dewa Pitara, disucikan lagi menjadi Hyang Pitara (Betara Hyang), agar bias distanakan di Pemerajan (Hyang Kemulan). Jika tidak melaksanakan Pengaskaran berarti belum sempurna penyucian terhadap Sang Petra, hal inilah yang dapat merusak jagat.

Upakara dasar Pengaskaran adalah sebagai berikut:
Upakara surya paling kecil memakai banten “Ardha Nareswari, Banten pebersihan, Banten Dyus Kamaligi, Banten pisang jati, Banten kerayunan, Banten Peguruyagan, dapat diganti dg banten Guru Piduka, Banten Penebusan, Banten Penebusan alit, Banten pengadang-ngadang, Laban Kalika, Caru ayam brumbun, Laban rare, Laban kawah, Laban Cikrabala dan Kingkarabala (tetandingan balung Gegending dan Ketupang

Sarana Pengaskaran
  1. Bale Pawedan (Pamiosan) untuk pandita. Jika di mrajan, Bale Piasan bisa digunakan untuk Pamiosan pandita. Dibuat leluhur.
  2. Banten pengajuman kajang, banten pemerasan.
  3. Sanggah surya: daksina, sesantun, suci 2 soroh, pejati, peras, pengambean, sesayut ardenareswri, rayunan putih kuning, rantasan, pesucian, klungah nyuh gading (dikasturi).
  4. Banten di sor sanggah surya: pejati dan suci asoroh, gelar sanga, segehan cacahan.
  5. Banten arepan sawa: banten ayaban (pemereman), uel kurenan, sesantun, suci, banten saji, panjang hilang matah lebeng, banten pengadang-ngadang, bubuh pirate putih kuning, nasi angkeb, penek catur warna, caru beten kolong sawa, diyuskamaligi, pejati, eteh-eteh pemetikan (gunting, blayag, tunjung putih), pemanahan, caru siap brumbun (caru tapakan sawa).
  6. Banten pengresikan: Prayascita, Bayekawonan, durmanggala, lis bale gading, pengulapan.
  7. Banten arep sulinggih: daksina gede, sesantun alit, suci asoroh, pejati, peras, pengambean, pemanisan, segehan warna lima asoroh.

MAKNA BERBAGAI SIMBUL PENGASKARAN
1.    Tirta Pengentas: Pe = pegat, ngen = ngen-ngen = trena, tas = hangus. Tirta Pengentas untuk memutuskan dan menghilangkan Tresna agar kembali kepada kekuatan amertha yaitu ke Siwa Merta.
2.    Tirta Pemanah artinya: toya berasal dari sindhu atau hindu atau windhu artinya kosong atau sunya. Pemanah artinya: pe dan manah = alam pikiran. Tirta Pemanah = untuk mengembalikan  Panca Maha Butha berdasar ketulusan hati.
3.    Toya Penembak: pe = pemutus; nembak = pembuka jalan. Tirta Penembak: untuk memutuskan agar terbentuk jalan ke Sunya Mertha.
4.    Pengawak Adegan: simbul dari Panca Maha Butha. Wakul simbul pertiwi, sampian simbul akasa, kwangen simbul apah, tongkat adegan simbul bayu, prerai simbul teja.
5.    Tiga Sampir: untuk memendak toya pemanah dan memendak daun beringin. Tiga sampir sebagai simbul tiga sosok apsari: Widyadari Nilotama, Widyadari Supraba, Widyadari Ken Sulasih. Ketiganya utusan Dewata untuk membawakan tirtha pawitra sebagai tirta penglukatan.
6.    Baju antakesuma: sebagai simbul kekuatan pelepasan dalam proses pengembalian Panca Maha Butanya kepada sumbernya dalam arti mengandung konsep Moksartham Atmanam.
7.    Payung Pagut: untuk mendak toya pemanah atau mohon daun beringin, sebagai simbul Bale Salunglung yaitu stana para Dewata mengadakan peparuman untuk memberikan keputusan kepada setiap mahluk di dunia yang Beliau kehendaki sesuai dengan kodratnya.
8.    Puspa Lingga: pada upacara pemukuran yang menjadi obyek penyucian adalah badan puspa lingga. Setelah Panca Maha Butha disucikan, kemudian distanakan di pengawak adegan. Tapi setelah menjadi puspa lingga, Panca Maha Buta menjadi Panca Tan Matra dan dibuatkan simbul sbb:
a.    Tangkai sekah dari bambu buluh gading sbg simbul Ganda Tan Matra
b.    Daun beringin sbg simbul Rasa Tan Matra
c.    Jemeknya (mirahnya) sebagai simbul Rupa Tan Matra
d.    Menurnya sbg simbul Sabda Tan Matra
e.    Namenya sbg simbul Sparsa Tan Matra.
9.    Kwangen Pengerekan (ngereka). Kwangen penyolasan untuk mengisi persendian berisi 225 uang kepeng (jumlahnya 9 artinya pranawa/pralina). Gegaleng 250 dijumlah menjadi 7 artinya sebagai simbul sapta sunia.
10. Daun beringin. SH Widhi pd waktu menciptakan seisi alam bermanifestasi menjadi SH Prajapati. SH Prajapati bermanifestasi menjadi SH Kalpa Wrksa dengan pangkal pohonnya berada di alam sorga, sedang ujungnya berada di alam semesta (Phon Beringin Sunya Mertha). Kalpa Wrksa ini bermanifestasi kea lam semesta sebagai:
a.    Ranting (bangsingnya) menjadi sarwa denawa, danuja dan sarwa raksasa
b.    Daunnya bermanifestasi menjadi kekuatan Panca Maha Butha
c.    Batang pohon bermanifestasi menjadi kekuatan urip dari semua mahluk
d.    Cabangnya menjadi karma dari semua mahluk dunia
e.    Bunganya menjadi sarwa dewa, sarwa dewata sbg kekuatan Betara di ala mini.
f.     Buahnya menjadi hukum Rta nya SH Widhi
g.    Setetes air yang gemerlapan di ujung daunnya sbg percikan atma ke  alam semesta ini (Lontar Praja Pati Tattwa).
11. Kekecer: sarananya: tangkai bambU, seuntai padi, bulu ayam, bulu angsa, kain sutra. Digunakan pd waktu jenasah diberangkatkan ke setra , kececer ditancapkan setiap 9 meter sambil menghaturkan banten peras jalan. Sebagai pembuka jalan dan mengandung konsep Moksrtam Atmanam. Padi = pada= padang = galang apadang. Bulu angsa = angesah artinya telahpergi. Bulu ayam = simbul panca maha butha. Kain sutra = panca maha butanya telah disucikan shg berwujud lebih halus.

URUTAN UPACARA PENGASKARAN
Upacara pengaskaran (Inisiasi) memisahkan pengaruh suksma sarira terhadap antah karana sarira (roh). Inisiasi dilakukan terhadap adegan (simbul atman atau roh atau purusa atau antah karana sarira) dengan melaksanakan dwijati terhadap roh yang meninggal, bukan jasadnya. Dwijati ditandai dengan acara pemetikan adegan.
Urutan upacara pengaskaran adalah sebagai berikut:
  1. Ngeringkes kajang, digulung oleh pemangku dg penglingsir dan keluarga. Letakkan kembali di Bale Pengajuman.
2.    Sang Pemuput melakukan:
a.    Ngarga Tirta
b.    Surya Sewana
c.    Ngangge Giri Pati Stawa
d.    Ngangge Brahma Stawa. Dll
3.    Untuk pengabenan welaka tingkat madya dan kanista boleh menggunakan tirta sudah puput (wiweka jnana).
4.    Mujanin pedudusan selengkapnya
5.    Tirta yang dibuat Sang Pemuput:
a.    Manah toya (jika belum manah toya ditempat toya). Membuat tirta pemanahan (manah toya) 3X pd tirta jun (air klebutan) dengan panah dan bunga teratai.
b.    tirta pareresik, tirta pengajum kajang, tirta pengringkes kajang, Tirta pasupati kajang dan pasupati adegan.
c.    tirta penembak. Air (tirta) ini dicari oleh keluarga pada tengah malam di air klebutan.
d.    tirta pebersihan, tirta saji, tirta pemerasan, tirta pengentas, tirta pralina, tirta penyaeb, utik gni pemrelina (Korek api dan kayu api khusus dipakai nyulut api pertama di pemuhunan).
  1. Memercikkan tirta ke kajang dan adegan.
7.    Ngutpeti Dewa Damar Kurung sampai selesai
8.    Ngutpeti Butha Petra
9.    Nguweci Desa, lalu mesirat keluhur dengan astra Sriyambhawantu.
10. Puja ngumpulang Dewa termasuk Hyang Prajapati
a.    Aturin Dewa Pratista
b.    Aturin udanjali dan pedudusan selengkapnya
11. Puja “Banten Penebusan” sampai selesai pemuktiannya
12. Lukat Sang Atma Banda”, ngeseng rebegeding atma petra dening puja “Merta Karani”
13. Angesahakna sang atma petra saking banten krayunan, surupakna maring adegan, didasari dengan puja pengupeti atmapetra, dan rangsukakna mantra “Unapa Bhiseka” selanjutnya disambung dengan Puja Ayantu Atma Petra paweha “Diyus Kamaligi”, lanjut Puja Tigantu, Tisthantu, lalu henengakna sang atma.
14. Lanjut “memuja keluhur”, ngaturang “puja pejaya-jaya” kehadapan Bethara dengan “Pradnya Paramitha”.
15. Nama Pengaksaran. Tuduhan sang Atma dening idep, muspa ring Betara Surya, Sang Hyang Prajapati, Betara Guru, dan kehadapan Betara Siwa Dharma untuk memohon penugrahan sebagai sisya pengaskaran serta memohon Nama Pengaskaran.
16. Penapakan: Memanggil sang atma untuk dibersihkan. Berikan wangsuh pada nilah, nyuwun kehadapan Betara Siwa Dharma kasinanggeh Dang Guru, kemudian ditapak dengan penuntun Surya (Sapta Ongkara) tidak dengan kaki sang pemuput, hanya dengan kekuatan jnana.
17. Mepetik. Ambil “pengerebodan” tiwakin kepada adegannya, kemudian mengambil gunting, bunga tunjung putih, lalang seset mingmang (panca mustika) idep megunting rambutnya secara panca muka, kenyataannya secara simbul megunting ampyagnya sebanyak 5 kali. Bekas guntingannya dimasukkan kedalam blayag dan diisi kwangen. Kemudian diberikan eteh2 pedudusan selengkapnya.
18. Kemudian dautaknya sang atma maserana bunga kalpika, melaksanaka Puja Pengesengan, agar menjadi ongkara sungsang nunggal kelawan sang pemuput mengaran ongkara madumuka. Seolah-olah sudah menunggal sang Sisya kelawan dangguru. Kemudian berikan tirta penglukatan, pebersihan dan puja pejaya-jaya, puja Pitra Byah, nama pitra, rangsukan mantra ke jero, jaya-jaya dengan Mantra Swaha Swada, pengidepnia sudah disaksikan oleh para leluhurnya yang telah berstana di pisang jati , selanjutnya mesirat di pisang jati.
19. Kemudian nguncarang Puja Gangjantu, Jagrantu, dan nguncarang Puja Dewa Pitara Pratistha, pangidepnia sang pemuput, disuruh Dewa Pitara mengingat sanak keluarganya, disinilah baru disertakan membaca Mpu Plutuk Aben dan Pustaka Adhi Parwa.
20. Selanjutnya Sang Pemuput mesirat keluhur, Ngaturang Dewa Buktem, serta Muktiang ke Dewa, kemudian mujanin Saji Dewa Tarpana, pemuktian saji kepada Dewa Pitara.
21. Selanjutnya mujanin banten bebangkit (kalau ada). Kalau tidak ada, hanya banten pengadang-ngadangnya saja, sampai selesai pemuktian.
22. Nguncarang Puja Pemerelina Butha.
23. Malih mesirat keluhur, jaya-jaya ring Betara ngangge Puja Indrani Kesama Jagatnatha.
24. Selanjutnya keluarga dituntun pengubaktiannya kehadapan:
a.    Sang Hyang Surya
b.    Sang Hyang Prajapati
c.    Sang Hyang Siwa Dharma
d.    Dewa Pitara
25. Terakhir Sang Pemuput memberikan pewisik kpd Dewa Pitara. Dilanjutkan Puja Pengelepas Dewa Pitara agar kembali ke Sangkan Paraning Dumadi. Kalau upacara pengabenannya memakai upacara matetangi, maka tidak memakai puja pengelepas, hanya memakai puja pesimpen.
  1. Hanya Pandita yang sudah medwijati dan mapulanglingga yang diperkenankan muput pengaskaran. Pinandita ekajati tidak wenang ngaskara. Apabila dilanggar maka „nyumuka”.
  2. Setelah pengaskaran dilanjutkan dengan „pejayan-jayan”  dan pebaktian seluruh keluarga.
  3. Dilanjutkan Pemerasan dan tarpana saji, dimana adegan dan kajang mengelilingi banten pemerasan diikuti oleh sanak keluarga semua termasuk cucu dan buyut.

UPACARA MEBUMI SUDHA


 Upacara pembersihan dan
penyucian ditempat pengesengan sawa berdasar nista, madya, utama. Tujuannya
menyucikan tempat pengesengan dengan tirta Kahyangan Tiga, tirta Kawitan, Tirta
Pengentas. Tirta ini tidak kena kecemeran. Dilakukan pada semua jenis
pengabenan



UPACARA PEMRELINA DAN MEWANGUN SEKAR
TUNGGAL DI SETRA.


Setelah adegan atau jenasah selesai
dibakar, arangnya ditutupi pelepah daun pinang (papah buah) yang daunnya sudah
disurat bergambar “Cakra”. Kemudian disiram dengan Toya Pemanah. Kmudian arang
tulang diambil satu persatu menggunakan sepit atau cincin permata mirah
Windhusara, diletakkan dalam kukusan. Dibersihkan lagi dengan air kumkuman.
Selanjutnya dilakukan “pangerekan” diatas “Panca Layuan” serta disucikan lagi
dengan eteh2 pesucian. Kemudian arang tadi digilas  diatas sebuah
sesenden, kemudian dibungkus menjadi sekah tunggal.

Makna berbagai uparengga yang
digunakan adalah:

1.    Penutup pelepah
daun pinang: makna kembalinya ke unsur2 Panca Maha Butha dan penumadiannya
nanti tergantung buah karmanya.

2.    Toya Pemanah
yang dipakai: bukan toya penembak.

3.    Arang diambil
dengan cincin mirah: sarana pengentas agar unsur Panca Maha Buthanya cepat
kembali ke sumbernya Sang Pencipta. Cincin mirah sebagai simbul kekuatan Siwa.
Sepit sebagai simkbul kekuatan Ardha Candra sebagai simbul kekuatan nada.
Setelah selesai. Wiku melaksanakan upacara pengiriman, sekah dihanyut.
Sebelumnya dilakukan meprelina dimana sekah tunggal dikelilingkan di Pengesengan
dengan arah prasawya (kekiri) kemudian baru nagkil ke Pemuput (wiku) untuk
memohon restu.



SAWA MEKINGSAN DI GENI DAN MEKINGSAN
DI PERTIWI (MEPENDEM).


Perlu menggunakan tirta Pekingsan,
karena bila sudah menggunakan tirta Pekingsan maka sewaktu-waktu dapat
melaksanakan upacara pengabenan. Namun jika tidak menggunakan tirta pengentas
pekingsan maka  tidak diperkenankan  ngaben sebelum setahun dipendem
(Lontar Yama Purana Tatwa).



UPACARA
PEMUKURAN/PENYEKAHAN/PENGRORASAN


Mukur asal katanya Bhuk (alam
bawah), Ur atau urdah (swah loka). Mukur adalah proses penyucian lanjutan dari
unsur2 Panca Mahabuta agar manjadi status Dewa untuk dikembalikan kealam
kedewataan shg disebut Dewa Pitara dan pada puncak kesuciannya disebut Hyang
Pitara.

Uperengga pada Damar Kurung
mempergunakan simbul Kupu-Kupu Dedari (seekor kupu2 berkepala widyadari)
sebagai simbul wahanyanya Hyang Pitara pulang kesumbernya. Ini terlihat dari
puja Penglepasan Pitra memohon kepada Sang Kepupu Wong. Demikian
juga pada upacara pengabenan, damar kurungnya berisi simbul burung garuda
berkepala raksasa sebagai wahanya Dewa Pitara. Puja Penglepasannya memohon
kepada Kaki Badra Lim  (manuk Raja) untuk mengantar Dewa Pitara ke
sumbernya.



UPACARA PENGLIWETAN


Upacara pemukuran disertai upacara
Pangliwetan. Pengeliwetan mengandung maksud dan tujuan Pengeluweran yaitu
mengembalikan unsur2 Panca Maha Butha, unsur Rokh dan unsur atmanya kealam
masing2 yaitu: unsur Panca Maha Buthanya ke Prakerthi Tattwa (kekuatan
acetana), sedangkan unsur rokhnya kembali ke Purusa Tattwa dan unsur atmanya
kembali ke alam Parana Nirbana (kealam moksa). (lontar Tattwa Jnana).


Dalam proses Ngeliwet, dibuatkan bubur nasi yang berasnya diseruh sebanyak 11
kali (simbul dari alam Siwa. Angka 11 jika dijumlah menjadi 2 (simbul Windu
Sunia) atau alamnya Siwa. (Lontar Tutur Saraswati). Bubur ini dicampur dengan
menyan, madu, empehan (lontar Pengerorasan), bukan telur goreng dan bawang
goreng. Menyan sebagai simbul Sang Hyang Brahma (mengembalikan unsur Panca Maha
Buthanya), madu sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Wisnu (mengembalikan unsur
rokhnya), empehan sebagai simbul kekuatan SH Siwa (mengembalikan unsur Atmanya.
Setelah bubur kental kemudian dikepal-kepal 108  buah sebagai simbul titik
puncak kekuatan Pralina (Tattwa Samkhya) dari angka 108 menjadi 9 merupakan
angka sakti Hindu (titik lebur), sedangkan angka 0 merupakan simbul Windhu
Sunia.



UPACARA NILAPATI

Upacara Nilapati adalah upacara
ngeluwuirang Hyang Pitara atau Dewa Hyang setelah pemukuran atau penyekahan.
Nilapati asal katanya Nila (hitam) yaitu Wisnu sebagai simbul kehidupan setelah
kematian. Upacara Nilapati adalah suatu upacara untuk menstanakan Dewa yang
berada dalam alam kehidupan yang tidak nyata.



INDIK PEDEWASAN PENGABENAN

Ada hari (dina) yang biasanya
dihindari dalam pengambilan dewasa atiwa-tiwa atau pengabenan. Pelanggaran
terhadap pengambilan dewasa dipercaya akan menimbulkan hal-hal yang fatal dalam
kehidupan sosial. Beberapa hari yang dihindari adalah.



Was Penganten. Tidak boleh dipakai hari penguburan dan ngaben. Pahalanya
dapat mengakibatkan kematian berturut-turut dalam satu banjar dan keluarga yang
ditinggalkan tidak putus-putusnya kegeringan.



Semut Sedulur. Juga tidak boleh. Pahalanya tidak putus-putusnya ada
penguburandalam satu desa dan keluarga yang ditinggalkan tidak putus2nya
menemukan kesusahan.



Catus Pemanggawan. Pada perhitungan hari ini tidak diperkenankan penguburan
atau ngaben. Kasureksa De Betara Yamadipati tan sida sang Pitra ngemangguhin
swargania.



Kala Gotongan. Tidak diperkenankan karena sang Pitra tidak habis-habisnya
menemui sengsara di alam bakha.



Hari Purnama, Tilem, Piodalan
Kahyangan Jagat. Tidak diperkenankan  karena hal
ini disebut Amundung Kesucian Sang Hyang Siwa Butha, Sang Pitra tan urungan
kesinamberaning gelap sengsara kang pitra (lontar Yama Tatwa Wariga).



Pedewasan Sejeroning Pitung Rahina. Kurun waktu 7 hari dari meninggalnya, dapat dipakai salah
satu harinya namun tetap melihat larangan-larangan hari seperti diatas,
ternyata dalam kurun waktu 7 hari tersebut ada hari yang dilarang asal tidak
Was Penganten, masih bias memakai hari yang lain berkisar dalam tujuh hari
tersebut. Tapi kalau larangan harinya lebih dari satu dan kepepet, carikan
pedewasan diluar perhitungan tujuh hari tersebut,  (Lontar Aji Janantaka).
Jika  melkasanakan penguburan atau ngaben dalam kurun waktu tersbut dari
tidak ada larangan hari maka dewasa tersebut dikatakan jalan Sang maninggal
sangat utama sekali.



UPACARA NGAJUM KAJANG

Ngajum = memuji. Ngajum dalam kaitan
ngaben adalah menghias atman orang yang akan diaben. Panjang kajang 1,5 – 2
meter (sedepa astamusti), ditulis dengan aksara suci (Mudre). Aksara kajang
terdiri dari Sodasaksara yaitu gabungan Ongkara, dwiaksara, triaksara serta
dasaksara. Kajang adalah selimut orang yang meninggal yang dibawa menuju kealam
sorga. Oleh sebab itu aksara2 modre dalam kajang memiliki kaitan erat dengan
tattwa2 agama, khususnya ajaran kedyatmikan seperti tutur Kelepasan dan ajaran
Kemoksan yaitu ajaran untuk mencapai tujuan akhir menuju Sang Pencipta. Ngajum
kajang dilakukan sehari sebelum pembakaran. 



Sarana yang digunakan untuk ngajum
kajang adalah sebagai berikut:

  1. Persiapan tempat untuk ngajum kajang berupa bale atau     meja.
  2. Kain putih sebagai dasar pengajuman kajang
  3. Selembar kain cepuk
  4. Kajang klasa
  5. Kajang pemijilan
  6. Kajang sari
  7. Ukur/wukur (uang kepeng yg dirangkai sbg manusia     disebut ukur Deling, ukur balung menyerupai tulang). Wukur adalah tempat
         pekoleman atma.
  8. Jarum sekitar 3 lusin (tergantung banyaknya keluarga yg     ikut)
  9. Kwangen
  10. Sekar Ura
  11. Rurub Sinom
  12. Rantasan
  13. Minyak wangi


BEBERAPA JENIS KAJANG

  1. Kajang Klasa: kajang dari sulinggih untuk alas kajang     utama atau kajang pemijilan.
  2. Kajang Pemijilan atau Kajang Utama: kajang yang dibuat     sulinggih, ditaruh paling atas. Kajang ini yang akan diajum bersama ukur.
  3. Kajang Sari: kajang dari dadia atau keluarga terdekat.     Ditaruh dibawah kajang utama.
Kajang menurut pemakainya (soroh).

  1. Kajang  Brahmana : untuk sulinggih
  2. Kajang Kesatria: untuk raja2
  3. Kajang Jaba: untuk walaka (diluar untuk pandita dan     raja)
  4. Kajang soroh: atau kajang sesuai kawitan masing-masing.     Kajang ini selanjutnya menjadi Kajang Utama.
Urutan penempatan ukur, kajang,
cepuk dan kain putih

  1. Kasa putih (paling bawah)
  2. Kasa putih
  3. Kasa putih
  4. Kain cepuk
  5. Kajang Klasa
  6. Kajang pemijilan (paling atas)
  7. Ukur (diatas kajang pemijilan)


UPAKARA NGAJUM KAJANG

  1. Ayaban tumpeng lima
  2. Sesayut alit
  3. Suci
  4. Daksina gede (satu)
  5. Banten sorohan
  6. Banten pemelaspas
  7. Sesayut pasupati
  8. Pesucian


TATA CARA UPACARA NGAJUM KAJANG DAN
PEMERASAN

1.    Pengabenan Sawa
Prateka (ada jenasah) ditaruh dibersihkan dimandikan ditaruh di semanggen. Sawa
Prateka (tanpa jenasah), dilakukan upacara ngendagh dan ngangkid. Jika tidak
diketahui kuburnya dilakukan upacara ngulapin

2.    Sebelum
pengajuman, lakukan upacara pengulapan dg sanggah Urip (tempat roh yang
dipanggil akan diaben). Sanggah urip dibuat dari daun kelapa dumala, ditaruh
pada adegan, ditaruh disebelah jenasah yang akan diaben di semanggen.

3.    Ngajum kajang
di natar mrajan disaksikan leluhur dan Dewa Pitara, dipimpin sulinggih. Kajang
dan adegan tidak kena kesebelan. Adegan adalah simbul atma dan ”atma tan kekeng
kesebelan karena atma percikan dari Brahman.

4.    Kajang adalah
selimut kebesaran dari atma yang akan dibawa ke sorga.

5.    Adegan dan
kajang bukan bagian dari raga sarira (badan kasar/prakerti) yang kena
kesebelan, melainkan bagian dr  Antah Karana Sarira (purusa)yang bebas
dari kesebelan.

6.    Pemerasan dilakukan
di luar merajan, karena ada upacara simbolis sang atma turun ke alam manusia.

7.    Setelah kajang
selesai di ajum maka Sulinggih mulai memuja pasupati kajang, kemudian
dilanjutkan ngaskara dan upacara mepetik.

8.    Dilanjutkan
dengan Pemerasan. Diikuti oleh seluruh keluarga sebatas buyut. Adegan dan
kajang diarak mengelilingi upakara pemerasan sbg simbul Sang Hyang Atma turun
ke dunia manusia bertemu dg keluarga.

9.    Selanjutnya
adegan dan kajang diletakkan diatas peti jenasah,

10. Menunggu pemberangkatan ka
setra.



URUTAN JALANNYA NGAJUM KAJANG

  1. Siapkan sebuah asagan (bale, meja) dg kasur kecil,     tikar dan bantal. Tikar dirajah Padma ditengah padma ditulis aksara
         Ongkara Mertha dan Aksara Rwa Bhineda. Diatas bale2 diisi leluhur.
         Disamping bale ditaruh banten: ayaban tumpeng 5, sesayut alit, suci,
         daksina gde, sorohan, banten pemelaspas, peras pemelaspas, sesayut
         pasupati, pesucian.
  2. Siapkan sarana Ngajum Kajang: kain putih, selembar kain     cepuk, kajang klasa, kajang pemijilan, kajang sari, ukur, jarum, kwangen,
         sekar ura, rurub sinom, rantasan, minyak wangi.
  3. Letakkan kain kasa 1,5 – 2 m diatas tikar sbg alas     kajang sekaligus sbg pembungkus
  4. Diatasnya kain cepuk. Diatas kain cepuk ditaruh Kajang     Klasa
  5. Diatasnya kajang sari (bila ada) (kajang dari dadia     atau dari teman2)
  6. Diatasnya kajang Pemijilan (dari sulinggih). Kajang     Pemijilan ini kajang inti (kajang utama) yang akan di Ajum.
  7. Ukur. Untuk laki2: Seleh (sisi pis bolong yang berisi     dua huruf) menghadap keatas. Untuk wanita Kerep (empat huruf) menghadap
         keatas. Membuat ukur harus memperhatikan Seleh dan Kerep.
  8. Ngajum dimulai dg menusukkan jarum pada kajang melalui     lubang uang kepeng sehingga ukur menyatu dg kajang seperti dijarit.
         Diawali oleh penglingsir (pemangku/pinandita) menusuk pada bagian kepala.
         Yang lebih muda dari yang diaben tidak boleh menusuk pd bagian kepala.
  9. Dilanjutkan pebersihan dg air kumkuman, keramas, sisig,     minyak wangi, boreh miik seperti memandikan orang meninggal. Lanjut
         menghias kepala ukur dengan bunga.
  10. Memasang kwangen seperti upacara nyiramang layon, di     kepala 1, ulu hati 1, kedua siku, bahu, pergelangan tangan, pangkal paha,
         lutut, pergelangan kaki.
  11. Ditabur sekar rura diatas ukur, semprot minyak wangi.     (sekar rura: macam2 bunga, kembang rampe, boreh miyik).
  12. Memasang rurub sinom (dari blangsah pinang) sebanyak 3     buah (kepala, badan, kaki).
  13. Menaruh rantasan diatasnya dan canang sari diatas     rantasan.
  14. Pemangku memercikkan tirta penglukatan, pebersihan,     prayascita.
  15. Melaspas kajang.
  16. Sulinggih memberi tirta Pengajuman (tirta pasupati     kajang) dan Tirta Saji. Bersamaan dengan pemujaan sulinggih membuat
         tirta2: pengajuman kajang, tirta penembak, tirta pengentas, tirta prelina,
         tirta penyaeb, tirta penganyutan dan lain-lain.
  17. Setelah ngetisang tirta pengajuman, tirta pasupati kajang,     rurub sinom dan rantasan diambil sementara lalu dilanjutkan ngeringkes
         kajang. Kain putih tiga lembar paling bawah sebagai pembungkus. Sama
         seperti ngeringkes jenasah, laki: kain pembungkus sisi kananmenutup,
         wanita: pembungkus sisi kiri  menutup. Pembungkus diikat dengan
         benang tukelan dan tali rotan di tiga tempat, kepala, dada dan kaki.
         Ketiga ikatan itu disambung dengan benang memanjang. Rurub sinom kembali
         dipasang.
  18. Setelah Ngaskara Adegan selesai, dilanjutkan upacara     pemerasan. Kajang dan adegan dipanggul mengelilingi banten pemerasan
         sebanyak tiga kali diikuti oleh sanak keluarga.
  19. Kajang ditaruh diatas peti jenasah di Bale Semanggen.     Nantinya akan dibawa ke setra untuk dibakar.

Tuesday, September 24, 2013

Sejarah BANTEN

Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro – Tegal Lalang, Gianyar, sekarang) .

Kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro.

Jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air, dan api disebut “Bali”, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Jadi yang dinamakan orang Bali mula-mula adalah penduduk Taro.

Lama kelamaan ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau, sehingga pulau ini dinamakan Pulau Bali, dalam pengertian pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali, lebih tegas lagi pulau di mana penduduknya melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara (Bali).

Tradisi beragama dengan menggunakan banten kemudian dikembangkan oleh Maha Rsi lain seperti: Mpu Sangkulputih, Mpu Kuturan, Mpu Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, dan Mpu Nirartha.

Sejak kapan sarana upakara itu berubah nama dari “Bali” menjadi “Banten” dan mengapa demikian, sulit mencari sumber sastranya. Beberapa Sulinggih yang saya hubungi ada yang menyatakan bahwa banten asal kata dari wanten mengalami perubahan dari kata wantu atau bantu.

Jadi banten adalah alat bantu dalam pemujaan, sehingga timbul pengertian bahwa bali atau banten adalah “niyasa” atau simbol keagamaan.

Umat Hindu melaksanakan ajaran Agama-nya antara lain melalui empat jalan/ cara (marga), yaitu: Bhakti marga, Karma marga, Jnana marga, dan Raja marga.

Bhakti marga dan Karma marga dilaksanakan sebagai tahap pertama yang lazim disebut sebagai “Apara bhakti”, sedangkan tahap berikutnya sesuai dengan kemampuan nalar diri masing-masing dilaksanakan Jnana marga dan Raja marga yang disebut sebagai “Para bhakti”.

Pada tahap apara bhakti pemujaan dilaksanakan dengan banyak menggunakan alat-alat bantu seperti banten, simbol-simbol dan jenis upakara lainnya, seterusnya pada tahap para bhakti penggunaan banten dan simbol-simbol lainnya berkurang.

Umumnya di Bali keempat marga itu dilaksanakan sekaligus dalam bentuk upacara Agama dengan menggunakan sarana banten yang terdiri dari bahan pokok: daun, bunga, buah, air ,dan api. Sarana-sarana itu mempunyai fungsi sebagai:

Persembahan atau tanda terima kasih kepada Hyang Widhi.Sebagai alat konsentrasi memuja Hyang Widhi.Sebagai simbol Hyang Widhi atau manifestasi-Nya.Sebagai alat pensucian.Sebagai pengganti mantra.Karena demikian sakralnya makna banten maka dalam Yadnya prakerti disebutkan bahwa mereka yang membuat banten hendaknya dapat berkonsentrasi kepada siapa banten itu akan dihaturkan/ dipersembahkan.

Dalam Buku Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu sebagai hasil Paruman Sulinggih yang disahkan PHDI disebutkan bahwa seorang Tukang Banten hendaknya sudah mensucikan diri dengan upacara Pawintenan (sekurang-kurangnya ayaban Bebangkit).

Tujuannya adalah agar Tukang Banten sudah mengetahui tata cara dan aturan-aturan dalam membuat banten misalnya dengan konsentrasi penuh melaksanakan amanat pemesan banten yang akan mempersembahkannya kepada Hyang Widhi.

Di kala membuat banten kesucian dan kedamaian hati tetap terjaga, antara lain tidak mengeluarkan kata-kata kasar, tidak dalam keadaan kesal atau sedih, tidak sedang cuntaka, tidak sedang berpakaian yang tidak pantas, menggaruk-garuk anggota badan, atau membuat banten di sembarang tempat.

Disimpulkan bahwa ketika membuat banten, dikondisikan situasi yang suci, sakral, konsentrasi penuh, rasa bhakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi. Lihatlah ketika banten disiapkan untuk upacara besar di Besakih, tempat membuat banten disebut sebagai “Pesucian” yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang atau orang yang tidak berkepentingan.

“Dewasa” atau hari baik untuk mulai membuat banten ditetapkan dengan teliti oleh para Sulinggih. Dalam puja-stuti pereresik banten juga diucapkan doa agar banten tidak dilangkahi anjing, ayam, atau dipegang oleh anak kecil, atau orang yang sedang cuntaka. Beberapa jenis banten utama bahkan hanya boleh dibuat oleh Sang Dwijati, misalnya Catur, dan Pangenteg Gumi.

Untuk menegaskan penting dan sakralnya banten, Mpu Jiwaya salah seorang tokoh pemimpin Agama di abad ke-10 mengajarkan membuat “reringgitan” dengan bahan daun kelapa, enau atau lontar. Reringgitan itu kadang demikian sulit sehingga konsentrasi kita harus penuh. Jika tidak, bisa reringgitannya rusak atau tangannya yang teriris pisau.

Filosofy dan Makna BANTEN

BANTEN dalam lontar Yajna Prakrti memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sacral. Dalam lontar tersebut banten disebutkan: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu : "Pinaka Raganta Tuwi" artinya banten itu merupakan perwujudan dari kita sebagai manusia. "Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara" artinya banten merupakan perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Hyang Widhi. Dan "Pinaka Andha Bhuvana" artinya banten merupakan refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuvana Agung.

Memaknai banten sebagai Raganta Tuwi ini dapat dijabarkan berdasarkan pembagian dari tubuh manusia seperti Ulu atau Kepala (Utama Angga), Badan (Madhyama Angga), Kaki atau Suku (Nistama Angga). Jika dihubungkan dengan Tri Angga ini maka banten yang memiliki fungsi sebagai ulu adalah banten yang berada di Sanggar Surya maupun Sanggar Tawang. Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun Banten Caru merupakan simbol dari perut.

Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang memiliki fungsi sebagai suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol atman.

Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu bentuk pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang bersifat Nirguna, Suksma, Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang demikian itu sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami. Oleh karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud Sakala dengan memakai berbagai sarana, salah satunya adalah Banten. Adapun Banten yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah banten-banten yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti: Daksina Tapakan (Linggih), Banten Catur, Banten Lingga, Peras, Penyeneng, Bebangkit, Pula Gembal, Banten Guru dan sebagainya.

Banten sebagai Anda Bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replica dari alam semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat manusia mencintai alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya berstana pada bhuvana alit, Beliau juga berstana pada bhuvana agung anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten itu dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan dari alam ini. Adapun banten sebagai lambang alam semesta ini adalah: Daksina, Suci, Bebangkit, Pula Gembal, Tanam Tuwuh dan sebagainya.**


Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan: “ sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana” artinya: semua jenis banten (upakāra)  adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta)  Demikian pula dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan: “ Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang” Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
Bila dihayati secara mendalam,  banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.makna Banten ada 4 yaitu : 1. Pesucian 2. Linggih 3. Soda Rayunan dan 4. Pinunasan.Bagaimana banten yang ada itu, itu adalah wiweka manusia memperlakukan Tuhan itu sebagai tamu. Sesuai dengan keadaan otak yang terbagi menjadi 2, maka menuju Tuhanpun terbagi menjadi 2 yang disebut dengan Bhakti Marga dan Jnana Marga. Bhakti Marga merupakan penggabungan antara Bhakti + Karma, sedangkan Jnana Marga merupakan penggabungan Jnana + Raja. Dua jalan ini juga bernada dualitas, artinya akan bertentangan, tetapi tujuannya sama. Kalau diibaratkan seperti suami istri. Suami ( laki ) dan istri ( perempuan ) memang berbeda, tetapi tujuannya sama yaitu untuk mewujudkan keluarga yang bahagia sejahtera. Begitulah perumpamaan Bhakti dan Jnana itu.
Dalam bebanten, saya artikan dulu bhakti dan jnana itu sebagai memakai sarana/berwujud dan tidak memakai sarana/ tidak berwujud, jadi untuk menuju kepada Tuhan itu ada 2 cara yaitu Bhakti Marga dengan sarana bebanten, sedangkan Jnana Marga tanpa sarana.
Kemudian sesuai dengan bebanten itu, cara ini disebut Bhakti Marga. Bagaimana kita membuat banten itu, itu adalah wiweka manusia menerima Tuhan sebagai tamu. Sama dengan kita menerima tamu di rumah, di depan rumah pasti ada keset untuk memberisihkan kaki tamu, kalau jaman dahulu kalau ada seorang Resi yang hadir, pasti kita berikan pembasuh kaki. Dari cara ini, maka muncul banten yang pertama yaitu banten pabersihan. Sesuai dengan namanya banten pabersihan, tentunya untuk membersihkan. Dalam hal ini membersihkan tempat duduk/ stana Tuhan. Salah satu contoh banten yang termasuk banten pabersihan adalah prayascita. Selain prayascita tentu banyak lagi jenis - jenis banten pabersihan.
Banten yang kedua. Setelah tamu masuk, maka tamu kita persilahkan duduk, dimana tempat duduk sudah dibersihkan tadi dengan banten prayascita. Banten duduk ini disebut banten linggih. Salah satu contoh banten linggih ini adalah daksina, yang kemudian disebut daksina linggih. Banten ini juga banyak jenisnya, ada banten Saraswati dan lain - lain yang jumlahnya juga banyak.
Banten yang ketiga. Setelah tamu duduk, pasti kita suguhkan sesuatu. Sesuatu dalam bebantenan ini disebut dengan Soda Rayunan. Ini banten yang ketiga yang berbentuk suguhan. Jenisnyapun banyak sekali.
Kemudian banten 4. Setelah kita suguhkan sesuatu yang disebut banten soda rayunan, maka ada banten yang ke 4 yang disebut banten pinunasan atau banten permohonan. Salah satu contoh banten pinunasan adalah sayut. Inilah filosofi bebantenan,
ada 4. Sekarang 4 jenis banten ini tingkatannya ada dari nistaning nista sampai utamaning utama. Silahkan pilih sesuai dengan keperluan dan yang paling utama adalah disesuaikan dengan keadaan keuangan.

DAN BANTEN merupakan visualisasi dari ajaran tattwa dan susila Hindu yang memiliki tujuan mengarahkan, menuntun manusia guna tumbuhnya sifat-sifat yang mulia dalam diri. Oleh sebab itu apa yang ada dibalik banten itu ternyata sangat kaya akan k
onsep hidup yang bersifat universal, yang wajib diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: Banten Peras, Banten ini lambang perjuangan hidup dan doa untuk mencapai kesuksesan (Prasiddha) dalam kehidupan ini.

Umat Hindu melaksanakan ajaran Agama-nya antara lain melalui empat jalan/ cara (marga), yaitu: Bhakti marga, Karma marga, Jnana marga, dan Raja marga.
Umumnya keempat marga itu dilaksanakan sekaligus dalam bentuk upacara Agama dengan meng
gunakan sarana banten yang terdiri dari bahan pokok: daun, bunga, buah, air ,dan api. Sarana-sarana itu mempunyai fungsi sebagai:

- Persembahan atau tanda terima kasih kepada Hyang Widhi.
- Sebagai alat konsentrasi memuja Hyang Widhi.
- Sebagai simbol Hyang Widhi atau manifestasi-Nya.
- Sebagai alat pensucian. - Sebagai pengganti mantra.

Makna bilangan 108 dalam Sastra Veda

Dalam Ajaran Hindu, angka 108 adalah suci dan keramat. Nama-nama Dewa dan Avatar juga selalu ditulis 108. Mengapa? Dari berbagai sumber di web, berikut ini yang saya dapatkan, lalu saya kaitkan dengan sedikit pengetahuan saya tentang Sanatana Dharma. Semoga berguna untuk menambah pengetahuan atas keindahan (beauty), kealamiahan (naturalness), dan keilmiahan (scientific) ajaran Veda.

1. Kekuasaan 1, 2, dan 3. Dalam matematika, 1x1 =1; 2x2 =4, dan 3x3x3 = 27. Bila digabung, 1x1x2x2x3x3x3 = 108, atau 1x4x27 = 108. Angka 1, 2, dan 3 ini, bila dikaitkan dengan teologi ketuhanan Hindu: Dia Yang Satu (Brahman) dengan kedua sifat-Nya (Tuhan Yang Tiada Berwujud – Nirguna Brahman dan Tuhan Yang Berwujud – Saguna Brahman), bila Dia Berwujud hadir dalam dua personifikasi yaitu Tuhan dan Shakti (energi ilahi)-Nya; memiliki tiga kuasa utama yaitu mencipta (Brahma), memelihara (Vishnu), dan melebur (Shiva).

2. Skala Numerik. Angka 1 dari 108, dan angka 8 dari 108; jika ditambahkan menjadi 9; yang merupakan jumlah skala numerik yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9; dan nol (0) bukanlah angka.

3. Alfabet Sanskerta. Terdapat 54 huruf dalam alphabet Sanskerta, dan masing-masing memiliki maskulin dan feminin, jiwa dan energinya; karenanya 54x2 = 108.

4. Kitab Upanisad. Upanisad sebagai kelompok kitab Sruti yang posisinya sebagai śākhā atau penjabaran kitab-kitab Catur Veda. Kitab Muktika Upanisad menyebutkan bahwa terdapat 108 kitab upanisad yang masing-masing terdiri dari 10 Upanisad yang merupakan śākhā dari Rg. Veda, 16 Upanisad yang merupakan śākhā dari Sama Veda, 51 Upanisad yang merupakan śākhā dari Yajur Veda dan 31 Upanisad yang merupakan śākhā dari Atharva Veda.

5. Japamala. Japamala biasa dikenal sebagai tasbih atau rosario. Japamala berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “Japa” (“Japam”) yang berarti mengulang-ulang mantra suci dan “Mala” yang berarti butiran-butiran yang dirangkai dengan benang. “Japa” sendiri terdiri dari dua kata pokok yaitu “JA” yang artinya menghancurkan siklus kelahiran dan kematian (punarbhawa) dan “PA” yang artinya menghancurkan segala dosa. Jumlah butir-butir ganitri (tasbih) adalah 108: 1 + (0) + 8 = 9. Jumlah kedudukan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa menurut arah mata angin adalah 9, yaitu: Ishwara (timur), Mahesora (tenggara), Brahma (selatan), Rudra (barat-daya), Mahadewa (barat), Sangkara (barat-laut), Wisnu (utara), Sambhu (timur laut) dan Siwa-Sada Siwa-Parama Siwa (tengah-tengah).

6. Gopi Krishna. Gopi dalam bahasa Sanskerta berarti ‘wanita-gembala-sapi’. Gopi adalah para bhakta penyembah Tuhan dalam kehadiran-Nya ke dunia sebagai Awatar Krishna. Dalam tradisi Vaisnava, disebutkan jumlah Gopi Krishna adalah 108.

7. Disiplin Spiritual. Angka 108 merupakan simbol-simbol dalam disiplin spiritual. 1 merupakan simbol Tuhan atau Kebenaran (Truth), 0 merupakan simbol kekosongan (emptiness) yang merupakan puncak disiplin rohani (completeness), dan 8 merupakan simbol keabadian (eternity) atau ke-takterhingga-an (infinity).

8. Sri Yantra. Sri Chakra atau Sri Yantra adalah yantra yang dibentuk oleh tiga baris segitiga atau sembilan segitiga yang saling berhubungan dan berpotongan. Yantra adalah energi yang disebut cakra. Dalam perpotongan tersebut, terdapat 54 persimpangan antara alam semesta fisik dan sumbernya yang tiada berwujud (unmanifest), dan setiap persimpangan memiliki maskulin dan feminin. Sri Yantra ini merupakan dewi dalam bentuknya Shri Tripura Sundari Lalitha atau "keindahan dari tiga dunia". Empat dari titik segitiga ke atas mewakili Siwa atau maskulin, lima dari titik bawah segitiga mewakili feminin. Jadi Sri Yantra merupakan persatuan Ilahi Maskulin dan Feminin, karenanya, 54x 2 = 108. Karena terdiri dari sembilan segitiga, Sri Yantra dikenal sebagai Chakra Navayoni, terwujud dalam alam semesta, juga dalam tubuh manusia.

9. Spiritualitas 12x9. Dalam banyak tradisi angka 12 dan angka 9 dikatakan memiliki makna spiritual. Hasil perkalian kedua angka ini, yaitu 12x9 adalah 108.

10. Chakra Jantung. Chakra berasal dari kata Sansekerta, berarti "roda" (wheel) atau "memutar" (turning). Chakra ada pada lapisan tubuh halus manusia, dalam formasi berbentuk kipas yang semakin meningkat. Chakra adalah pusat dan garis energi. Chakra Jantung (Anahata, Heart Chakra, di daerah jantung) adalah persimpangan dari garis energi. Terdapat total 108 garis energi konvergen untuk membentuk Chakra Jantung. Salah satunya, sushumna mengarah ke Chakra Mahkota (Sahasrara, Crown Chakra, di bagian atas kepala; 'soft spot' bayi yang baru lahir), jalan menuju realisasi Diri.

11. Astrologi. Dalam astrologi Chandra Kala India, disebutkan ada 12 Rasi bintang (Chandra) dan 9 segmen busur yang disebut namshas atau chandrakalas. 12x9 = 108.

12. Waktu dan Perasaan. Beberapa ahli mengatakan ada 108 perasaan, dan perasaan-perasaan ini terkait dengan waktu; 36 perasaan terkait dengan masa lalu, 36 perasaan berkaitan dengan masa kini, dan 36 perasaan yang berkaitan dengan masa depan.

Sumber:
http://www.hinduismnet.com/significance_of_108_hinduism.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Sri_Yantrahttp://narayanasmrti.com/2011/09/16/kedudukan-upanisad-dalam-kitab-suci-veda/
http://gusmang.blogspot.com/2010/08/japamala-atau-tasbih-menurut-ajaran.html

Raja - Raja Bali

Prasasti adalah ketetapan resmi yang dikeluarkan oleh para raja Bali-Kuno. Prasasti menjelaskan tentang aturan yang telah disepakati bersama. Teks prasasti jarang menjelaskan tentang asal usul keturunan para raja itu. Karena tidak dijumpai secara pasti nama keturunannya, juga secara parsial terputus tahun prasasti yang dikeluarkan dari raja satu ke raja yang lain, maka menimbulkan berbagai macam penafsiran tentang kisah peristiwa apa yang telah terjadi dalam kehidupan mereka terdahulu. Adakah hubungan kekerabatan antara raja satu dengan raja sebelumnya, berapa lama mereka  berkuasa, tahun berapa mereka meninggal dan dimana dicandikan? Adakah terjadi pengambilalihan kekuasaan secara paksa dari kerabat dekat raja maupun dari orang luar?

Sejarah pemerintahan raja-raja Bali-Kuno, tidak ditemukan peralihan kekuasaan dengan cara paksa, dalam arti jika sang raja meninggal, tapuk pemerintahan akan digantikan oleh istri dan atau
anaknya. Apabila sang anak masih kecil, belum cukup umur untuk berkuasa, maka akan digantikan oleh sang paman atau kerabat dekat raja yang lain. Apabila ‘buntu’ tak ada yang mau menggantikan,
maka akan dipakai metode yang lain, melaui jalan ‘niskala’, dengan jalan minta petunjuk “nedunang ida bhatara” Hal seperti ini terlihat dalam teks Purana Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh, dimana Sri
Pasung Grigis, seorang nyuklabrahmacari (tidak kawin seumur hidup), untuk mencari penggantinya sebagai orang suci di Pura Lempuyang, Gamongan, Karangasem.

Setelah terkumpul salinan naskah-naskah kuna itu, lalu kita telisik, prasasti satu dengan yang lain dirunut menurut angka tahun dan nama raja yang mengeluarkan prasasti itu. Kadang-kadang terlihat
nama samar, dengan perkataan lain, beda nama tetapi orangnya satu, misalnya, antara Raja Sri Jayasakti, Sri Gnijaya Sakti, Sri Gnijaya dan Sri Ragajaya. Masa pemerintahan ke empat nama raja ini, menurut tahun prasasti dan purana, yang dikeluarkan berkisar tahun 1119–1177 Masehi. Dalam prasasti nama Sri Gnijaya Sakti dan Sri Gnijaya tidak muncul, jadi tidak ada prasasti yang dikeluarkan, sebagaimana umumnya raja raja yang lain. Begitu pula dengan raja Sri Ragajaya, hanya mengeluarkan satu prasasti yang disebut Prasasti Tejakula, tahun Isaka 1077/1155 Masehi. Sedangkan Raja Sri Jaya Sakti mengeluarkan prasasti terakhir pada tahun Isaka 1072/1150
Masehi, yang disebut Prasasti Sading Kapal. (Poeger, 1964:105). Tetapi dalam naskah Purana Bali Dwipa, Piagem Dukuh Gamongan, Prasasti Pura Puseh, Sading, Kapal, Purana Pura Batu Karu, Purana Pura Pucak Bukit Gede, dan beberapa naskah lainnya, akan terlihat jelas kisah kehidupan para raja Bali-Kuno itu. Disamping itu, dalam purana tidak disebutkan prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para raja.

Teks Piagem Dukuh Gamongan dan Prasasti Pura Puseh Sading, Kapal, nama raja Sri Jaya Sakti identik dengan Sri Gnijaya Sakti, begitu juga putranya diberi nama sama dengan ayah kandung Sri
Gnijaya juga (tanpa ident sakti di belakang namanya). Dalam Piagem Dukuh Gamongan, Sri Gnijaya menjadi raja Bali Isaka 1051/1129 Masehi. Purana Bali Dwipa, Sri Jaya Sakti meninggal dunia Isaka
1072/1150 Masehi. Sedangkan nama Sri Ragajaya tidak muncul dalam purana manapun, Dalam kamus Jawa Kuna (Zoetmulder, 1994:899), kata raga artinya warna merah, Warna merah identik
dengan warna Api atau Gni. Dari analisis ini raja Sri Ragajaya adalah nama lain dari Sri Gnijaya, raja ini banyak menjadi titik awal dalam penulisan piagem, purana, babad, prakempa, pamancangah lainnya yang ada di Bali masa kini.

Demikian pula setelah Raja Sri Aji Hungsu berkuasa muncul nama Sri Walaprabhu yang menggantikannya. Raja Walaprabhu mengeluarkan tiga prasasti yang disebut Prasasti Babahan, Klandis, Babi A, menjadi raja Bali tahun 1079–1088 Masehi (Semadi Astra, 1977:21).

Dalam purana, raja Sri Walaprabhu tidak muncul nama itu, yang muncul menggantikan Sri Aji Hungsu adalah Sri Sakalindu Kirana, anak dari Sri Aji Hungsu yang beribu bangsawan. Hanya
satu prasasti yang dikeluarkan raja Sri Sakalindu Kirana yang disebut prasasti Pengotan, Isaka 1010/1088 Masehi. Padahal dalam Purana Bali Dwipa, Purana Pura Pucak Bukit Gede, Raja Sri Sakalindu Kirana berkuasa selama 20 tahun dan digantikan oleh adiknya Sri Suradipa yang berkuasa selama 15 tahun.

Dengan demikian Walaprabhu diperkirakan seorang janda yang menjadi raja, kemungkinan setelah Sri Aji Hungsu meninggal, kemudian tapuk pemerintahan diganti oleh sang permaisuri yang
seorang janda, maka disebut Waluprabu dalam buku Mengenal Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat oleh Tim (2008:211) istri Sri Aji Hungsu disebut bhatari mandul di-pratista atau dicandikan di
Pura Penulisan. Atau analisis lain, dalam Kamus Jawa Kuna, kata walaprabhu berasal dari bahasa sanskerta, dari urat kata wala dan prabhu. Wala artinya muda, kekanakan, tidak tumbuh atau belum
berkembang penuh, muncul baru, tolol, junior. Prabhu artinya raja, Jadi walaprabhu artinya raja muda, raja junior. Dengan demikian setelah Sri Aji Hungsu meninggal tapuk pemerintahan digantikan oleh permaisuri bersama putri mahkota yang masih kecil, bersamasama menjadi penguasa Bali pada era itu.

Tetapi kebalikkan dari purana ini yaitu dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Aji Hungsu selalu menyebutkan, paduka haji anak wungsu kalih bhatari lumah ing burwan, bhatara lumah ing banu
wka, artinya, raja Sri Aji Hungsu setiap mengeluarkan prasasti selalu mencantumkan almarhumah ibunya yang dicandikan di Buruwan, dan almarhumah ayah yang dicandikan di Banyu Wka. Sedangkan dalam purana tidak muncul nama Sri Aji Hungsu mengatasnamakan almarhum kedua orangtuanya yang dikebumikan di Bhurwan dan Banu Wka. Yang dicandikan di Buruwan adalah Ibunda Sri Mahendradatta dan di Banu Wka (Gunung Kawi) dicandikan ayahnda yaitu Sri Udayana.

Demikian pula dengan nama raja Sri Ajnadewi yang berkuasa setelah Sri Udayana. Hanya satu prasasti dikeluarkan oleh raja Sri Ajnadewi yang disebut prasasti Sembiran, tahun Isaka 938/1016
Masehi. Pertanyaannya siapakah Sri Ajnadewi? Di dalam Purana Bali Dwipa, Sri Udayana meninggal dunia Isaka 940/1018 Masehi, dicandikan di Banu Wka. Sri Ajnadewi tidak muncul dalam purana mana pun. Begitu pula dalam teks Purana Bali Dwipa, tertulis Sri  Marakata berkuasa bersama-sama ibunya sebagai penguasa Bali pada era itu. Dalam Purana Pura Luhur Batukaru dijelaskan Raja Sri Marakata menjadi raja Bali Isaka 944/1022 Masehi.

Sedangkan dalam prasasti yang dikeluarkan tidak kelihatan bahwa raja Sri Marakata berkuasa bersama ibunya. Kalau boleh diartikan secara bebas, Sang Ajnadewi artinya seorang dewi yang mahir
dalam bidang ilmu waskita. Dalam dongeng serat calonarang yang ada di Bali, permaisuri Sri Udayana yang bernama Sri Mahendratta Gunaprya Dharmapatni sering dihubungkan ahli dalam ilmu mistis.Raja ini dimakamkan di Buruwan, dikuburanya terlukis arca Durga Mahisasura Wardhini. Arca ini menguatkan dugaan orang bahwa Mahendradatta sebagai penganut ajaran-ajaran ilmu gaib dan Dewi Durgalah yang menganugrahinya kesaktian. Jadi Sri Ajnadewi nama lain dari Sri Mahendratta Gunapriya Dharmapatni.

Begitu pula Raja Patih Kebo Parud dengan Raja Patih Sri Jayakatong adik kandung dari Sri Pasung Gerigis. Dalam prasasti Pengotan, tahun Caka 1218/1296 Masehi dan prasasti Sukawana, tahun Caka 1222/1300 Masehi, yang dikeluarkan oleh Raja Patih Makakasir Kebo Parud, berisikan persoalan Desa Kedisan dan Desa Sukawana yang terletak di perbatasan Balingkang.

Sedangkan menurut buku Negarakertagama dikatakan bahwa pada tahun 1284 raja Kertanegara telah menyerang Bali dan rajanya ditawan. Sayang sekali dalam buku Negara Kertagama tidak disebutkan siapa nama raja Bali itu. Dalam Purana Bali Dwipa dijelaskan raja Kertanegara ingin mengusai Bali yang tatkala itu menjadi senapati Bali adalah Raja Patih Kebo Parud. Dalam Piagem Dukuh Gamongan dijelaskan tahun Caka 1238/1318 Masehi, Sri Jayakatong sebagai penguasa di kerajaan Batahanar dan mendirikan Pura Gaduh, Blahbatuh. Setelah raja patih Sri Jaya Katong yang menjadi raja adalah Sri Taruna Jaya, Sri Masula-Masuli dan Sri Astasura Ratna Bumi Banten, raja akhir
Bali Kuno.

Dari acuan di atas secara tegas menyebutkan yang menjadi pimpinan pemerintahan saat itu seorang Patih atau seorang Senapati bawahan raja yang mewakili dikeluarkannya prasasti tersebut. Dalam
skema silsilah Sri Karang Buncing bahwa Raja Patih Kebo Parud menjadi pucuk pimpinan setelah raja Sri Indracakru yang disebut juga Sri Sidhimatra, nama sama dengan sang ayah setelah menjalani
hidup suci. Raja Sri Indracakru menggantikan kakaknya yaitu Sri Dewa Lancana. Dimana putra dari Sri Dewa Lencana yaitu Sri Taruna Jaya masih kecil yang semestinya menggantikan ayahnya.
Karena kesenangan Sri Indracakru (Sri Sidhimantra) melakukan hidup suci mengikuti jejak para leluhur sebelumnya. Untuk menjalani roda pemerintahan diwakili oleh putranya yang nomor dua yaitu Sri Jaya Katong. Yang kemungkinan tatkala menduduki tapuk pemerintahan Sri Jaya Katong diberi gelar Raja Patih Makakasir Kebo Parud. Setelah Sri Taruna Jaya cukup umur untuk menjadi
raja maka Sri Jaya Katong pun melakukan hidup suci dengan mendirikan Pura Gaduh di Blahbatuh. Sri Jaya Katong merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan baru yang disebut Batahanar artinya
istana baru, dimana sebelumnya kerajaan Bali Kuno masih berada di Bali Utara, disebut kerajaan Singamandawa, sekarang menjadi nama kota Singaraja.

Perkembangan selanjutnya pusat kerajaan menyebar ke selatan daerah Pejeng, Bedulu dan Blahbatuh. Argumentasi lain pada era Kebo Parud muncul nama Kebo Iwa merupakan anak didik dari
Sri Jaya Katong. Jadi Kebo Parud bukan seorang patih dari Jawa. Dimana beberapa penekun sastra menafsirkan Kebo Parud seorang patih dari kerajaan Singosari.

Yang dipengaruhi oleh Kerajaan Singasari terhadap Bali adalah penyebaran paham baru yang disebut agama Bhairawa. Peninggalan paham Bhairawa sangat kentara pada masa kini dengan adanya peninggalan Patung Bhima di Pura Kebo Edan, Pejeng dan Patung Arca Pangulu (patung kepala) di Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh dan beberapa tinggalan lain yang tersebar di wilayah Gianyar. Dalam Piagem Dukuh Gamongan disebutkan Arca Pangulu maka lingganira hyang wawudateng artinya patung kepala merupakan simbol suci tuhan ajaran baru era itu.

Begitu pula dengan nama Sri Taruna Jaya identik dengan Sri Jayasunu. Catatan prasasti tembaga di Banjar Srokodan, Perbekel Abuan, Susut, Bangli, dialih aksara dan diterjemahkan oleh Putu Budiastra, disebut prasasti Srokodan (Bhatara Guru), satusatunya prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Taruna Jaya, tahun Isaka 1246/1324 Masehi untuk desa Hyang Putih dan sekitarnya.  Tetapi dalam Piagem Dukuh Gamongan, Sri Dewa Lancana menurunkan putra Sri Taruna Jaya. Tidak muncul Sri Taruna Jaya menurunkan putra buncing (kembar laki perempuan) Sri Masula dan Sri Masuli. Dalam Purana Bali Dwipa muncul Sri Jayasunu mempunyai putra buncing bernama Sri Masula dan Sri
 Masuli setelah menjadi raja diberi gelar Sri Bhatara Mahaguru Dharmotungga Warmadewa, gelar ini identik dalam prasasti Tumbu Isaka 1247/1325 Masehi.

Tetapi Sri Jayasunu satupun tidak ada mengeluarkan prasasti sebagai mana raja yang lain. Sedangkan dalam salinan lontar Aji Murti Siwasasana ning Bwana Rwa, milik Desa Pakraman Gamongan,
muncul nama Sri Jayasunu yang mengeluarkan pedoman itu disaat rapat besar di Majapahit. Dan beberapa purana lain muncul nama Sri Jayasunu yang menjadi pedoman awal dalam penulisan.

Salinan lontar Aji Murti Siwa Sasana dan Purana Bali Dwipa tersebut diatas tidak secara tegas tahun berapa naskah itu ditulis, siapa yang dimaksud dengan Sri Jayasunu? Siapakah orang tua Sri
Jayasunu? Kamus Jawa Kuna, oleh P.J. Zoetmulder (1994:1147), sunu artinya putra, anak, keturunan. Jadi Sri Jayasunu artinya raja keturunan Jaya. Tidak terdapatnya prasasti-prasasti Bali yang
dikeluarkan oleh raja Sri Jayasunu, membuat kekaburan perjalanan sejarah keturunan raja-raja Bali-Kuno. Yang dimaksud keturunan Jayasunu (turunan jaya) disini adalah turunan dari Sri Jaya Sakti nama lain Sri Gnijaya Sakti yang menjadi raja Bali pada tahun Isaka 1041/1119 Masehi, yang menurunkan 5 putra. Putra ke dua dari Sri Jaya Sakti bernama Sri Maha Sidhimantradewa, menurunkan putra bernama Sri Dewa Lancana, menurunkan putra Sri Taruna Jaya. Dengan demikian Sri Taruna Jaya adalah turunan Jaya juga, tiga generasi setelah Sri Jaya Sakti. Dari analisis ini Sri Jayasunu adalah turunan Jaya versi purana, identik dengan Sri Taruna Jaya turunan Jaya versi Prasasti Srokodan dan Piagem Dukuh Gamongan. Begitu pula dengan keberadaan Sri Batu Ireng identik dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten, raja Bali tahun 1337 Masehi. Dalam prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Bali Kuno, satu pun tidak tercatat nama raja Sri Batu Ireng. Setelah menjadi raja diberi gelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten 

Demikian juga dengan Sri Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing. Dalam mitologi yang dikenal masyarakat Bali hingga kini, Kebo Iwa adalah seorang patih sakti pada masa akhir Bali-Kuno. Ia
digambarkan seorang lelaki bertubuh besar, tinggi, gagah perkasa serta sakti. Kebo Iwa disebut-sebut bertempat tinggal di Blahbatuh, sebelah baratdaya kota Gianyar. Selain sebagai patih sakti, Kebo Iwa
dikenal juga sebagai seorang arsitek (undagi). Banyak bangunanbangunan kuno sebagai hasil karyanya. Tetapi dalam prasasti yang dikeluarkan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, satu pun tidak muncul nama Kebo Iwa sebagai mahapatih kerajaan Badhahulu dan kisah kehidupannya.

Secara administratif, dalam Prasasti Langgahan, Isaka 1259/1337 Masehi, yang dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, terdapat beberapa senapati (mahapatih) kerajaan yang
menyaksikan dikeluarkannya prasasti di kala itu, antara lain, senapati kuturan makakasir mabasa sinom (sang mahapatih di wilayah kuturan bernama makakasir mabasa sinom), sang senapati sarbwa
makakasir candri lengis, sang senapati wrasanten makakasir jagatrang, sang senapati dinganga makakasir gagak lpas, dan beberapa senapati lainnya.

Kebo Iwa hanyalah sebagai penjaga pos keamanan untuk daerah Batahanyar dan Blahbatuh, Ki Tambyak penjaga pos keamanan di Jimbaran, Ki Bwahan di Batur, Si Tunjung Tutur di Tenganan,
Ki Pasung Grigis di Tengkulak, serta para ksatria lainnya yang menyebar di jagat Bali. Sedangkan dalam purana, prakempa, babad, pamancangah, lainnya Kebo Iwa adalah mahapatih kerajaan
Badhahulu. Sedangkan dalam Purana Pura Luhur Pucak Padang Dawa, Kebo Iwa diberi sebutan bhatara amurbeng rat, dewa gede kebo iwa, bhatara gede sakti, bhatara guru, dan sebagainya.
Demikian juga dengan Sri Karang Buncing, karena nyineb wangsa (menutup asal usul), sehingga dalam kehidupan sosial di masyarakat ada menyebut, arya karang buncing, gusti karang buncing, prabali karang buncing, pasek karang buncing, sri arya karang buncing, karang gaduh, bendesa karang buncing, arya kedi dan soroh karang lainnya.

Munculnya perbedaan identitas tersebut berdasarkan guna karma, tugas dan fungsi keturunan beliau saat itu. Tatkala keturunannya menjabat sebagai kepala desa, bendesa karang buncing sebutannya. Tatkala keturunannya mendapat tugas pemerintahan Dalem (Majapahit), arya karang buncing sebutannya. Sedangkan keturunan yang berasal dari pertapa raja raja Bali Kuno di Desa Gamongan, persebaranya warga dukuh sebutannya. Tatkala ada pengelompokkan dalam penulisan babad antara nak jawa dan nak bali atau keturunan berasal dari Jawa dan orang Bali, prabali karang buncing disebutnya. Jika keturunannya mamarekan (mengabdi) di keluarga dalem atau yang berkasta lebih tinggi, pasek karang buncing disebutnya, dan sebagainya. Sesungguhnya kata-kata Karang Buncing yang berbeda itu berasal dari Sri Karang Buncing adik kandung Sri Kbo Iwa yang hidup pada masa peralihan pemerintahan Bali Kuno ke Majapahit. Beliau berdua adalah keturunan akhir raja-raja Bali Kuno dan misan mindon (sepupu) dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Disamping kesepakatan warga dalam Mahasaba, nama Sri Karang Buncing yang dipakai momentum oleh keturunannya masa kini di dalam mendekatkan diri kepada Hyang Kawitan (leluhur) dan Hyang Widhi/ Tuhan.

Sekilas dapat disimpulkan, bila penulisan awal sejarah Bali hanya bersumber dari prasasti prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang bersangkutan, akan terlihat mereka berkuasa sangat pendek, ini
terlihat berdasarkan awal dan akhir tahun prasasti yang dikeluarkan. Dalam prasasti tidak tertulis hubungan kekerabatan raja satu dengan raja yang lainnya, dan tidak kelihatan kisah kehidupan mereka. Sedangkan dalam purana kadang-kadang mereka berkuasa melebihi dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan, serta asal asul dan kisah peristiwa yang terjadi kepadanya sangat jelas. Sedangkan apabila hanya purana, piagem, babad, prakempa, pemancangah yang dipakai pedoman dalam penulisan awal sejarah Bali tanpa didukung data sejarah yang dikeluarkan pada zaman orangnya sendiri maka teks itu akan mengambang dalam arti masih diragukan kebenarannya. Hanya orang-orang penting yang berkuasa pada zamannya akan tercatat dalam buku sejarah Bali.

Sri Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing banyak mempunyai nama samar, tergantung masyarakat hendak menggambarkan beliau itu dari sisi yang mana, apakah kisah kehidupannya mau dimitoskan,
dilecehkan, dipolitisir, dibudayakan, disucikan, atau dihilangkan dan sebagainya, tentunya akan berdampak mendoktrin pikiran generasi selanjutnya tentang perjalanan sejarah Bali.

Runutan nama raja yang berkuasa di Bali, bersumber dari Prasasti,
Purana, Piagem, Babad, Prakempa dan Pamancangah lainnya, adalah
sebagai berikut:
1. Sri Kesari Warmadewa (isaka 804-837)
2. Sri Ugrasena (isaka 837-864).
3. Sri Haji Tabanendra Warmadewa (877-889).
4. Sri Jaya Singa Warmadewa (isaka 892).
5. Sri Janasadhu Warmadewa (isaka 897).
6. Sri Maharaja Cri Wijaya Mahadewi (isaka 905).
7. Sri Dharmodayana + Mahendradata (isaka 911-933).
8. Sri Sang Ajnadewi (isaka 938).
9. Sri Wardana Marakata (isaka 944-948).
10. Sri Haji Hungsu (isaka 971-999).
11. Sri Walaprabu (isaka 1001-1010).
12. Sri Sakalindu Kirana (isaka 1010-1023).
13. Sri Suradhipa (isaka 1024-1041).
14. Sri Jaya Sakti (isaka 1055-1072). 
15. Sri Gnijaya (isaka 1072-1077).
16. Sri Ragajaya (isaka 1077-1099).
17. Sri Maharaja Haji Jaya Pangus (isaka 1099-1103).
18. Sri Hekajaya Lancana (isaka 1103-1122).
19. Sri Adi Kuti Ketana (isaka 1122-1126).
20. Sri Adi Dewa Lancana (isaka 1126-1172).
21. Sri Indra Cakru (isaka 1172).
22. Rajapatih Kebo Parud (1206-1222).
23. Rajapatih Sri Jaya Katong (isaka 1222-1238).
24. Sri Taruna Jaya (isaka 1238-1246).
25. Sri Masula-Masuli (isaka1246-1250).
26. Sri Astasura Ratna Bumi Banten (isaka 1259-1265).
27. Kyayi Agung Pasek Gelgel (isaka 1265-1272).
28. Dalem Samprangan (isaka 1272).
29. Dalem Gelgel/Sri Kresna Kepakisan (isaka1302).
30. Dalem Waturenggong (isaka 1382). 

Nama keluarga akan berbeda setelah menjadi raja sesuai gelar yg diberikan oleh kerajaan, begitu pun setelah jadi raja dan melakukan hidup suci akan ganti nama juga ,,,

DAFTAR PUSTAKA

Beberapa data sekunder yang dipakai pedoman dalam penulisan atikel ini dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi, sebagai berikut:

1) Prasasti, adalah aturan resmi yang dikeluarkan oleh raja pada zamannya sendiri disaksikan strukturisasi pemerintahanya. Teks prasasti jarang menjelaskan tentang asal usul keturunan para raja
itu. Prasasti umumnya ditulis diatas tembaga, batu, perunggu, tahan ribuan tahun, sangat disucikan dan di stanakan di pura.

2) Purana,isinya menceritakan kejadian yang telah lewat tentang kisah para raja serta keturunannya dan dikaitkan dengan mitos para dewa yang berstana di gunung sekitarnya. Purana ditulis diatas daun
lontar menjadi pedoman untuk kelanjutan dari pangemong dan pangempon pura itu. Dalam purana tercatat nama leluhur warga yang merintis keberadaan sejarah pura. Purana pun disimpan di pura.

3) Piagem, adalah pegangan dari kelompok warga (klen) yang isinya menceritakan kisah leluhur mereka terdahulu dan keterkaitan dengan keberadaan purana dan prasasti dari pura tertentu.

4) Prakempa, adalah pegangan dari klompok warga (klen) yang isinya menceritakan sekelumit jejak leluhur mereka yang hanya ada di desa setempat.

5) Babad adalah cerita yang didengar, dari mulut ke mulut, bisa bersumber dari nak kerauhan (trance) atau hasil perenungan seseorang lalu ditulis dan dikait-kaitkan dengan nama tertentu, tanpa sumber sejarah yang jelas, menjadi milik pribadi.

6) Hasil deskripsi seseorang dalam persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi. Ironisnya jika para akademisi memakai acuan babad dalam menulis suatu karya ilmiah lalu dijadikan pedoman oleh umat kebanyakan maka hasilnya bertentangan dengan apa yang tercantum dalam prasasti dan purana.