Tuesday, November 5, 2013
Misi Peng-ISLAM-an Nusantara (Bag-5)
Sirna Ilang Kerthaning Bhumi
Atas perintah Raden Patah, Senopati Demak Bintara Sunan Kudus menemui
Adipati Terung, adik kandung Raden Patah dengan membawa pasukan Demak
Bintara. Adipati Terung di ultimatum agar menyerah, atau dihancurkan.
Adipati Terung dalam dilema. Pada akhirnya, dia menyatakan ‘menyerah’
kepada Demak Bintara.
Beberapa minggu kemudian, Raden Patah datang dari Demak untuk melihat langsung kemenangan
pasukannya. Raden Patah meminta semua laporan dari kepala pasukan
Demak. Diketahui kemudian, Prabhu Brawijaya berhasil meloloskan diri.
Pasukan Bhayangkara Majapahit atau Pasukan Khusus Pengawal Raja, memang
terkenal lihai melindungi junjungan mereka. Tak ada satupun kepala
pasukan Demak yang mengetahui bagaimana Pasukan Bhayangkara bisa
menerobos kepungan rapat Pasukan Islam dan kearah mana mereka membawa
Sang Prabhu pergi.
Raden Patah segera menyebar pasukan mata-mata
untuk melacak keberadaan Sang Prabhu. Dan Raden Patah sendiri segera
melanjutkan perjalanan untuk bertandang ke Pesantren Ampel di Surabaya.
Dia hendak mengabarkan kemenangan besar ini kepada janda Sunan Ampel.
Di Surabaya situasi anarkhis-pun merajalela. Nyi Ageng Ampel, begitu
mendengar laporan Raden Patah, marah! Dengan tegas beliau menyatakan,
apa yang dilakukan Raden Patah adalah sebuah kesalahan besar. Dia telah
berani melanggar wasiat gurunya sendiri, Sunan Ampel, yang mewasiatkan
sebelum beliau wafat, melarang orang-orang Islam merebut tahta
Majapahit. Dan juga, Raden Patah telah berani melawan seorang Imam yang
sah, seorang Umaro’ tidak seharusnya dilawan tanpa ada alasan yang
jelas. Dan yang ketiga, Raden Patah telah berani durhaka kepada ayah
kandungnya sendiri yang telah melimpahkan segala kebaikan bagi dirinya
serta orang-orang Islam.
Nyi Ageng Ampel menangis. Raden Patah
terketuk hati nuraninya, dia ikut mencucurkan air mata. Didepan Nyi
Ageng Ampel, Raden Patah mencium kaki beliau, menangis, menyesali
perbuatannya.
Dengan berurai air mata, Raden Patah meminta solusi
kepada Nyi Ageng Ampel. Dan Nyi Ageng Ampel memerintahkan kepadanya
untuk segera mencari keberadaan Prabhu Brawijaya. Dan apabila sudah
diketemukan, seyogyanya, Prabhu Brawijaya dikukuhkan kembali sebagai
seorang Raja.
Mendengar perintah itu, secara emosional Raden Patah
berniat mencari ayahandanya sendiri bersama beberapa orang prajurid
Demak. Tapi Nyi Ageng Ampel mencegahnya. Dalam situasi anarkhis seperti
ini, tidak memungkinkan bagi dia untuk mencari beliau sendiri.
Dikhawatirkan, akan terjadi kesalah pahaman. Dan sekarang, dimata Prabhu
Brawijaya, dirinya dan seluruh umat Islam yang menyokong pergerakan
pasukan Demak, tidak mungkin dipercaya lagi.
Jalan keluar yang
terbaik adalah, meminta bantuan Sunan Kalijaga atau Syeh Siti Jenar
untuk mewakili dirinya, mencari Prabhu Brawijaya dan apabila sudah bisa
ditemukan, memohon kepada Prabhu Brawijaya agar kembali ke Majapahit.
Sudah bukan rahasia lagi dikalangan Istana, dua ulama besar ini tidak
terlibat dalam penyerangan Majapahit.
Karena Syeh Siti Jenar, baru
saja disidang oleh Dewan Wali Sangha yang mengakibatkan hubungan beliau
dengan Para Wali sekaligus dengan Raden Patah dalam situasi yang tidak
mengenakkan, maka Raden Patah memutuskan untuk mengirim pasukan khusus
menemui Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga, dimohon menghadap ke Pesantren Ampel atas permintaan Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah.
Beberapa hari kemudian, Sunan Kalijaga datang ke Surabaya. Beliau waktu
itu berada di Demak Bintara, memfokuskan diri memimpin pembangunan
Masjid Demak.
Sunan Kalijaga, Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah,
terlibat perundingan yang serius. Dan pada akhirnya, Sunan Kalijaga
menyetujui untuk mengemban tugas mulia itu.
Beberapa hari kemudian,
laporan dari pasukan mata-mata Demak Bintara diterima Raden Patah.
Diketahui, ada konsentrasi besar pasukan Majapahit diwilayah Blambangan.
Diketahui pula, Prabhu Brawijaya ada disana. Ada kabar terpetik, Prabhu
Brawijaya hendak menyeberang ke pulau Bali.
Mendapati informasi
yang dapat dipercaya seperti itu, Sunan Kalijaga, diiringi beberapa
santrinya, segera berangkat ke Blambangan. Dia siap mengambil segala
resiko yang bakal terjadi. Dengan memakai pakaian rakyat sipil yang
tidak mencolok mata, demi untuk menghindari kesalah pahaman, dia
berangkat. Disetiap daerah yang dilalui, Sunan Kalijaga beserta
rombongan melihat pemandangan yang memilukan. Kekacauaan ada
dimana-mana. Penduduk yang masih memegang keyakinan lama, bentrok dengan
penduduk yang sudah mengganti keyakinannya.Korban berjatuhan. Nyawa
melayang karena kepicikan.
Rombongan ini harus pandai-pandai memilih
jalan. Kadangkala memutar kalau dirasa perlu. Mereka sengaja
menghindari tempat keramaian. Mereka lebih memilih menerobos hutan
belantara demi menjaga keamanan.
Dan, manakala mereka sudah tiba di
Blambangan, Sunan Kalijaga, menunjukkan statusnya. Dengan mengibarkan
bendera putih tanda gencatan senjata, dia memasuki kota Blambangan yang
mencekam.
Para prajurid Majapahit terkejut melihat ada serombongan
kecil orang-orang muslim memasuki kota Blambangan. Mereka mengibarkan
bendera putih. Mereka bukan tentara. Mereka tidak bersenjata. Serta
merta, kedatangan mereka dihadang oleh pasukan Majapahit. Dan mereka
tidak diperkenankan memasuki kota. Prajurid Majapahit, siap tempur.
Namun, Sunan Kalijaga menunjukkan siapa dirinya. Dia meminta kepada
kepala prajurid agar menyampaikan pesan kepada Prabhu Brawijaya,
bahwasanya dia, Raden Sahid atau Sunan Kalijaga, datang sebagai duta dan
memohon menghadap.
Ketegangan terjadi. Rombongan kecil ini diujung
tanduk. Nyawa mereka terancam. Namun mereka yakin, prajurid Majapahit
bisa membedakan, mana musuh dalam medan laga dan mana musuh dalam status
duta. Mereka tidak akan berani mencelakai seorang duta.
Ketegangan
sedikit mencair manakala ada pesan dari Sang Prabhu yang mengabulkan
permohonan Sunan Kalijaga untuk menghadap kepada beliau. Prabhu
Brawijaya tahu bagaimana menghormati seorang duta. Prabhu Brawijaya-pun
tahu dari laporan para pasukan Sandhi (Intelejen) bahwa Sunan Kalijaga
bersama para pengikutnya, tidak ikut melakukan penyerangan ke Majapahit.
Sunan Kalijaga beserta rombongan bisa bernafas lega. Mereka segera
menghadap Prabhu Brawijaya dengan pengawalan yang sangat ketat sekali.
Sembari memegang persenjataan lengkap dan siap digunakan, para prajurid
Bhayangkara menyambut kedatangan Sunan Kalijaga. Mereka mengapitnya.
Sunan Kalijaga diperkenankan masuk. Beberapa santrinya disuruh menunggu
diluar.
Prabhu Brawijaya, didampingi para penasehat beliau yang
terdiri dari para Pandhita Shiva dan Wiku Buddha, juga Sabdo Palon dan
Naya Genggong, nampak telah menunggu kedatangan Sunan Kalijaga. Begitu
ada dihadapan Sang Prabhu, Sunan Kalijaga menghaturkan hormat.
Prabhu Brawijaya menanyakan maksud kedatangan Sunan Kalijaga. Sunan
Kalijaga mengatakan bahwa dia adalah duta Raden Patah sekaligus Nyi
Ageng Ampel. Sunan Kalijaga menceritakan segalanya dari awal hingga
akhir. Bahkan dia menceritakan pula kondisi Majapahit. Prabhu Brawijaya
meneteskan air mata mendengar banyak penduduk yang harus meregang nyawa
karena kepicikan, mendengar Keraton megah kebanggaan Nusantara dibumi
hanguskan, mendengar tempat-tempat suci hancur rata dengan tanah.
Seluruh yang hadir merasa sedih, marah, geram, semua bercampur aduk menjadi satu.
Dan manakala Sunan Kalijaga mengahturkan tujuan sebenarnya dia menjadi
duta, yaitu agar Prabhu Brawijaya berkenan kembali memegang tampuk
pemerintahan di Majapahit, seketika ssemua yang hadir memincingkan
mata.Seolah mendengarkan kalimat yang tidak bisa dicerna.
Prabhu
Brawijaya tercenung. Beliau meminta nasehat. Beberapa penasehat
mengusulkan agar hal itu tidak dilakukan, karena sama saja menerima
suatu penghinaan. Dinasti Majapahit, bisa kembali berkuasa hanya karena
kebaikan hati orang-orang Islam. Tidak hanya itu saja, wibawa Sang
Prabhu akan jatuh dimata para pendukungnya. Tidak ada artinya tahta yang
diperoleh dari belas kasihan musuh. Masyarakat Majapahit akan memandang
rendah pemimpin mereka yang mau menerima tahta seperti itu. Selama ini,
Raja-Raja Majapahit, tidak pernah melakukan itu. Bila wibawa Sang
Prabhu telah jatuh, dengan sendirinya, para pengikut Sang Prabhu akan
berani juga bermain-main dengan Sang Prabhu kelak. Hukum tidak akan
dipatuhi. Para pembangkang akan muncul dimana-mana bak jamur tumbuh
dimusim penghujan. Dan lagi, apakah Sang Prabhu tidak malu menerima
tahta dari anaknya sendiri?
Sebaiknya Sang Prabhu tidak menerima tawaran itu.
Sang Prabhu menghela nafas.
Sunan Kalijaga mohon bicara. Apabila memang Sang Prabhu tidak mau
menerima tahta Majapahit dari tangan Raden Patah, maka seyogyanya Sang
Prabhu mempertimbangkan kembali jika hendak mendapatkannya dengan jalan
merebut. Sebab, bila hal itu sampai terjadi, tidak bisa dibayangkan,
tanah Jawa akan banjir darah. Dukungan kekuatan militer bagi Sang Prabhu
akan datang dari segenap pelosok Nusantara, tidak bakalan
tanggung-tanggung lagi. Jawa akan semakin membara bila seluruh Nusantara
akan bangkit. Pembunuhan yang lebih besar dan mengerikan akan terjadi.
Sang Prabhu Brawijaya bagaikan disodori buah simalakama, dimakan mati tidak dimakan pun mati.
Sejenak, Sang Prabhu berunding dengan para penasehat beliau yang
terdiri dari para ahli hukum dan agamawan. Sejurus kemudian, beliau
menyatakan kepada Sunan Kalijaga hendak merundingkan hal ini dengan para
penasehat lebih dalam lagi. Dan Sunan Kalijaga diperbolehkan menghadap
esok hari lagi. Sunan Kalijaga dan seluruh rombongannya diberikan tempat
bermalam, dengan pengawalan ketat.
Keesokan harinya, Sunan Kalijaga
dipanggil menghadap. Prabhu Brawijaya memutuskan, untuk menghindari
pertumpahan darah yang lebih besar lagi, beliau tidak akan mengadakan
gerakan perebutan tahta kembali. Lega Sunan Kalijaga mendengarnya.
Namun apa yang akan dilakukan Sang Prabhu agar seluruh putra-putra
beliau mau merelakan tahta diduduki Raden Patah? Begitu Sunan Kalijaga
meminta kejelasan langkah selanjutnya. Sang Prabhu mengatakan, beliau
akan mengeluarkan maklumat kepada seluruh putra-putra beliau untuk
bersikap sama seperti dirinya. Untuk berjiwa besar memberikan kesempatan
bagi Raden Patah memegang tampuk kekuasaan. Terutama kepada keturunan
beliau di Pengging, maklumat ini benar-benar harus dipatuhi. Semua sudah
paham, yang berhak mewarisi tahta Majapahit sebenarnya adalah keturunan
di Pengging.
Kini, Sang Prabhu yang mempertanyakan jaminan
kebebasan beragama kepada Sunan Kalijaga, apakah Demak Bintara bisa
memberikan wilayah-wilayah otonomi khusus bagi para penguasa daerah yang
mayoritas masyarakatnya tidak beragama Islam? Bisakah Demak Bintara
sebijak Majapahit dulu? Bukankah keyakinan yang dianut Raden Patah
menganggap semua yang diluar keyakinan mereka adalah musuh?
Sunan
Kalijaga terdiam. Dan setelah berfikir barang sejenak, Sunan Kalijaga
betjanji akan ikut andil menentukan arah kebijakan pemerintahan Demak
Bintara. Dan itu berarti, mulai saat ini, dia harus ikut terjun kedunia
politik. Dunia yang dihindarinya selama ini ( Tahta Kadipaten Tuban yang
diserahkan kepadanya, dia berikan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya
Dewi Rasa Wulan : Damar Shashangka).
Prabhu Brawijaya bernafas lega. Dia percaya pada sosok Raden Sahid atau Sunan Kalijaga ini.
Sunan Kalijaga menambahkan, Sang Prabhu seyogyanya kembali ke Trowulan.
Tidak usah meneruskan menyeberang ke pulau Bali. Sebab dengan adanya
Sang Prabhu di Trowulan, para putra dan masyarakat tahu kondisi beliau.
Tahu bahwasanya beliau baik-baik saja. Sehingga seluruh pendukung beliau
akan merasa tenang.
Kembali Sang Prabhu berunding dengan para penasehat sejenak Kemudian beliau memeberikan jawaban.
Ada beliau di Trowulan ataupun tidak, stabilitas negara sepeninggal
beliau tergulingkan dari tahta, mau tidak mau, tetap akan terganggu.
Karena para pendukung beliau pasti juga banyak yang belum bisa menerima
pemberontakan Raden Patah ini. Namun, jika tidak ada komando khusus dari
beliau, hal itu tidak akan menjadi sebuah kekacauan yang besar.
Pembangkangan daerah per daerah pasti terjadi. Tapi, Sang Prabhu
menjamin, tanpa komando beliau, penyatuan kekuatan Majapahit dari daerah
per daerah tidak bakalan terjadi. Dan, beliau tidak perlu pulang ke
Trowulan.
Sunan Kalijaga resah. Bila Sang Prabhu ke Bali, Sunan
Kalijaga takut beliau akan berubah pikiran begitu melihat betapa
militan-nya para pendukung beliau disana. Mau tidak mau, Prabhu
Brawijaya harus bisa diusahakan pulang ke Trowulan. Sunan Kalijaga
memutar otak.
Sunan Kalijaga tahu, hati Prabhu Brawijaya sangat
lembut. Dan kini, Sunan Kalijaga akan berusaha mengetuk kelembutan hati
beliau. Sunan Kalijaga memberikan gambaran betapa mengerikannya jika
para pendukung beliau benar-benar siap melakukan gerakan besar. Tidak
ada jaminan bagi Sang Prabhu sendiri bahwa beliau tidak akan berubah
pikiran bila tetap meneruskan perjalanan ke Bali. Sunan Kalijaga
memohon, Prabhu Brawijaya harus mengambil jarak dengan para pendukung
beliau. Nasib rakyat kecil dalam hal ini dipertaruhkan. Mereka harus
lebih diutamakan.
Sunan Kalijaga memberikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika Sang Prabhu tetap hendak ke Bali
Diam-diam, Prabhu Brawijaya berfikir. Diam-diam hati beliau terketuk.
Kata-kata Sunan Kalijaga memang ada benarnya. Prabhu Brawijaya
tercenung. Beliau memutuskan pertemuan untuk sementara disudahi. Sunan
Kalijaga diminta kembali ketempatnya untuk sementara waktu.
Dan,
Prabhu Brawijaya ingin menyendiri. Ingin merenung tanpa mau diganggu
oleh siapapun. Ketika malam menjelang, Sang Prabhu memanggil Sabdo Palon
dan Naya Genggong. Bertiga bersama-sama membahas langkah selanjutnya.
Dan, ketika malam menjelang puncak, Sabdo Palon dan Naya Genggong
berterus terang, Mereka berdua menunjukkan siapa sebenarnya jati
dirinya. Diiringi semburat cahaya lembut, Sabdo Palon dan Naya Genggong
‘menampakkan wujudnya yang asli’ kepada Prabhu Brawijaya.
Prabhu
Brawijaya terperanjat. Serta merta beliau menghaturkan hormat,
bersembah. Kini, malam ini, untuk pertama kalinya, Sang Prabhu Brawijaya
bersimpuh. ( Siapa mereka? Masih rahasia : Damar Shashangka).
Sabdo
Palon dan Naya Genggong memberikan gambaran apa yang bakal terjadi
kelak di Nusantara. Semenjak hari kehancuran Majapahit, ‘kesadaran’
masyarakat Nusantara akan jatuh ketitik yang paling rendah. ‘Kulit’
lebih diagung-agungkan dari pada ‘Isi’. ‘Kebenaran Yang Mutlak’ dianggap
sebagai milik golongan tertentu. Dharma diputar balikkan. Sampah-sampah
seperti ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun kedepan. Dan
bila sudah saatnya, Alam akan memuntahkannya. Alam akan membersihkannya.
Nusantara akan terguncang. Gempa Bumi, banjir bandang, angin puting
beliung, ombak samudera naik ke daratan, gunung berapi memuntahkan
laharnya berganti-gantian, musibah silih berganti, datang dan pergi.
Bila waktu itu tiba, Alam telah melakukan penyeleksian. Alam akan
memilih mereka-mereka yang ‘berkesadaran tinggi’. Yang ‘kesadarannya
masih rendah’, untuk sementara waktu disisihkan dahulu atau akan
dilahirkan ditempat lain diluar Nusantara. Bila saat itu sudah terjadi,
Sabdo Palon dan Naya Genggong akan muncul lagi, kembali ke Nusantara.
Sabdo Palon dan Naya Genggong akan ‘merawat tumbuhan kesadaran’ dari
mereka-mereka yang terpilih. Sabdo Palon dan Naya Genggong akan menjaga
‘tumbuhan Buddhi’ yang mulai bersemi itu. Itulah saatnya, agama Buddhi,
agama Kesadaran akan berkembang biak di Nusantara. Dan Nusantara, pelan
tapi pasti, akan dapat meraih kejayaannya kembali.
Memang sudah
menjadi garis karma, kehendak Hyang Widdhi Wasa, mereka-mereka saat ini
berkuasa di Nusantara. Prabhu Brawijaya tidak ada gunanya mempertahankan
Shiva Buddha. Prabhu Brawijaya lebih baik menuruti kehendak
mereka-mereka yang tengah berkuasa. Kelak, Prabhu Brawijaya juga akan
lahir lagi, lima ratus tahun kemudian, untuk ikut menyaksikan berseminya
agama Buddhi.
Menangislah Prabhu Brawijaya. Semalaman beliau
menangis. Semua rahasia masa depan Nusantara, dijabarkan oleh Sabdo
Palon dan Naya Genggong.
Keesokan harinya, beliau memanggil Sunan
Kalijaga. Dihadapan seluruh yang hadir, beliau menyatakan hendak kembali
ke Trowulan. Dan yang lebih mengagetkan, beliau menyatakan masuk Islam
demi menjaga stabilitas negara.
Sunan Kalijaga dan seluruh yang
hadir terperangah mendengar keputusan Sang Prabhu. Beberapa penasehat,
pejabat dan kepala pasukan Bhayangkara, bersujud sambil menangis haru.
Mereka memohon agar Sang Prabhu mencabut kembali sabda yang telah beliau
keluarkan. Situasi tegang, sedih, bingung…
Sabdo Palon dan Naya
Genggong angkat bicara. Dihadapan Prabhu Brawijaya, Sunan Kalijaga dan
seluruh yang hadir, mereka mengucapkan sebuah sumpah, bahwasanya lima
ratus tahun kemudian, mereka berdua akan kembali. ( Inilah yang lantas
dikenal dengan JANGKA SABDO PALON NAYA GENGGONG oleh masyarakat Jawa
sampai sekarang. Baca catatan saya tentang SERAT SABDO PALON. : Damar
Shashangka).
Selesai mengucapkan sumpah mereka, Sabdo Palon dan Naya Genggong mencium tangan Sang Prabhu Brawijaya. Sabdo Palon berbisik :
“Lima ratus tahun lagi, ananda akan bertemu dengan kami kembali. Sekarang sudah saatnya kita berpisah. Selamat tinggal ananda.”
Sabdo Palon dan Naya Genggong menyembah hormat, lalu bergegas keluar
dari ruang pertemuan. Semua yang hadir masih bingung melihat peristiwa
ini. Diantara mereka, ada beberapa yang ikut menyembah, melepas lencana
mereka dan memohon maaf kepada Sang Prabhu untuk undur diri.
Bagaikan tugu dari batu, Sang Prabhu Brawijaya diam tak bergerak.
Tinggal beberapa orang yang ada didepan beliau. Beberapa pasukan
Bhayangkara yang memutuskan untuk setia mengiringi Sang Prabhu. Juga ada
Sunan Kalijaga, yang masih pula ada di sana.
Setelah kediaman
beliau yang lama, Sunan Kalijaga memberanikan diri menanyakan keputusan
Sang Prabhu tersebut. Sang Prabhu menjawab, semua memang harus terjadi.
Mendengar sabda Sang Prabhu, Sunan Kalijaga segera mendekat kepada
beliau.
Sunan Kalijaga memohon dengan segala hormat, apabila Sang
Prabhu benar-benar ikhlas menyerahkan tahta kepada Raden Patah, maka
beliau harus rela melepaskan mahkota beserta pakaian kebesaran beliau
sebagai Raja Diraja. Sejenak Sang Prabhu masih ragu, namun ketika sekali
lagi Sunan Kalijaga memohon keikhlasan beliau, maka Sang Prabhu
menyetujuinya. ( Inilah simbolisasi rambut beliau dipotong oleh Sunan
Kalijaga. Pada kali pertama, rambut beliau tidak bisa putus. Dan pada
kali kedua, barulah bisa putus : Damar Shashangka.)
Tidak menunggu
waktu lama, berangkatlah rombongan Prabhu Brawijaya yang terdiri dari
sedikit pasukan Bhayangkara dan Sunan Kalijaga beserta para santri
menuju Trowulan. Sesampainya di Trowulan, masyarakat Majapahit menyambut
dengan penuh suka cita. Keadaan mulai berangsur membaik ketika Sang
Prabhu Brawijaya mengeluarkan maklumat agar semua pertikaian dihentikan.
Disusul kemudian, keluar maklumat serupa dari Demak Bintara yang
memfatwakan, peperangan sudah berhenti, diharamkan membunuh mereka yang
telah kalah perang. Kondisi anarkhisme, berangsur-angsur menjadi
kondusif. Stabilitas untuk sementara waktu kembali normal. Stabilitas
yang dibawa dari Blambangan ini, membuat Sunan Kalijaga, sebagai suatu
kenangan keberhasilan mendamaikan kedua belah pihak, memberikan nama
baru kepada Blambangan, yaitu Banyuwangi. ( Disimbolkan, Sunan Kalijaga
membawa sepotong bambu kemudian dia mengisinya dengan air kotor waktu
masih di Blambangan. Begitu sesampainya di Trowulan, air dalam bambu itu
berubah menjadi jernih dan wangi. Bambu adalah lambang dari sebuah
negara, air kotor yang diambil Sunan Kalijaga adalah masalah yang dibuat
oleh orang-orang yang sekeyakinan dengan Sunan Kalijaga sendiri. Air
yang berubah jernih setibanya di Trowulan melambangkan kembalinya
stabilitas negara.: Damar Shashangka).
Bergiliran, para putra Prabhu
Brawijaya datang ke Trowulan. Adipati Handayaningrat dari Pengging
beserta Ki Ageng Pengging putranya. Raden Bondhan Kejawen dari Tarub.
Raden Bathara Katong dari Ponorogo. Raden Lembu Peteng dari Madura, dan
masih banyak lagi. Tak ketinggalan Raden Patah sendiri.
Dihadapan
seluruh putra-putra beliau, Sunan Kalijaga menyampaikan amanat Sang
Prabhu agar pertikaian dihentikan. Dan agar Raden Patah, diikhlaskan
menduduki tahta Demak Bintara. Seluruh putra-putra beliau, wajib
menerima dan mentaati keputusan ini.
Kepada Sunan Kalijaga, Sang
Prabhu Brawijaya memberikan amanat untuk mendampingi keturunan beliau
yang ada di Tarub yaitu Raden Bondhan Kejawen dan keturunan beliau yang
ada di Pengging. Terutama kepada Raden Bondhan Kejawen, Prabhu Brawijaya
telah mengetahuinya dari Sabdo Palon dan Naya Genggong, bahwa kelak,
dari keturunannya, akan lahir Raja-Raja besar di Jawa. Dinasti Raden
Patah dan dinasti dari Pengging, tidak akan bertahan lama.
Prabhu
Brawijaya bahkan membisikkan kepada Sunan Kalijaga, bahwa Demak hanya
akan dipimpin oleh tiga orang Raja. Setelah itu akan digantikan oleh
keturunan dari Pengging, cuma satu orang Raja. Lantas digantikan oleh
keturunan dari Tarub. Banyak Raja akan terlahir dari keturunan dari
Tarub.
(Ramalan ini terbukti, Demak hanya diperintah oleh tiga orang
Sultan. Yaitu Raden Patah, Sultan Yunus lalu Sultan Trenggana. Setelah
itu terjadi pertumpahan darah antara Kubu Abangan dengan Kubu Putihan.
Dan Jaka Tingkir tampil kemuka. Jaka Tingkir adalah keturunan dari
Pengging. Tapi tidak lama, keturunan dari Tarub, yaitu Danang
Sutawijaya, yang kelak dikenal dengan gelar Panembahan Senopati Ing
Ngalaga Mentaram, akan tampil kemuka menggantikan keturunan Pengging.
Panembahan Senopati inilah pendiri Kesultanan Mataram Islam, yang
sekarang terpecah menjadi Jogjakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan Paku
Alaman amar Shashangka.)
Tidak berapa lama kemudian, Prabhu
Brawijaya jatuh sakit. Dalam kondisi akhir hidupnya, Sunan Kalijaga
dengan setia mendampingi beliau. Kepada Sunan Kalijaga, Prabhu Brawijaya
berwasiat agar dipusara makam beliau kelak apabila beliau wafat, jangan
dituliskan nama beliau atau gelar beliau sebagai Raja terakhir
Majapahit. Melainkan beliau meminta agar dituliskan nama Putri Champa
saja. Ini sebagai penanda kisah akhir hidup beliau, juga kisah akhir
Kerajaan Majapahit yang terkenal dipelosok Nusantara. Bahwasanya, beliau
telah ditikam dari belakang oleh permaisurinya sendiri Dewi Anarawati
atau Putri Champa dan beliau diperlakukan dan tidak dihargai lagi
sebagai seorang laki-laki oleh Raden Patah, putranya sendiri.
Sunan Kalijaga sedih mendapat wasiat seperti itu. Namun begitu beliau wafat, wasiat itu-pun dijalankan.
Seluruh masyarakat berkabung. Seluruh putra dan putri beliau berkabung.
Dan kehancuran Majapahit. Kehancuran Kerajaan Besar ini dikenang oleh
masyarakat Jawa dengan kalimat sandhi yang menyiratkan angka-angka tahun
sebuah kejadian (Surya Sengkala), yaitu SIRNA ILANG KERTANING BHUMI.
SIRNA berarti angka ’0′. ILANG berarti angka ’0′. KERTA berarti angka
’4′ dan BHUMI berarti angka ’1′. Dan apabila dibalik, akan terbaca 1400
Saka atau 1478 Masehi. Kalimat KERTAning BHUMI diambil dari nama asli
Prabhu Brawijaya, yaitu Raden Kertabhumi. Inilah kebiasaan masyarakat
Jawa yang sangat indah dalam mengenang sebuah kejadian penting.
Dan
Raden Patah, memindahkan pusat pemerintahan ke Demak Bintara. Dia
dikukuhkan oleh Dewan Wali Sangha sebagai Sultan dengan gelar Sultan
Syah ‘Alam Akbar Jim-Bun-ningrat.
Keinginan orang-orang Islam
terwujud. Demak Bintara menjadi ke-Khalifah-an Islam pertama di Jawa.
Tapi, pemberontakan dari berbagai daerah, tidak bisa diatasi oleh
Pemerintahan Demak. Wilayah Majapahit yang dulu luas, kini terkikis
habis. Praktis, wilayah Demak Bintara hanya sebatas Jawa Tengah saja.
Kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian seolah menjauh dari Demak Bintara.
Darah terus tertumpah tiada habisnya. Perebutan kekuasaan silih
berganti. Nusantara semakin terpuruk. Semakin tenggelam dipeta
perpolitikan dunia.
Disusul kemudian, pada tahun 1596 Masehi,
Belanda datang ke Jawa. Nusantara semakin menjadi bangsa tempe! Semenjak
Majapahit hancur, hingga sekarang, kemakmuran hanya menjadi mimpi
belaka.
Kapan Majapahit bangkit lagi? Kapan Nusantara akan disegani sebagai Macan lagi?
Menangislah membaca sejarah bangsa kita. Menangislah kalian karena
kalian sendiri yang telah lalai terlalu bangga membawa masuk ideologi
bangsa lain yang tidak sesuai dengan tanah Nusantara.
Sandhya
Kalaning Majapahit. Majapahit hancur sudah. Sinar Kejayaan Nusantara
kini telah meredup, bagai matahari yang tenggelam diufuk barat.
(Tamat)
*(Damar Shashangka) diolah dari berbagai sumber
Atas perintah Raden Patah, Senopati Demak Bintara Sunan Kudus menemui Adipati Terung, adik kandung Raden Patah dengan membawa pasukan Demak Bintara. Adipati Terung di ultimatum agar menyerah, atau dihancurkan. Adipati Terung dalam dilema. Pada akhirnya, dia menyatakan ‘menyerah’ kepada Demak Bintara.
Beberapa minggu kemudian, Raden Patah datang dari Demak untuk melihat langsung kemenangan
pasukannya. Raden Patah meminta semua laporan dari kepala pasukan Demak. Diketahui kemudian, Prabhu Brawijaya berhasil meloloskan diri. Pasukan Bhayangkara Majapahit atau Pasukan Khusus Pengawal Raja, memang terkenal lihai melindungi junjungan mereka. Tak ada satupun kepala pasukan Demak yang mengetahui bagaimana Pasukan Bhayangkara bisa menerobos kepungan rapat Pasukan Islam dan kearah mana mereka membawa Sang Prabhu pergi.
Raden Patah segera menyebar pasukan mata-mata untuk melacak keberadaan Sang Prabhu. Dan Raden Patah sendiri segera melanjutkan perjalanan untuk bertandang ke Pesantren Ampel di Surabaya. Dia hendak mengabarkan kemenangan besar ini kepada janda Sunan Ampel.
Di Surabaya situasi anarkhis-pun merajalela. Nyi Ageng Ampel, begitu mendengar laporan Raden Patah, marah! Dengan tegas beliau menyatakan, apa yang dilakukan Raden Patah adalah sebuah kesalahan besar. Dia telah berani melanggar wasiat gurunya sendiri, Sunan Ampel, yang mewasiatkan sebelum beliau wafat, melarang orang-orang Islam merebut tahta Majapahit. Dan juga, Raden Patah telah berani melawan seorang Imam yang sah, seorang Umaro’ tidak seharusnya dilawan tanpa ada alasan yang jelas. Dan yang ketiga, Raden Patah telah berani durhaka kepada ayah kandungnya sendiri yang telah melimpahkan segala kebaikan bagi dirinya serta orang-orang Islam.
Nyi Ageng Ampel menangis. Raden Patah terketuk hati nuraninya, dia ikut mencucurkan air mata. Didepan Nyi Ageng Ampel, Raden Patah mencium kaki beliau, menangis, menyesali perbuatannya.
Dengan berurai air mata, Raden Patah meminta solusi kepada Nyi Ageng Ampel. Dan Nyi Ageng Ampel memerintahkan kepadanya untuk segera mencari keberadaan Prabhu Brawijaya. Dan apabila sudah diketemukan, seyogyanya, Prabhu Brawijaya dikukuhkan kembali sebagai seorang Raja.
Mendengar perintah itu, secara emosional Raden Patah berniat mencari ayahandanya sendiri bersama beberapa orang prajurid Demak. Tapi Nyi Ageng Ampel mencegahnya. Dalam situasi anarkhis seperti ini, tidak memungkinkan bagi dia untuk mencari beliau sendiri. Dikhawatirkan, akan terjadi kesalah pahaman. Dan sekarang, dimata Prabhu Brawijaya, dirinya dan seluruh umat Islam yang menyokong pergerakan pasukan Demak, tidak mungkin dipercaya lagi.
Jalan keluar yang terbaik adalah, meminta bantuan Sunan Kalijaga atau Syeh Siti Jenar untuk mewakili dirinya, mencari Prabhu Brawijaya dan apabila sudah bisa ditemukan, memohon kepada Prabhu Brawijaya agar kembali ke Majapahit. Sudah bukan rahasia lagi dikalangan Istana, dua ulama besar ini tidak terlibat dalam penyerangan Majapahit.
Karena Syeh Siti Jenar, baru saja disidang oleh Dewan Wali Sangha yang mengakibatkan hubungan beliau dengan Para Wali sekaligus dengan Raden Patah dalam situasi yang tidak mengenakkan, maka Raden Patah memutuskan untuk mengirim pasukan khusus menemui Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga, dimohon menghadap ke Pesantren Ampel atas permintaan Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah.
Beberapa hari kemudian, Sunan Kalijaga datang ke Surabaya. Beliau waktu itu berada di Demak Bintara, memfokuskan diri memimpin pembangunan Masjid Demak.
Sunan Kalijaga, Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah, terlibat perundingan yang serius. Dan pada akhirnya, Sunan Kalijaga menyetujui untuk mengemban tugas mulia itu.
Beberapa hari kemudian, laporan dari pasukan mata-mata Demak Bintara diterima Raden Patah. Diketahui, ada konsentrasi besar pasukan Majapahit diwilayah Blambangan. Diketahui pula, Prabhu Brawijaya ada disana. Ada kabar terpetik, Prabhu Brawijaya hendak menyeberang ke pulau Bali.
Mendapati informasi yang dapat dipercaya seperti itu, Sunan Kalijaga, diiringi beberapa santrinya, segera berangkat ke Blambangan. Dia siap mengambil segala resiko yang bakal terjadi. Dengan memakai pakaian rakyat sipil yang tidak mencolok mata, demi untuk menghindari kesalah pahaman, dia berangkat. Disetiap daerah yang dilalui, Sunan Kalijaga beserta rombongan melihat pemandangan yang memilukan. Kekacauaan ada dimana-mana. Penduduk yang masih memegang keyakinan lama, bentrok dengan penduduk yang sudah mengganti keyakinannya.Korban berjatuhan. Nyawa melayang karena kepicikan.
Rombongan ini harus pandai-pandai memilih jalan. Kadangkala memutar kalau dirasa perlu. Mereka sengaja menghindari tempat keramaian. Mereka lebih memilih menerobos hutan belantara demi menjaga keamanan.
Dan, manakala mereka sudah tiba di Blambangan, Sunan Kalijaga, menunjukkan statusnya. Dengan mengibarkan bendera putih tanda gencatan senjata, dia memasuki kota Blambangan yang mencekam.
Para prajurid Majapahit terkejut melihat ada serombongan kecil orang-orang muslim memasuki kota Blambangan. Mereka mengibarkan bendera putih. Mereka bukan tentara. Mereka tidak bersenjata. Serta merta, kedatangan mereka dihadang oleh pasukan Majapahit. Dan mereka tidak diperkenankan memasuki kota. Prajurid Majapahit, siap tempur.
Namun, Sunan Kalijaga menunjukkan siapa dirinya. Dia meminta kepada kepala prajurid agar menyampaikan pesan kepada Prabhu Brawijaya, bahwasanya dia, Raden Sahid atau Sunan Kalijaga, datang sebagai duta dan memohon menghadap.
Ketegangan terjadi. Rombongan kecil ini diujung tanduk. Nyawa mereka terancam. Namun mereka yakin, prajurid Majapahit bisa membedakan, mana musuh dalam medan laga dan mana musuh dalam status duta. Mereka tidak akan berani mencelakai seorang duta.
Ketegangan sedikit mencair manakala ada pesan dari Sang Prabhu yang mengabulkan permohonan Sunan Kalijaga untuk menghadap kepada beliau. Prabhu Brawijaya tahu bagaimana menghormati seorang duta. Prabhu Brawijaya-pun tahu dari laporan para pasukan Sandhi (Intelejen) bahwa Sunan Kalijaga bersama para pengikutnya, tidak ikut melakukan penyerangan ke Majapahit.
Sunan Kalijaga beserta rombongan bisa bernafas lega. Mereka segera menghadap Prabhu Brawijaya dengan pengawalan yang sangat ketat sekali. Sembari memegang persenjataan lengkap dan siap digunakan, para prajurid Bhayangkara menyambut kedatangan Sunan Kalijaga. Mereka mengapitnya. Sunan Kalijaga diperkenankan masuk. Beberapa santrinya disuruh menunggu diluar.
Prabhu Brawijaya, didampingi para penasehat beliau yang terdiri dari para Pandhita Shiva dan Wiku Buddha, juga Sabdo Palon dan Naya Genggong, nampak telah menunggu kedatangan Sunan Kalijaga. Begitu ada dihadapan Sang Prabhu, Sunan Kalijaga menghaturkan hormat.
Prabhu Brawijaya menanyakan maksud kedatangan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga mengatakan bahwa dia adalah duta Raden Patah sekaligus Nyi Ageng Ampel. Sunan Kalijaga menceritakan segalanya dari awal hingga akhir. Bahkan dia menceritakan pula kondisi Majapahit. Prabhu Brawijaya meneteskan air mata mendengar banyak penduduk yang harus meregang nyawa karena kepicikan, mendengar Keraton megah kebanggaan Nusantara dibumi hanguskan, mendengar tempat-tempat suci hancur rata dengan tanah.
Seluruh yang hadir merasa sedih, marah, geram, semua bercampur aduk menjadi satu.
Dan manakala Sunan Kalijaga mengahturkan tujuan sebenarnya dia menjadi duta, yaitu agar Prabhu Brawijaya berkenan kembali memegang tampuk pemerintahan di Majapahit, seketika ssemua yang hadir memincingkan mata.Seolah mendengarkan kalimat yang tidak bisa dicerna.
Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau meminta nasehat. Beberapa penasehat mengusulkan agar hal itu tidak dilakukan, karena sama saja menerima suatu penghinaan. Dinasti Majapahit, bisa kembali berkuasa hanya karena kebaikan hati orang-orang Islam. Tidak hanya itu saja, wibawa Sang Prabhu akan jatuh dimata para pendukungnya. Tidak ada artinya tahta yang diperoleh dari belas kasihan musuh. Masyarakat Majapahit akan memandang rendah pemimpin mereka yang mau menerima tahta seperti itu. Selama ini, Raja-Raja Majapahit, tidak pernah melakukan itu. Bila wibawa Sang Prabhu telah jatuh, dengan sendirinya, para pengikut Sang Prabhu akan berani juga bermain-main dengan Sang Prabhu kelak. Hukum tidak akan dipatuhi. Para pembangkang akan muncul dimana-mana bak jamur tumbuh dimusim penghujan. Dan lagi, apakah Sang Prabhu tidak malu menerima tahta dari anaknya sendiri?
Sebaiknya Sang Prabhu tidak menerima tawaran itu.
Sang Prabhu menghela nafas.
Sunan Kalijaga mohon bicara. Apabila memang Sang Prabhu tidak mau menerima tahta Majapahit dari tangan Raden Patah, maka seyogyanya Sang Prabhu mempertimbangkan kembali jika hendak mendapatkannya dengan jalan merebut. Sebab, bila hal itu sampai terjadi, tidak bisa dibayangkan, tanah Jawa akan banjir darah. Dukungan kekuatan militer bagi Sang Prabhu akan datang dari segenap pelosok Nusantara, tidak bakalan tanggung-tanggung lagi. Jawa akan semakin membara bila seluruh Nusantara akan bangkit. Pembunuhan yang lebih besar dan mengerikan akan terjadi.
Sang Prabhu Brawijaya bagaikan disodori buah simalakama, dimakan mati tidak dimakan pun mati.
Sejenak, Sang Prabhu berunding dengan para penasehat beliau yang terdiri dari para ahli hukum dan agamawan. Sejurus kemudian, beliau menyatakan kepada Sunan Kalijaga hendak merundingkan hal ini dengan para penasehat lebih dalam lagi. Dan Sunan Kalijaga diperbolehkan menghadap esok hari lagi. Sunan Kalijaga dan seluruh rombongannya diberikan tempat bermalam, dengan pengawalan ketat.
Keesokan harinya, Sunan Kalijaga dipanggil menghadap. Prabhu Brawijaya memutuskan, untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar lagi, beliau tidak akan mengadakan gerakan perebutan tahta kembali. Lega Sunan Kalijaga mendengarnya.
Namun apa yang akan dilakukan Sang Prabhu agar seluruh putra-putra beliau mau merelakan tahta diduduki Raden Patah? Begitu Sunan Kalijaga meminta kejelasan langkah selanjutnya. Sang Prabhu mengatakan, beliau akan mengeluarkan maklumat kepada seluruh putra-putra beliau untuk bersikap sama seperti dirinya. Untuk berjiwa besar memberikan kesempatan bagi Raden Patah memegang tampuk kekuasaan. Terutama kepada keturunan beliau di Pengging, maklumat ini benar-benar harus dipatuhi. Semua sudah paham, yang berhak mewarisi tahta Majapahit sebenarnya adalah keturunan di Pengging.
Kini, Sang Prabhu yang mempertanyakan jaminan kebebasan beragama kepada Sunan Kalijaga, apakah Demak Bintara bisa memberikan wilayah-wilayah otonomi khusus bagi para penguasa daerah yang mayoritas masyarakatnya tidak beragama Islam? Bisakah Demak Bintara sebijak Majapahit dulu? Bukankah keyakinan yang dianut Raden Patah menganggap semua yang diluar keyakinan mereka adalah musuh?
Sunan Kalijaga terdiam. Dan setelah berfikir barang sejenak, Sunan Kalijaga betjanji akan ikut andil menentukan arah kebijakan pemerintahan Demak Bintara. Dan itu berarti, mulai saat ini, dia harus ikut terjun kedunia politik. Dunia yang dihindarinya selama ini ( Tahta Kadipaten Tuban yang diserahkan kepadanya, dia berikan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya Dewi Rasa Wulan : Damar Shashangka).
Prabhu Brawijaya bernafas lega. Dia percaya pada sosok Raden Sahid atau Sunan Kalijaga ini.
Sunan Kalijaga menambahkan, Sang Prabhu seyogyanya kembali ke Trowulan. Tidak usah meneruskan menyeberang ke pulau Bali. Sebab dengan adanya Sang Prabhu di Trowulan, para putra dan masyarakat tahu kondisi beliau. Tahu bahwasanya beliau baik-baik saja. Sehingga seluruh pendukung beliau akan merasa tenang.
Kembali Sang Prabhu berunding dengan para penasehat sejenak Kemudian beliau memeberikan jawaban.
Ada beliau di Trowulan ataupun tidak, stabilitas negara sepeninggal beliau tergulingkan dari tahta, mau tidak mau, tetap akan terganggu. Karena para pendukung beliau pasti juga banyak yang belum bisa menerima pemberontakan Raden Patah ini. Namun, jika tidak ada komando khusus dari beliau, hal itu tidak akan menjadi sebuah kekacauan yang besar. Pembangkangan daerah per daerah pasti terjadi. Tapi, Sang Prabhu menjamin, tanpa komando beliau, penyatuan kekuatan Majapahit dari daerah per daerah tidak bakalan terjadi. Dan, beliau tidak perlu pulang ke Trowulan.
Sunan Kalijaga resah. Bila Sang Prabhu ke Bali, Sunan Kalijaga takut beliau akan berubah pikiran begitu melihat betapa militan-nya para pendukung beliau disana. Mau tidak mau, Prabhu Brawijaya harus bisa diusahakan pulang ke Trowulan. Sunan Kalijaga memutar otak.
Sunan Kalijaga tahu, hati Prabhu Brawijaya sangat lembut. Dan kini, Sunan Kalijaga akan berusaha mengetuk kelembutan hati beliau. Sunan Kalijaga memberikan gambaran betapa mengerikannya jika para pendukung beliau benar-benar siap melakukan gerakan besar. Tidak ada jaminan bagi Sang Prabhu sendiri bahwa beliau tidak akan berubah pikiran bila tetap meneruskan perjalanan ke Bali. Sunan Kalijaga memohon, Prabhu Brawijaya harus mengambil jarak dengan para pendukung beliau. Nasib rakyat kecil dalam hal ini dipertaruhkan. Mereka harus lebih diutamakan.
Sunan Kalijaga memberikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika Sang Prabhu tetap hendak ke Bali
Diam-diam, Prabhu Brawijaya berfikir. Diam-diam hati beliau terketuk. Kata-kata Sunan Kalijaga memang ada benarnya. Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau memutuskan pertemuan untuk sementara disudahi. Sunan Kalijaga diminta kembali ketempatnya untuk sementara waktu.
Dan, Prabhu Brawijaya ingin menyendiri. Ingin merenung tanpa mau diganggu oleh siapapun. Ketika malam menjelang, Sang Prabhu memanggil Sabdo Palon dan Naya Genggong. Bertiga bersama-sama membahas langkah selanjutnya.
Dan, ketika malam menjelang puncak, Sabdo Palon dan Naya Genggong berterus terang, Mereka berdua menunjukkan siapa sebenarnya jati dirinya. Diiringi semburat cahaya lembut, Sabdo Palon dan Naya Genggong ‘menampakkan wujudnya yang asli’ kepada Prabhu Brawijaya.
Prabhu Brawijaya terperanjat. Serta merta beliau menghaturkan hormat, bersembah. Kini, malam ini, untuk pertama kalinya, Sang Prabhu Brawijaya bersimpuh. ( Siapa mereka? Masih rahasia : Damar Shashangka).
Sabdo Palon dan Naya Genggong memberikan gambaran apa yang bakal terjadi kelak di Nusantara. Semenjak hari kehancuran Majapahit, ‘kesadaran’ masyarakat Nusantara akan jatuh ketitik yang paling rendah. ‘Kulit’ lebih diagung-agungkan dari pada ‘Isi’. ‘Kebenaran Yang Mutlak’ dianggap sebagai milik golongan tertentu. Dharma diputar balikkan. Sampah-sampah seperti ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun kedepan. Dan bila sudah saatnya, Alam akan memuntahkannya. Alam akan membersihkannya.
Nusantara akan terguncang. Gempa Bumi, banjir bandang, angin puting beliung, ombak samudera naik ke daratan, gunung berapi memuntahkan laharnya berganti-gantian, musibah silih berganti, datang dan pergi. Bila waktu itu tiba, Alam telah melakukan penyeleksian. Alam akan memilih mereka-mereka yang ‘berkesadaran tinggi’. Yang ‘kesadarannya masih rendah’, untuk sementara waktu disisihkan dahulu atau akan dilahirkan ditempat lain diluar Nusantara. Bila saat itu sudah terjadi, Sabdo Palon dan Naya Genggong akan muncul lagi, kembali ke Nusantara. Sabdo Palon dan Naya Genggong akan ‘merawat tumbuhan kesadaran’ dari mereka-mereka yang terpilih. Sabdo Palon dan Naya Genggong akan menjaga ‘tumbuhan Buddhi’ yang mulai bersemi itu. Itulah saatnya, agama Buddhi, agama Kesadaran akan berkembang biak di Nusantara. Dan Nusantara, pelan tapi pasti, akan dapat meraih kejayaannya kembali.
Memang sudah menjadi garis karma, kehendak Hyang Widdhi Wasa, mereka-mereka saat ini berkuasa di Nusantara. Prabhu Brawijaya tidak ada gunanya mempertahankan Shiva Buddha. Prabhu Brawijaya lebih baik menuruti kehendak mereka-mereka yang tengah berkuasa. Kelak, Prabhu Brawijaya juga akan lahir lagi, lima ratus tahun kemudian, untuk ikut menyaksikan berseminya agama Buddhi.
Menangislah Prabhu Brawijaya. Semalaman beliau menangis. Semua rahasia masa depan Nusantara, dijabarkan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Keesokan harinya, beliau memanggil Sunan Kalijaga. Dihadapan seluruh yang hadir, beliau menyatakan hendak kembali ke Trowulan. Dan yang lebih mengagetkan, beliau menyatakan masuk Islam demi menjaga stabilitas negara.
Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir terperangah mendengar keputusan Sang Prabhu. Beberapa penasehat, pejabat dan kepala pasukan Bhayangkara, bersujud sambil menangis haru. Mereka memohon agar Sang Prabhu mencabut kembali sabda yang telah beliau keluarkan. Situasi tegang, sedih, bingung…
Sabdo Palon dan Naya Genggong angkat bicara. Dihadapan Prabhu Brawijaya, Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir, mereka mengucapkan sebuah sumpah, bahwasanya lima ratus tahun kemudian, mereka berdua akan kembali. ( Inilah yang lantas dikenal dengan JANGKA SABDO PALON NAYA GENGGONG oleh masyarakat Jawa sampai sekarang. Baca catatan saya tentang SERAT SABDO PALON. : Damar Shashangka).
Selesai mengucapkan sumpah mereka, Sabdo Palon dan Naya Genggong mencium tangan Sang Prabhu Brawijaya. Sabdo Palon berbisik :
“Lima ratus tahun lagi, ananda akan bertemu dengan kami kembali. Sekarang sudah saatnya kita berpisah. Selamat tinggal ananda.”
Sabdo Palon dan Naya Genggong menyembah hormat, lalu bergegas keluar dari ruang pertemuan. Semua yang hadir masih bingung melihat peristiwa ini. Diantara mereka, ada beberapa yang ikut menyembah, melepas lencana mereka dan memohon maaf kepada Sang Prabhu untuk undur diri.
Bagaikan tugu dari batu, Sang Prabhu Brawijaya diam tak bergerak. Tinggal beberapa orang yang ada didepan beliau. Beberapa pasukan Bhayangkara yang memutuskan untuk setia mengiringi Sang Prabhu. Juga ada Sunan Kalijaga, yang masih pula ada di sana.
Setelah kediaman beliau yang lama, Sunan Kalijaga memberanikan diri menanyakan keputusan Sang Prabhu tersebut. Sang Prabhu menjawab, semua memang harus terjadi. Mendengar sabda Sang Prabhu, Sunan Kalijaga segera mendekat kepada beliau.
Sunan Kalijaga memohon dengan segala hormat, apabila Sang Prabhu benar-benar ikhlas menyerahkan tahta kepada Raden Patah, maka beliau harus rela melepaskan mahkota beserta pakaian kebesaran beliau sebagai Raja Diraja. Sejenak Sang Prabhu masih ragu, namun ketika sekali lagi Sunan Kalijaga memohon keikhlasan beliau, maka Sang Prabhu menyetujuinya. ( Inilah simbolisasi rambut beliau dipotong oleh Sunan Kalijaga. Pada kali pertama, rambut beliau tidak bisa putus. Dan pada kali kedua, barulah bisa putus : Damar Shashangka.)
Tidak menunggu waktu lama, berangkatlah rombongan Prabhu Brawijaya yang terdiri dari sedikit pasukan Bhayangkara dan Sunan Kalijaga beserta para santri menuju Trowulan. Sesampainya di Trowulan, masyarakat Majapahit menyambut dengan penuh suka cita. Keadaan mulai berangsur membaik ketika Sang Prabhu Brawijaya mengeluarkan maklumat agar semua pertikaian dihentikan. Disusul kemudian, keluar maklumat serupa dari Demak Bintara yang memfatwakan, peperangan sudah berhenti, diharamkan membunuh mereka yang telah kalah perang. Kondisi anarkhisme, berangsur-angsur menjadi kondusif. Stabilitas untuk sementara waktu kembali normal. Stabilitas yang dibawa dari Blambangan ini, membuat Sunan Kalijaga, sebagai suatu kenangan keberhasilan mendamaikan kedua belah pihak, memberikan nama baru kepada Blambangan, yaitu Banyuwangi. ( Disimbolkan, Sunan Kalijaga membawa sepotong bambu kemudian dia mengisinya dengan air kotor waktu masih di Blambangan. Begitu sesampainya di Trowulan, air dalam bambu itu berubah menjadi jernih dan wangi. Bambu adalah lambang dari sebuah negara, air kotor yang diambil Sunan Kalijaga adalah masalah yang dibuat oleh orang-orang yang sekeyakinan dengan Sunan Kalijaga sendiri. Air yang berubah jernih setibanya di Trowulan melambangkan kembalinya stabilitas negara.: Damar Shashangka).
Bergiliran, para putra Prabhu Brawijaya datang ke Trowulan. Adipati Handayaningrat dari Pengging beserta Ki Ageng Pengging putranya. Raden Bondhan Kejawen dari Tarub. Raden Bathara Katong dari Ponorogo. Raden Lembu Peteng dari Madura, dan masih banyak lagi. Tak ketinggalan Raden Patah sendiri.
Dihadapan seluruh putra-putra beliau, Sunan Kalijaga menyampaikan amanat Sang Prabhu agar pertikaian dihentikan. Dan agar Raden Patah, diikhlaskan menduduki tahta Demak Bintara. Seluruh putra-putra beliau, wajib menerima dan mentaati keputusan ini.
Kepada Sunan Kalijaga, Sang Prabhu Brawijaya memberikan amanat untuk mendampingi keturunan beliau yang ada di Tarub yaitu Raden Bondhan Kejawen dan keturunan beliau yang ada di Pengging. Terutama kepada Raden Bondhan Kejawen, Prabhu Brawijaya telah mengetahuinya dari Sabdo Palon dan Naya Genggong, bahwa kelak, dari keturunannya, akan lahir Raja-Raja besar di Jawa. Dinasti Raden Patah dan dinasti dari Pengging, tidak akan bertahan lama.
Prabhu Brawijaya bahkan membisikkan kepada Sunan Kalijaga, bahwa Demak hanya akan dipimpin oleh tiga orang Raja. Setelah itu akan digantikan oleh keturunan dari Pengging, cuma satu orang Raja. Lantas digantikan oleh keturunan dari Tarub. Banyak Raja akan terlahir dari keturunan dari Tarub.
(Ramalan ini terbukti, Demak hanya diperintah oleh tiga orang Sultan. Yaitu Raden Patah, Sultan Yunus lalu Sultan Trenggana. Setelah itu terjadi pertumpahan darah antara Kubu Abangan dengan Kubu Putihan. Dan Jaka Tingkir tampil kemuka. Jaka Tingkir adalah keturunan dari Pengging. Tapi tidak lama, keturunan dari Tarub, yaitu Danang Sutawijaya, yang kelak dikenal dengan gelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mentaram, akan tampil kemuka menggantikan keturunan Pengging. Panembahan Senopati inilah pendiri Kesultanan Mataram Islam, yang sekarang terpecah menjadi Jogjakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman amar Shashangka.)
Tidak berapa lama kemudian, Prabhu Brawijaya jatuh sakit. Dalam kondisi akhir hidupnya, Sunan Kalijaga dengan setia mendampingi beliau. Kepada Sunan Kalijaga, Prabhu Brawijaya berwasiat agar dipusara makam beliau kelak apabila beliau wafat, jangan dituliskan nama beliau atau gelar beliau sebagai Raja terakhir Majapahit. Melainkan beliau meminta agar dituliskan nama Putri Champa saja. Ini sebagai penanda kisah akhir hidup beliau, juga kisah akhir Kerajaan Majapahit yang terkenal dipelosok Nusantara. Bahwasanya, beliau telah ditikam dari belakang oleh permaisurinya sendiri Dewi Anarawati atau Putri Champa dan beliau diperlakukan dan tidak dihargai lagi sebagai seorang laki-laki oleh Raden Patah, putranya sendiri.
Sunan Kalijaga sedih mendapat wasiat seperti itu. Namun begitu beliau wafat, wasiat itu-pun dijalankan.
Seluruh masyarakat berkabung. Seluruh putra dan putri beliau berkabung.
Dan kehancuran Majapahit. Kehancuran Kerajaan Besar ini dikenang oleh masyarakat Jawa dengan kalimat sandhi yang menyiratkan angka-angka tahun sebuah kejadian (Surya Sengkala), yaitu SIRNA ILANG KERTANING BHUMI. SIRNA berarti angka ’0′. ILANG berarti angka ’0′. KERTA berarti angka ’4′ dan BHUMI berarti angka ’1′. Dan apabila dibalik, akan terbaca 1400 Saka atau 1478 Masehi. Kalimat KERTAning BHUMI diambil dari nama asli Prabhu Brawijaya, yaitu Raden Kertabhumi. Inilah kebiasaan masyarakat Jawa yang sangat indah dalam mengenang sebuah kejadian penting.
Dan Raden Patah, memindahkan pusat pemerintahan ke Demak Bintara. Dia dikukuhkan oleh Dewan Wali Sangha sebagai Sultan dengan gelar Sultan Syah ‘Alam Akbar Jim-Bun-ningrat.
Keinginan orang-orang Islam terwujud. Demak Bintara menjadi ke-Khalifah-an Islam pertama di Jawa. Tapi, pemberontakan dari berbagai daerah, tidak bisa diatasi oleh Pemerintahan Demak. Wilayah Majapahit yang dulu luas, kini terkikis habis. Praktis, wilayah Demak Bintara hanya sebatas Jawa Tengah saja. Kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian seolah menjauh dari Demak Bintara. Darah terus tertumpah tiada habisnya. Perebutan kekuasaan silih berganti. Nusantara semakin terpuruk. Semakin tenggelam dipeta perpolitikan dunia.
Disusul kemudian, pada tahun 1596 Masehi, Belanda datang ke Jawa. Nusantara semakin menjadi bangsa tempe! Semenjak Majapahit hancur, hingga sekarang, kemakmuran hanya menjadi mimpi belaka.
Kapan Majapahit bangkit lagi? Kapan Nusantara akan disegani sebagai Macan lagi?
Menangislah membaca sejarah bangsa kita. Menangislah kalian karena kalian sendiri yang telah lalai terlalu bangga membawa masuk ideologi bangsa lain yang tidak sesuai dengan tanah Nusantara.
Sandhya Kalaning Majapahit. Majapahit hancur sudah. Sinar Kejayaan Nusantara kini telah meredup, bagai matahari yang tenggelam diufuk barat.
(Tamat)
*(Damar Shashangka) diolah dari berbagai sumber
Misi Peng-ISLAM-an Nusantara (Bag-4)
Mendekati detik-detik pemberontakan
Demak Bintara berkembang pesat. Tempat ini dirasa strategis untuk
pengembangan militansi Islam karena letaknya agak jauh dari pusat
kekuasaan. Di Demak Bintara, para ulama-ulama Putihan sering mengadakan
pertemuan. Jadilah Demak Bintara dikenal sebagai Kota Seribu Wali.
Ditambah pada tahun 1475 Masehi, seorang ulama berdarah Mesir-Sunda datang dari Mesir. Dia adalah
Syarif Hidayatullah. Dia datang bersama ibunya Syarifah Muda’im.
Syarifah Muda’im adalah putri Pajajaran. Putri dari Prabhu Silihwangi
penguasa Kerajaan Pejajaran. ( Hanya Kerajaan ini yang tidak masuk
wilayah Majapahit. Walau kecil, Pajajaran terkenal kuat. Anda bisa
membayangkan adanya Timor Leste sekarang. Seperti itulah keadaan
Majapahit dan Pajajaran. : Damar Shashangka).
Nama asli Syarifah
Muda’im adalah Dewi Rara Santang. Dia bersama kakaknya Pangeran
Walangsungsang, tertarik mempelajari Islam. Ketika berada di Makkah,
Dewi Rara Santang dipinang oleh bangsawan Mesir, Syarif Abdullah.
Menikahlah Dewi Rara Santang dengan bangsawan ini. Dan namanya berganti
Syarifah Muda’im. Dari pernikahan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah.
Pangeran Walang Sungsang, mendirikan daerah hunian baru di pesisir
utara Jawa barat. Dikenal kemudian dengan nama Tegal Alang-Alang. Lantas
berubah menjadi Caruban. Berubah lagi menjadi Caruban Larang. Pada
akhirnya, dikenal dengan nama Cirebon sampai sekarang.
Pangeran
Walang Sungsang, dikenal kemudian dengan nama Pangeran Cakrabhuwana.
Oleh ayahandanya, Prabhu Silihwangi diberikan gelar kehormatan Shri
Manggana.
Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabhuwana lantas dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Sunan Giri terpilih sebagai
penggantinya. Pusat Majelis Ulama Jawa kini berpindah ke Giri Kedhaton.
Dan, pada waktu inilah tragedi Syeh Siti Jenar terjadi. Syeh Siti Jenar
dipanggil ke Giri Kedhaton dan disidang oleh Dewan Wali Sangha dibawah
pimpinan Sunan Giri. Walau tidak mengakui keberadaan Majelis Ulama Jawa,
beliau tetap hadir. Beliau dituduh telah menyebarkan aliran sesat.
Adapula yang menuduh sebagai antek-antek Syi’ah. Ada juga yang
mengatakan beliau ahli sihir, dan lain sebagainya. ( Akan saya buat
catatan tersendiri tentang beliau : Damar Shashangka).
Pada sidang
pertama para ulama yang tergabung dalam Dewan Wali Sangha tidak bisa
menemukan kesalahan Syeh Siti Jenar. Sehingga, beliau lantas dibebaskan
dari segala tuduhan. Namun bagaimanapun juga, Syeh Siti Jenar adalah
duri didalam daging bagi mereka. Maka sejak saat itu,
kesalahan-kesalahan beliau senantiasa dicari-cari.
Konsentrasi Dewan
Wali Sangha terpecah pada rencana perebutan kekuasaan. Melalui
serangkaian musyawarah yang pelik, maka disimpulkan, kekuatan militansi
Islam sudah cukup siap untuk mengadakan perebutan kekuasaan. Raden
Patah, Adipati Demak Bintara, terpilih secara mutlak sebagai pemimpin
gerakan.
Kubu Abangan, tidak menghadiri musyawarah ini. Apalagi
semenjak Dewan Wali Sangha atau Majelis Ulama Jawa dipegang Sunan Giri,
hubungan kubu Putihan dan kubu Abangan kian meruncing.
Sunan
Kalijaga dan para pengikutnya hanya mau membantu Dewan Wali Sangha
merampungkan pembangunan Masjid Demak. Selebihnya, mereka tidak ikut
campur.
Persiapan sudah matang. Tinggal memilih hari yang
ditentukan. Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit mengendus
rencana ini. Prabhu Brawijaya mendapat laporan para pasukan Intelejen
yang ada disekitar Demak Bintara. Sayangnya, beliau tidak begitu
mempercayainya. Beliau berkeyakinan, tidak mungkin Raden Patah, putra
kandungnya sendiri akan nekad berbuat seperti itu. Prabhu Brawijaya
tidak memahami betapa militant-nya orang yang sudah terdoktrin!
Dan
manakala pergerakan pasukan besar-besaran terdengar, yaitu pasukan
orang-orang Islam Putihan, gabungan dari seluruh lasykar yang ada di
wilayah pesisir utara Jawa timur sampai Jawa barat mulai bergerak.
Keadaan menjadi gempar! Para Pejabat daerah kalang kabut. Mereka tidak
menyangka orang-orang Islam sedemikian banyaknya.
Setiap daerah yang
dilalui pasukan ini, tidak ada yang bisa membendung. Kekuatan mereka
cukup besar. Persiapan mereka cukup tertata. Sedangkan daerah-daerah
yang dilalui, tidak mempunyai persiapan sama sekali. Daerah perdaerah
yang dilewati, harus melawan sendiri-sendiri. Tidak ada penyatuan
pasukan dari daerah satu dengan daerah lain. Semua serba mendadak. Dan
tak ada pilihan lain kecuali melawan atau mundur teratur.
Gerakan
pasukan ini cukup kuat. Para Adipati yang berhasil mundur segera
melarikan diri ke ibu kota Negara. Mereka melaporkan agresi mendadak
pasukan pesisir yang terdiri dari orang-orang Islam itu.
Dan dari
mereka, Prabhu Brawijaya mendapat laporan yang mencengangkan, yaitu
telah terjadi pergerakan pasukan dari Demak Bintara. Pasukan berpakaian
putih-putih. Berbendera tulisan asing! Berteriak-teriak dengan bahasa
yang tidak dimengerti! Pasukan ini dapat dipastikan adalah pasukan
orang-orang Islam. Dan kini, tengah bergerak menuju ibu kota Negara
Majapahit.
Percaya tidak percaya Prabhu Brawijaya mendengarnya.
Laporan pasukan Telik Sandhibaya selama ini telah menjadi kenyataan..
Namun, Prabhu Brawijaya tetap tidak bisa mengerti, mana mungkin Raden
Patah berbuat seperti itu. Mana mungkin orang-orang Islam berani dan
tega mengadalan pemberontakan. Selama ini, Majapahit telah memberikan
bantuan material yang tidak sedikit bagi mereka. Sesak! Dada Prabhu
Brawijaya seketika serasa sesak bagai dihantam palu! Bergemuruh
mendidih! Beliau menyebut Nama Mahadeva berkali-kali.
Seluruh
pembesar Majapahit tegang. Mereka menantikan komando Sang Prabhu. Waktu
berjalan cepat. Sang Prabhu masih belum mengeluarkan titah apapun.
Pergerakan pasukan sudah memasuki Madiun, sebentar lagi mencapai wilayah
Kadhiri, sudah teramat dekat dengan ibu kota Negara.
Pertempuran-pertempuran penghadangan telah terjadi secara otomatis. Dan
semua telah masuk menjadi laporan bagi Sang Prabhu.
Bahkan ada laporan yang menyatakan, beberapa daerah yang terpengaruh Islam, malah ikut bergabung dengan pasukan ini.
Adipati Kertosono ( wilayah Kediri sekarang ) mengirinkan utusan khusus
kepada Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan perintah perang!
Sang
Prabhu masih termangu-mangu. Dan manakala terdengar Adipati Kertosono
melakukan perlawanan mati-matian tanpa menunggu komando beliau, barulah
Sang Prabhu tersadar! Segera beliau memerintahkan seluruh pasukan
Majapahit untuk mempersiapkan sebuah perang besar!
Para Panglima
yang telah menanti-nantikan perintah ini menyambut dengan suka cita!
Inilah yang mereka nanti-nantikan! Tanpa menunggu waktu lama, seluruh
kekuatan Majapahit segera dipersiapkan.
Pasukan Majapahit telah siap
sedia menyambut kedatangan pasukan Demak Bintara. Dan sekali lagi,
mereka tinggal menunggu perintah untuk MENYERANG!
Dan komando
terakhir inipun tidak segera keluar. Pasukan Majapahit resah. Para
Panglima cemas. Para kepala pasukan tempur digaris depan terus mendesak
kepada Para Panglima masing-masing agar segera mengeluarkan perintah
penyerangan!
Para Panglima juga mendesak Sang Senopati Agung,
meminta kepada Prabhu Brawijaya untuk segera memberikan komando
terakhir. Perlu dicatat, salah satu panglima yang memperkuat barisan
Majapahit adalah Adipati Terung, adik tiri Raden Patah.
Dalam
hatinya bertanya-tanya, ada apakah dengan kakak tirinya sehingga
mengadakan gerakan makar sedemikian rupa? Selama ini, dia tidak melihat
ada yang salah dengan pemerintahan Prabhu Brawijaya. Tidak ada
diskriminasi dalam hal keagamaan. Dirinya yang muslim-pun, bisa bebas
menjalankan ibadah agamanya. Bahkan, bisa dipercaya menjabat sebagai
seorang Adipati, yang notabene bukan jabatan main-main.
Adipati Terung tidak bisa memahami pola pikir kakak tirinya.
Dan perintah penyerangan tidak juga segera turun. Seluruh pasukan yang
sudah bersiap sedia dibarak masing-masing, dilanda ketegangan yang luar
biasa!
Di Istana, Para Mantri resah. Melihat situasi ini, Sabdo
Palon dan Naya Genggong meminta Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan
perintah. Namun apa jawaban Sang Prabhu? Beliau masih tidak yakin
pasukan Demak akan tega menyerang ibu kota Negara Majapahit. Sabdo Palon
dan Naga Genggong menandaskan, cara berfikir Raden Patah dan para
pasukan ini sudah lain. Sang Prabhu tidak akan bisa memahaminya. Jalan
satu-satunya sekarang adalah, menghadapi mereka secara frontal. Pada
saat ini, tidak ada cara lain.
Dan manakala kabar terdengar pasukan
Demak telah merangsak maju dan memasuki pinggiran ibu kota Majapahit,
dan disana mereka mengadakan perusakan hebat. Dengan sangat terpaksa,
Sang Prabhu mengeluarkan perintah penyerangan! Tapi, perintah itu
sebenarnya telah terlambat!
Begitu keluar perintah penyerangan, ada
hal yang tidak terduga, pasukan Ponorogo dan beberapa daerah yang lain
membelot! Diketahui kemudian ternyata mereka adalah pasukan dari
daerah-daerah yang sudah muslim.
Dan, peperangan pecah sudah!
Peperangan yang besar. Darah tertumpah lagi! Senopati Demak dipimpin
oleh Sunan Ngundung. Dan dipihak Majapahit, Senopati dipegang oleh Arya
Lembu Pangarsa. Prajurid Majapahit mengamuk dimedan laga. Para prajurid
yang sudah berpengalaman tempur ini dan disegani diseluruh Nusantara,
sekarang tidak main-main lagi! Adipati Sengguruh, Raden Bondhan Kejawen
yang masih belia, Adipati Terung, Adipati Singosari dan yang lain ikut
mengamuk dimedan laga!
Sayang, banyak kesatuan-kesatuan Majapahit
yang berasal dari daerah muslim, membelot. Namun, pada hari pertama,
pasukan Demak Bintara terpukul mundur!
Pada hari kedua, pasukan
Demak terpukul lebih telak. Senopati Demak, Sunan Ngundung tewas! (
Makamnya masih ada di Trowulan, Mojokerto sampai sekarang.) Pasukan
Demak mengundurkan diri. Pasukan cadangan masuk dipimpin oleh putra
Sunan Ngundung, Sunan Kudus. Pertempuran kembali pecah!
Namun
bagaimanapun juga, pasukan Demak harus mengakui kekuatan pasukan
Majapahit. Mereka terpukul mundur keluar dari ibu kota Negara. Kehebatan
pasukan Majapahit yang terkenal itu, ternyata terbukti!
Pasukan
Demak bertahan. Beberapa minggu kemudian, datang pasukan dari Palembang
bergabung dengan pasukan Majapahit. Pasukan Majapahit seolah mendapat
suntikan darah segar. Namun ternyata, bergabungnya pasukan Palembang ini
hanyalah bagian dari siasat dari orang-orang Demak.
Pasukan
Palembang, diam-diam memusnahkan seluruh persediaan bahan makanan
tentara Majapahit. Lumbung-lumbung besar dibakar! Semua persediaan bahan
pangan ludes! ( Inilah simbolisasi dari didatangkannya peti ajaib milik
Adipati Arya Damar dari Palembang yang apabila dibuka, mampu
mengeluarkan beribu-ribu tikus dan memakan seluruh beras dan bahan
pangan tentara Majapahit. : Damar Shashangka).
Majapahit kebobolan
luar dalam. Majapahit benar-benar tidak pernah menyangka akan hal itu.
Begitu persediaan bahan pangan menipis, dari hari kehari, pelan namun
pasti, pasukan Majapahit terpukul mundur!
Mendengar pasukan
Majapahit terdesak, Kepala Pasukan Bhayangkara, yaitu Pasukan Khusus
Pengawal Raja, segera mengamankan Prabhu Brawijaya. Keadaan sudah
sedemikian genting dan Sang Prabhu, mau tidak mau, harus segera
meloloskan diri. Ini harus dilakukan secepatnya, karena untuk menyatukan
kembali kekuatan tentara Majapahit kelak, sosok Prabhu Brawijaya, masih
dibutuhkan!
Dengan dikawal Pasukan Bhayangkara, Prabhu Brawijaya
segera keluar dari Istana. Pasukan Bhayangkara memutuskan agar Sang
Prabhu menyelamatkan diri ke Pulau Bali. Pulau yang kondusif untuk saat
ini.
Ditengah kekacauan itu, Dewi Anarawati, diam-diam dibawa oleh
pasukan Islam ke Gresik. Putra bungsu Dewi Anarawati, Raden Gugur yang
masih kecil, diselamatkan oleh pasukan Ponorogo dan dibawa ke Kadipaten
Ponorogo.
Dan pada akhirnya, Majapahit bisa dijebol. Seluruh Istana
dirusak dan dibakar!. Perusakan terjadi dimana-mana. ( Maka jangan
heran, sampai sekarang bekas Istana Majapahit yang terkenal di Nusantara
itu, musnah tak berbekas. : Damar Shashangka )
Dan pada akhirnya,
terjadilah tragedi kemanusiaan yang sampai sekarang ‘ditutupi’. Perang
yang semula melibatkan dua kekuatan militer Majapahit dan Demak, kini
merembet menjadi perang sipil. Mereka yang merasa diatas angin, kini
menjadi sosok malaikat maut. Pertumpahan darah terjadi. Masyarakat
Majapahit yang masih memegang keyakinan lama, berhadapan secara frontal
dengan mereka yang telah berpindah keyakinan.
Dimana-mana, situasi
anarkhis terjadi. Dimana-mana dua kubu ini bentrok. Dimana-mana
kekacauan merajalela. Jawa dalam situasi chaos! Ibu pertiwi menangis.
Ibu pertiwi terluka. Putra-putranya kini tengah saling menumpahkan darah
hanya karena disalah satu pihak tengah dilanda ‘ketidak sadaran’.
Akibat tragedi yang mencerabut segala sendi-sendi masyarakat Majapahit
ini, bangunan-bangunan indah dari Kerajaan Agung Majapahit, musnah tak
berbekas! Majapahit yang terkenal sebagai Macan Asia, ludes dibabat
habis. Di Jawa Timur, Majapahit seolah-olah hanya sebuah mitos belaka,
karena banyak peninggalan dari jaman keemasan Nusantara ini, hancur
karena kepicikan.
Hanya sedikit yang tersisa. Dan yang sedikit itulah yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang.
Eksodus besar-besaran terjadi. Para Agamawan, Para Bangsawan dan rakyat
yang tetap memegang teguh keyakinannya, menyingkir ketempat-tempat yang
dirasa aman. Kebanyakan menyeberang ke Bali, Kalimantan dan Lombok.
Ada seorang putri selir Prabhu Brawijaya yang melarikan diri bersama
sisa-sisa prajurid Majapahit dan beberapa penduduk. Dia bernama Dewi
Rara Anteng. Bersama suaminya Raden Jaka Seger, dia menyingkir ke
pegunungan Bromo. Sampai sekarang keturunan mereka masih ada disana,
dikenal dengan nama suku Tengger. Diambil dari nama Dewi Rara An-TENG
dan Raden Jaka Se-GER. Diwilayah pegunungan Bromo, pasukan Demak memang
tidak bisa menjangkau. Medannya cukup sulit dan terisolir. ( Suku
Tengger baru membuka diri pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.
Ketika disensus dan ditanyakan apa agama mereka, mereka menyatakan
beragama Budo. Padahal ritual yang mereka jalankan lebih dekat ke agama
Hindhu dari pada agama Buddha. Para petugas sensus tidak tahu, istilah
Hindhu memang tidak dikenal pada jaman Majapahit. Yang terkenal adalah
agomo Siwo Budo atau hanya disebut wong Budo saja. : Damar Shashangka).
Dengan dikawal oleh Pasukan Bhayangkara dan beberapa kesatuan pasukan
yang tersisa, Prabhu Brawijaya menyingkir ke arah timur. Dan untuk
sementara, beliau tinggal di Blambangan. Adipati Blambangan, memperkuat
barisan pasukan ini. Dan tak hanya itu, para penduduk Blambangan-pun
dengan suka rela ikut menggabungkan diri. Mereka benar-benar melindungi
Prabhu Brawijaya ekstra ketat. Mereka siap tempur di Blambangan. Keadaan
darurat diberlakukan.
Selama ada di Blambangan, Prabhu Brawijaya
terus terusik batinnya. Raden Patah, yang biasa beliau banggil dengan
nama Patah itu, ternyata telah tega melakukan ini semua. Kebaikan beliau
selama ini dibalas dengan racun. Sabdo Palon dan Naya Genggong
menabahkan hati Sang Prabhu. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak patut
disesali lagi.
Kini, saatnya untuk menata kembali yang tersisa. Dan untuk tujuan itu, Prabhu Brawijaya harus menyeberang ke Pulau Bali.
Misi Peng-ISLAM-an Nusantara (Bag-3)
Kubu Abangan
Seorang ulama berdarah Majapahit, yang lahir di Kadipaten Tuban, yang
sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa yaitu Sunan Kalijaga,
mati-matian membendung gerakan militansi Islam. Beliau seringkali
mengingatkan, bahwasanya membangun akhlaq lebih penting daripada
mendirikan sebuah Negara Islam.
Sunan Kalijaga adalah putra Adipati
Tuban, Arya Teja. Adipati Arya Teja adalah keturunan Senopati Agung
Majapahit masa lampau, Adipati Arya Ranggalawe yang berhasil memimpin
pasukan Majapahit mengalahkan pasukan Tiongkok Mongolia yang hendak
menguasai Jawa (Adipati Arya Ranggalawe adalah salah satu tangan kanan
Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.)
Adipati Arya Teja
berhasil di Islamkan oleh Sunan Ampel. Bahkan kakak kandung beliau
dinikahi Sunan Ampel. Dari pernikahan Sunan Ampel dengan kakak kandung
Adipati Arya Teja, lahirlah Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Lamongan,
dan lima putri yang lain (seperti yang telah saya tulis pada bagian
pertama : Damar Shashangka ).
Para pengikut Sunan Giri yang tidak
sepaham dengan para pengikut Sunan Kalijaga, sering terlibat
konflik-konflik terselubung. Di pihak Sunan Giri, banyak ulama yang
bergabung, seperti Sunan Derajat, Sunan Lamongan, Sunan Majagung (
sekarang dikenal dengan Sunan Bejagung), Sunan Ngundung dan putranya
Sunan Kudus, dll.
Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan Murya (sekarang dikenal dengan nama Sunan Muria), Syeh Jangkung, Syeh Siti Jenar, dll.
Khusus mengenai Syeh Siti Jenar atau juga disebut Sunan Kajenar, beliau
adalah ulama murni yang menekuni spiritualitas. Beliau sangat-sangat
tidak menyetujui gerakan kaum Putih yang merencanakan berdirinya Negara
Islam Jawa.
Pertikaian ini mencapai puncaknya ketika Syeh Siti
Jenar, menyatakan keluar dari Dewan Wali Sangha. Syeh Siti Jenar
menyatakan terpisah dari Majelis Ulama Jawa itu. Beliau tidak mengakui
lagi Sunan Ampel sebagai seorang Mufti.
Didaerah Cirebon, Syeh Siti Jenar banyak memiliki pengikut.
Manakala menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat dan kedudukan
Mufti digantikan oleh Sunan Giri, keberadaan Syeh Siti Jenar dianggap
sangat membahayakan Islam.
Semua dinamika ini, terus diamati oleh
intelejen Majapahit. Gerakan-gerakan militansi Islam mulai merebak
dipesisir utara Jawa. Mulai Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten.
Para pejabat daerah telah mengirimkan laporan kepada Prabhu Brawijaya.
Tapi Prabhu Brawijaya tetap yakin, semua masih dibawah kontrol beliau.
Keturunan di Pengging
Pernikahan Dewi Anarawati dengan Prabhu Brawijaya semakin dikukuhkan
dengan diangkatnya putri Champa ini sebagai permaisuri. Keputusan yang
sangat luar biasa ini menuai protes. Kesuksesan besar bagi Dewi
Anarawati membuat para pejabat Majapahit resah. Bisa dilihat jelas
disini, bila kelak Prabhu Brawijaya wafat, maka yang akan
menggantikannya sudah pasti putra dari seorang permaisuri. Dan sang
permaisuri beragama Islam. Dapat dipastikan, Majapahit akan berubah
menjadi Negara Islam.
Dari luar Istana, Sunan Giri menyusun strategi
memperkuat barisan militansi Islam. Dari dalam Istana, Dewi Anarawati
mempersiapkan rencana yang brilian. Jika Sunan Giri gagal merebut
Majapahit dengan cara pemberontakan, dari dalam istana, Majapahit sudah
pasti bisa dikuasai oleh Dewi Anarawati. Bila rencana pertama gagal,
rencana kedua masih bisa berjalan.
Tapi ternyata, apa yang
diharapkan Dewi Anarawati menuai hambatan. Dari hasil perkawinannya
dengan Prabhu Brawijaya, lahirlah tiga orang anak. Yang sulung seorang
putri, dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa Kadipaten
Pengging ( sekitar daerah Solo, Jawa Tengah sekarang), putra kedua
bernama Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura, dan yang ketiga Raden
Gugur, masih kecil dan tinggal di Istana. (Kelak, Raden Gugur inilah
yang terkenal dengan julukan Sunan Lawu, dipercaya sebagai penguasa
mistik Gunung Lawu, yang terletak didaerah Magetan, hingga sekarang :
Damar Shashangka.)
Hambatan yang dituai Dewi Anarawati adalah, putri
sulungnya tidak tertarik memeluk Islam, begitu juga dengan Raden Gugur.
Hanya Raden Lembu Peteng yang mau memeluk Islam.
Dari pernikahan
putri sulung Dewi Anarawati dengan Adipati Handayaningrat IV, lahirlah
dua orang putra, Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Keduanya juga tidak
tertarik memeluk Islam. Si sulung bahkan pergi meninggalkan kemewahan
Kadipaten dan menjadi seorang pertapa di Gunung Merapi ( didaerah
Jogjakarta sekarang). Sampai sekarang, petilasan bekas pertapaan beliau
masih ada dan berubah menjadi sebuah makam yang seringkali diziarahi.
Otomatis, yang kelak menggantikan Adipati Handayaningrat IV sebagai
Adipati Pengging, bahkan juga jika Prabhu Brawijaya mangkat, tak lain
adalah adik Kebo Kanigara, yaitu Kebo Kenanga. Kelak, dia akan mendapat
limpahan tahta Pengging maupun Majapahit! Inilah pewaris sah tahta
Majapahit.
Keno Kenanga lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging.
Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan Syeh Siti Jenar. Keduanya, yang
satu beragama Shiva Buddha dan yang satu beragama Islam, sama-sama
tertarik mendalami spiritual murni. Mereka berdua seringkali berdiskusi
tentang ‘Kebenaran Sejati’. Dan hasilnya, tidak ada perbedaan diantara
Shiva Buddha dan Islam.
Namun kedekatan mereka ini disalah artikan
oleh ulama-ulama radikal yang masih melihat kulit, masih melihat
perbedaan. Syeh Siti Jenar dituduh mendekati Ki Ageng Pengging untuk
mencari dukungan kekuatan. Dan konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan
sebagai murid Syeh Siti Jenar yang hendak melakukan pemberontakan ke
Demak Bintara. Padahal Ki Ageng Pengging tidak tertarik dengan tahta.
Walaupun sesungguhnya, memang benar bahwa beliau lah yang lebih berhak
menjadi Raja Majapahit kelak ketika Majapahit berhasil dihancurkan oleh
Raden Patah Dan juga, Ki Ageng Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau
dengan Syeh Siti Jenar hanyalah seorang ‘sahabat spiritual’. Hubungan
seperti ini, tidak akan bisa dimengerti oleh mereka yang berpandangan
dangkal. Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar adalah seorang
spiritualis sejati. Kelak, setalah Majapahit berhasil dihancurkan para
militant Islam, dua orang sahabat ini menjadi target utama untuk
dimusnahkan. Baik Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging gugur karena
korban kepicikan.
Dan, nama Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar
dibuat hitam. Sampai sekarang, nama keduanya masih terus dihakimi
sebagai dua orang yang sesat dikalangan Islam. Namun bagaimanapun juga,
keharuman nama keduanya tetap terjaga dikisi-kisi hati tersembunyi
masyarakat Jawa, walaupun tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya
secara terang-terangan. Ironis.
Dari Ki Ageng Pengging inilah, lahir
seorang tokoh terkenal di Jawa. Yaitu Mas Karebat atau Jaka Tngkir. Dan
kelak menjadi Sultan Pajang setelah Demak hancur dengan gelar Sultan
Adiwijaya.
Keturunan di Tarub
Dikisahkan secara vulgar, suatu
ketika Prabhu Brawijaya terserang penyakit Rajasinga atau syphilis. Para
Tabib Istana sudah bekerja keras berusaha menyembuhkan beliau, tapi
penyakit beliau tetap membandel.
Atas inisiatif beliau sendiri,
setiap malam beliau tidur diarel Pura Keraton. Memohon kepada Mahadewa
agar diberi kesembuhan. Dan konon, setelah beberapa malam beliau
memohon, suatu malam, beliau mendapat petunjuk sangat jelas.
Dalam keheningan meditasinya, lamat-lamat beliau ‘mendengar’ suara.
“Jika engkau ingin sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita berdarah
Wandhan. Dan, inilah kali terakhir engkau boleh menikah lagi.”
Mendapat ‘wisik’ yang sangat jelas seperti itu, Prabhu Brawijaya
termangu-mangu. Dan beliau teringat, di Istana ada beberapa pelayan
Istana yang berasal dari daerah Wandhan ( Bandha Niera, didaerah
Sulawesi ).
Keesokan harinya, beliau memanggil para pelayan istana
dari daerah Wandhan. Beliau memilih yang paling cantik. Ada seorang
pelayan dari Wandhan, bernama Dewi Bondrit Cemara, sangat cantik.
Diambillah dia sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara
dikenal dengan nama Dewi Wandhan Kuning.
Begitu menikahi Dewi
Wandhan Kuning, dan setelah melakukan senggama beberapa kali, penyakit
Sang Prabhu berangsur-angsur sembuh.
Namun Sang Prabhu merasa
perkawinannya dengan Dewi Wandhan Kuning harus dirahasiakan. Karena
apabila kabar ini terdengar sampai ke daerah Wandhan, pasti para
bangsawan Sulawesi merasa terhina oleh sebab Sang Prabhu bukannya
mengambil salah seorang putri bangsawan Wandhan, tapi malah mengambil
seorang pelayan.
Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga akhirnya
melahirkan seorang anak laki-laki, putra ini lantas dititipkan kepada
Kepala Urusan Sawah Istana, Ki Juru Tani. ( Waktu itu, Istana memiliki
areal pesawahan khusus yang hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh
kerabat Istana.)
Anak ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen ( Bondhan perubahan dari kata Wandhan. Kejawen berarti yang telah berdarah Jawa.)
Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki Juru Tani. Dan manakala sudah
berangsur dewasa, atas perintah Sang Prabhu, Raden Bondhan Kejawen
dikirimkan kepada Ki Ageng Tarub, seorang Pandhita Shiva yang memiliki
Ashrama di daerah Tarub ( sekitar Purwodadi, Jawa Tengah sekarang.)
Jika anda pernah mendengar legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan, maka
inilah dia. Jaka Tarub yang konon mencuri selendang bidadari Dewi
Nawangwulan dan lantas ditinggal oleh sang bidadari setelah sekian lama
menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang menyembunyikan selendang
itu adalah Jaka Tarub sendiri. ( Saya tidak akan membedah simbolisasi
legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic yang saya bahas :
Damar Shashangka).
Jaka Tarub inilah yang lantas dikenal dengan nama
Ki Ageng Tarub. Menginjak dewasa, Raden Bondhan Kejawen dinikahkan
dengan Dewi Nawangsih, putri tunggal Ki Ageng Tarub. Dan kelak Raden
Bondhan Kejawen bergelar Ki Ageng Tarub II.
Dari hasil perkawinan
Raden Bondhan Kejawen dengan Dewi Nawangsih, lahirlah Raden Getas
Pandhawa. Dari Raden Getas Pandhawa, lahirlah Ki Ageng Sela yang hidup
sejaman dengan Sultan Trenggana, Sultan Demak ketiga. Ki Ageng Sela
inilah tokoh yang konon bisa memegang petir sehingga menggegerkan
seluruh Kesultanan Demak ( simbolisasi lagi, kapan-kapan saya ulas :
Damar Shashangka).
Sampai sekarang nama Ki Ageng Sela terkenal di
tengah masyarakat Jawa. Ki Ageng Sela inilah keturunan Tarub yang mulai
beralih memeluk Islam. Beliau berguru kepada Sunan Kalijaga. Perpindahan
agama ini berjalan dengan damai. Nama Islam beliau adalah Ki Ageng
Abdul Rahman.
Dari Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Mangenis Sela.
Dari Ki Ageng Mangenis Sela, lahirlah Ki Ageng Pamanahan. Dan dari Ki
Ageng Pamanahan lahirlah Panembahan Senopati Ing Ngalaga, tokoh terkenal
pendiri dinasti Mataram Islam dikemudian hari. ( Panembahan Senopati
Ing Ngalaga Mataram inilah leluhur Para Sultan Kasultanan Jogjakarta,
Para Sunan Kasunanan Surakarta (Solo), Pakualaman dan Mangkunegaran
sekarang.)
Peng-Islam-an keturunan Raden Bondhan Kejawen, berlangsung dengan damai.
Raden Patah.
Ingat putri China Tan Eng Kian yang dinikahi Adipati Arya Damar di Palembang?
Dari hasil pernikahan dengan Prabhu Brawijaya, Tan Eng Kian memiliki
seorang putra bernama Tan Eng Hwat. Dikenal juga dengan nama muslim
Raden Hassan. Dari perkawinan Tan Eng Kian dengan Arya Damar sendiri,
lahirlah seorang putra bernama Kin Shan, dikenal dengan nama muslim
Raden Hussein.
Sejak kecil, Raden Hassan dan Raden Hussein dididik
secara Islam oleh ayahnya Arya Damar. Menjelang dewasa, Raden Hassan
memohon ijin kepada ibunya untuk pergi ke Jawa. Dia berkeinginan untuk
bertemu dengan ayah kandungnya, Prabhu Brawijaya.
Tan Eng Kian tidak
bisa menghalangi keinginan putranya. Dari Palembang, Raden Hassan
bertolak ke Jawa. Sampailah ia di pelabuhan Gresik yang ramai. Melihat
keadaan Gresik yang hiruk-pikuk, Raden Hassan kagum. Dia bisa
membayangkan bagaimana besarnya kekuasaan Majapahit. Menilik di Gresik
banyak orang muslim, Raden Hassan tertarik.
Dan dengar-dengar, ada
Pesantren besar disana. Pesantren Giri. Raden Hassan memutuskan untuk
bertandang ke Giri. Bertemulah dia dengan Sunan Giri. Sunan Giri senang
melihat kedatangan Raden Hassan setelah mengetahui dia adalah putra
Prabhu Brawijaya yang lahir di Palembang. Sunan Giri seketika melihat
sebuah peluang besar.
Di Giri, Raden Hassan memperdalam
ke-Islaman-nya. Disana, Raden Hassan mulai tertarik dengan ide-ide
ke-Khalifah-an Islam. Dan militansi Raden Hassan mulai terbentuk.Ada
kesepakatan pemahaman antara Raden Hassan dengan Sunan Giri.
Dari
Sunan Giri, Raden Hassan memperoleh ide untuk meminta daerah otonomi
khusus kepada ayahnya, Prabhu Brawijaya. Bila disetujui, hendaknya Raden
Patah memilih daerah di pesisir Jawa bagian tengah. Jika itu terwujud,
keberadaan daerah otonomi didaerah pesisir utara Jawa bagian tengah,
akan menjadi penghubung pergerakan militant Islam dari Jawa Timur dan
Jawa Barat di Cirebon.
Cirebon, kini tumbuh pesat sebagai pusat
kegiatan Islam dibawah pimpinan Pangeran Cakrabhuwana, putra kandung
Prabhu Siliwangi, Raja Pajajaran. (Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah belum datang dari Mesir ke Cirebon. Dia datang pada tahun
1475 Masehi. Pada bagian selanjutnya akan saya ceritakan : Damar
Shashangka.)
Setelah dirasa cukup, Raden Hassan melanjutkan
perjalanan ke Pesantren Ampel dengan diiringi beberapa santri Sunan
Giri. Disana dia disambut suka cita oleh Sunan Ampel. Disana, dia diberi
nama baru oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Abdul Fattah yang lantas
dikenal masyarakat Jawa dengan nama Raden Patah.
Selesai bertandang
di Ampel, Raden Hassan yang kini dikenal dengan nama Raden Patah
melanjutkan perjalanan ke ibu kota Negara Majapahit. Dia yang semula
hanya berniat untuk bertemu dengan ayahnya, sekarang dia telah membawa
misi tertentu.
Betapa suka cita Prabhu Brawijaya mendapati putra
kandungnya telah tumbuh dewasa. Dan manakala, Raden Patah memohon
anugerah untuk diberikan daerah otonom, Prabhu Brawijaya mengabulkannya.
Raden Patah meminta daerah pesisir utara Jawa bagian tengah. Dia
memilih daerah yang dikenal dengan nama Glagah Wangi.
Prabhu
Brawijaya menyetujui permintaan Raden Patah. Dia mendanai segala
keperluan untuk membangun daerah baru. Raden Patah, dengan disokong
tenaga dan dana dari Majapahit, berangkat ke Jawa Tengah. Di daerah
pesisir utara, didaerah yang dipenuhi tumbuhan pohon Glagah, dia
membentuk pusat pemerintahan Kadipaten baru. Begitu pusat Kadipaten
dibentuk, dinamailah tempat itu Demak Bintara. Dan Raden Patah,
dikukuhkan oleh Sang Prabhu Brawijaya sebagai penguasa wilayah otonom
Islam baru disana.
Demak Bintara berkembang pesat. Selain menjadi
pusat kegiatan politik, Demak Bintara juga menjadi pusat kegiatan
keagamaan. Demak Bintara menjadi jembatan penghubung antara barat dan
timur pesisir utara Jawa.
Dipesisir utara Jawa, gerakan-gerakan
militant Islam mulai menguat. Sayang, fenomena itu tetap dipandang
sepele oleh Prabhu Brawijaya. Beliau tetap yakin, dominasi Majapahit
masih mampu mengontrol semuanya. Padahal para pejabat daerah yang dekat
dengan pesisir utara sudah melaporkan adanya kegiatan-kegiatan yang
mencurigakan. Pasukan Telik Sandhibaya telah memberikan laporan serius
tentang adanya kegiatan yang patut dicurigai akan mengancam kedaulatan
Majapahit.
Tak lama berselang, Raden Hussein, putra Tan Eng Kian
dengan Arya Damar, menyusul ke Majapahit. Dia mengabdikan diri sebagai
tentara di Majapahit. Raden Hussein tidak terpengaruh ide-ide pendirian
ke-Khalifah-an Islam. Dia diangkat sebagai Adipati didaerah Terung (
Sidoarjo, sekarang ) dengan gelar, Adipati Pecattandha.
Kebaikan
Prabhu Brawijaya sangat besar sebenarnya. Tapi kebaikan yang tidak
disertai kebijaksanaan bukanlah kebaikan. Dan hal ini pasti akan menuai
masalah dikemudian hari. Bibit-bibit itu mulai muncul, tinggal menunggu
waktu untuk pecah kepermukaan.
Dan Prabhu Brawijaya tidak akan pernah menyangkanya
Misi Peng-ISLAM-an Nusantara (Bag-2)
Berdirinya Giri Kedhaton
Blambangan ( Banyuwangi sekarang ), sekitar tahun 1450 Masehi terkena
wabah penyakit. Hal ini dikarenakan ketidaksadaran masyarakatnya yang
kurang mampu menjaga kebersihan lingkungan. Blambangan diperintah oleh
Adipati Menak Sembuyu, didampingi Patih Bajul Sengara.
Wabah
penyakit itu masuk juga ke istana Kadipaten. Putri Sang Adipati, Dewi
Sekardhadhu, jatuh sakit. Ditengah wabah yang melanda, datanglah seorang
ulama dari Samudera Pasai (Aceh sekarang ), yang masih berkerabat dekat
dengan Syeh Ibrahim As-Samarqand, bernama Syeh Maulana Ishaq. Dia ahli
pengobatan. Mendengar Sang Adipati mengadakan sayembara, dia serta merta
mengikutinya. Dan berkat keahlian pengobatan yang dia dapat dari
Champa, sang putri berangsur-angsur sembuh.
Adipati Menak Sembuyu
menepati janji. Sesuai isi sayembara, barangsiapa yang mampu
menyembuhkan sang putri, jika lelaki akan dinikahkan jika perempuan akan
diangkat sebagai saudara, maka, Syeh Maulana Ishaq dinikahkan dengan
Dewi Sekardhadhu.
Namun pada perjalanan waktu selanjutnya,
ketegangan mulai timbul. Ini disebabkan, Syeh Maulana Ishaq, mengajak
Adipati beserta seluruh keluarga untuk memeluk agama Islam.
Ketegangan ini lama-lama berbuntut pengusiran Syeh Maulana Ishaq dari
Blambangan. Perceraian terjadi. Dan waktu itu, Dewi Sekardhadhu tengah
hamil tua. Keputusan untuk menceraikan Dewi Sekardhadhu dengan Syeh
Maulana Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati karena melihat stabilitas
Kadipaten Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah menjadi dua
kubu. Kubu yang mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang tetap
menolak infiltrasi asing ke wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada
ajaran Islam, sedangkan kubu kedua tetap tidak menyetujui masuknya Islam
karena terlalu diskriminatif menurut mereka. Antar kerabat jadi
terpecah belah, saling curiga dan tegang. Ini yang tidak mereka sukai.
Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq, ternyata masalah belum usai. Kubu yang
pro ulama Pasai ini, kini menantikan kelahiran putra sang Syeh yang
tengah dikandung Dewi Sekardhadhu. Sosok Syeh Maulana Ishaq, kini
menjadi laten bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi ketegangan
belum juga bisa diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan, dengan
sangat terpaksa, memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri
kepada saudagar muslim dari Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.
Dalam cerita rakyat dari sumber Islam, konon dikisahkan anak itu
dilarung ketengah laut (meniru cerita Nabi Musa) dengan menggunakan
peti. Konon ada saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar. Kapal
dagangnya tiba-tiba tidak bisa bergerak karena menabrak peti itu. Dan
peti itu akhirnya dibawa naik ke geladak oleh anak buah sang saudagar.
Isinya ternyata seorang bayi.
Sesungguhnya itu hanya cerita kiasan.
Yang terjadi, saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar di Blambangan
diperintahkan untuk menghadap ke Kadipaten menjelang mereka hendak balik
ke Gresik. Inilah maksudnya kapal tidak bisa bergerak. Para saudagar
bertanya-tanya, ada kesalahan apa yang mereka buat sehingga mereka
disuruh menghadap ke Kadipaten? Ternyata, di Kadipaten, Adipati Menak
Sembuyu, dengan diam-diam telah mengatur pertemuan itu. Sang Adipati
memberikan seorang anak bayi, cucunya sendiri, yang lahir dari ayah
seorang muslim. Anak itu dititipkan kepada para saudagar anak buah
saudagar kaya di Gresik yang bernama Nyi Ageng Pinatih, yang seorang
muslim. Adipati Menak Sembuyu tahu telah menitipkan cucunya kepada
siapa. Beliau yakin, cucunya akan aman bersama Nyi Ageng Pinatih. Hanya
dengan jalan inilah, Blambangan dapat kembali tenang.
Putra Syeh Maulana Ishaq ini, lahir pada tahun 1452 Masehi.
Sekembalinya dari Blambangan, para saudagar ini menghadap kepada
majikan mereka, Nyi Ageng Pinatih sembari memberikan oleh-oleh yang
sangat berharga. Seorang anak bayi keturunan bangsawan Blambangan.
Bahkan dia adalah putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang disegani oleh
orang-orang muslim. Nyi Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah
anugerah itu. Diambillah bayi itu, dianggap anak sendiri. Karena bayi
itu hadir seiring kapal selesai berlayar dari samudera, maka bayi itu
dinamakan Jaka Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.
Jaka Samudera dibawa menghadap ke Ampeldhenta menjelang usia tujuh tahun. Dia tinggal disana. Belajar agama dari Sunan Ampel.
Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari Nyi
Ageng Pinatih, maka sosok anak ini sangat dia perhatikan dan
diistimewakan. Sunan Ampel menganggapnya anak sendiri.
Sunan Ampel,
dari hasil perkawinannya dengan kakak kandung Adipati Tuban Arya Teja,
memiliki delapan putra dan putri. Yang penting untuk diketahui adalah
Makdum Ibrahim (Nama Champa-nya : Bong- Ang : kelak terkenal dengan
sebutan Sunan Benang. Lama-lama pengucapannya berubah menjadi Sunan
Bonang ). Yang kedua Abdul Qasim, terkenal kemudian dengan nama Sunan
Derajat. Yang ketiga Maulana Ahmad, yang terkenal dengan nama Sunan
Lamongan, yang keempat bernama Siti Murtasi’ah, kelak dijodohkan dengan
Jaka Samudera, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton
(Sunan Giri), yang kelima putri bernama Siti Asyiqah, kelak dijodohkan
dengan Raden Patah ( Tan Eng Hwat ), putra Tan Eng Kian, janda Prabhu
Brawijaya yang ada di Palembang itu.
Kekuatan Islam dibangun melalui
tali pernikahan. Jaka Samudera, diberi nama lain oleh Sunan Ampel,
yaitu Raden Paku. Kelak dia dikenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton. Dia
adalah santri senior. Sunan Ampel bahkan telah mencalonkan,
mengkaderkan dia sebagai penggantinya kelak bila sudah meninggal.
Sunan Giri sangat radikal dalam pemahaman keagamannya. Setamat berguru
dari Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik. Di Gresik, dia menyatukan
komunitas muslim disana. Dia mendirikan Pesantren. Terkenal dengan nama
Pesantren Giri.
Namun dalam perkembangannya, Pesantren Giri
memaklumatkan lepas dari kekuasaan Majapahit yang dia pandang Negara
kafir. Pesantren Giri berubah menjadi pusat pemerintahan. Maka dikenal
dengan nama Giri Kedhaton ( Kerajaan Giri ). Sunan Giri, mengangkat
dirinya sebagi khalifah Islam dengan gelar Prabhu Satmata ( Penguasa
Bermata Enam. Gelar sindiran kepada Deva Shiva yang cuma bermata tiga ).
Mendengar Gresik melepaskan diri dari pusat kekuasan, Prabhu Brawijaya,
sebagai Raja Diraja Nusantara yang sah, segera mengirimkan pasukan
tempur untuk menjebol Giri Kedhaton. Darah tertumpah. Darah mengalir.
Dan akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan. Kekhalifahan Islam bertama
itu tidak berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit hancur oleh
serangan Demak Bintara, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun 1487
Masehi. ( Sembilan tahun setelah Majapahit hancur pada tahun 1478 Masehi
).
Dari sumber Islam, banyak cerita yang memojokkan pasukan
Majapahit. Konon Sunan Giri berhasil mengusir pasukan Majapahit hanya
dengan melemparkan sebuah kalam atau penanya. Kalam miliknya ini katanya
berubah menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga membuat puyeng
atau munyeng para prajurid Majapahit. Maka dikatakan, ‘kalam’ yang bisa
membuat ‘munyeng’ inilah senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan
nama ‘Kalamunyeng’. Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri,
melalui tulisan-tulisannya yang mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu
mengadakan pemberontakan yang sempat ‘memusingkan’ Majapahit.
Namun,
karena Sunan Ampel meminta pengampunan kepada Prabhu Brawijaya, Sunan
Giri tidak mendapat hukuman. Tapi gerak-geriknya, selalu diawasi oleh
Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit. Inilah kelemahan
Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan bara api kecil yang sebenarnya bisa
membahayakan.
Sabdo Palon dan Naya Genggong sudah mengingatkan agar
seorang yang bersalah harus mendapatkan sangsi hukuman. Karena itulah
kewajiban yang merupakan sebuah janji seorang Raja. Salah satu kewajiban
menjalankan janji suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili
siapa saja yang bersalah. Janji ini adalah satu bagian integral dari
tujuh janji yang lain, yaitu ANGKASHA (Ruang), Raja harus memberikan
ruang untuk mendengarkan suara rakyatnya, VAYU (Angin), Raja harus mampu
mewujudkan pemerataan kesejahteraan kepada rakyatnya bagai angin, AGNI
(Api), Raja harus memberikan hukuman yang seadil-adilnya kepada yang
bersalah tanpa pandang bulu bagai api yang membakar, TIRTA (Air), Raja
harus mampu menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi rakyatnya
bagaikan air yang mampu menumbuhkan biji-bijian, PRTIVI (Tanah), Raja
harus mampu memberikan tempat yang aman bagi rakyatnya, menampung
semuanya, tanpa ada diskriminasi, bagaikan tanah yang mau menampung
semua manusia, SURYA (Matahari), Raja harus mampu memberikan jaminan
keamanan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu seperti Matahari yang
memberikan kehidupan kepada mayapada, CHANDRA (Bulan ), Raja harus mampu
mengangkat rakyatnya dari keterbelakangan, dari kebodohan, dari
kegelapan, bagaikan sang rembulan yang menyinari kegelapan dimalam hari,
dan yang terakhir adalah KARTIKA (Bintang), Raja harus mampu memberikan
aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi rakyat demi
kesejahteraan, kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang yang
mampu menunjukkan arah mata angin dengan pasti dikala malam menjalang.
Inilah DELAPAN JANJI RAJA yang disebut ASTHAVRATA (Astobroto ; Jawa ).
Dan menurut Sabdo Palon dan Naya Genggong, Prabhu Brawijaya telah lalai
menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.
Mendapati kondisi memanas
seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan sebuah fatwa, Haram hukumnya
menyerang Majapahit, karena bagaimanapun juga Prabhu Brawijaya adalah
Imam yang wajib dipatuhi. Setelah keluar fatwa dari pemimpin Islam
se-Jawa, konflik mulai mereda.
Namun bagaimanapun juga, dikalangan
orang-orang Islam diam-diam terbagi menjadi dua kubu. Yaitu kubu yang
mencita-citakan berdirinya Kekhalifahan Islam Jawa, dan kubu yang tidak
menginginkan berdirinya Kekhalifahan itu. Kubu kedua ini berpendapat,
dalam naungan Kerajaan Majapahit, yang notabene Shiva Buddha, ummat
Islam diberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadah agamanya. Bahkan,
syari’at Islam pun boleh dijalankan didaerah-daerah tertentu.
Kubu
pertama dipelopori oleh Sunan Giri, sedangkan kubu kedua dipelopori oleh
Sunan Kalijaga, putra Adipati Tuban Arya Teja, keponakan Sunan Ampel.
Kubu Sunan Giri mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk Islam secara
kaffah, secara bulat-bulat, maka pantas disebut PUTIHAN (Kaum Putih).
Dan mereka menyebut kubu yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai ABANGAN
(Kaum Merah).
Bibit perpecahan didalam orang-orang Islam sendiri
mulai muncul. Hal ini hanya bagaikan api dalam sekam ketika Sunan Ampel
masih hidup. Kelak, ketika Majapahit berhasil dijebol oleh para militant
Islam dan ketika Sunan Ampel sudah wafat, kedua kubu ini terlibat
pertikaian frontal yang berdarah-darah ( Yang paling parah dan memakan
banyak korban, sampai-sampai para investor dari Portugis melarikan diri
ke Malaka dan menceritakan di Jawa tengah terjadi situasi chaos dan
anarkhis yang mengerikan, adalah pertikaian antara Arya Penangsang,
santri Sunan Kudus, penguasa Jipang Panolan dari kubu Putihan dengan
Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari Sunan Kalijaga, penguasa
Pajang dari kubu Abangan. Nanti akan saya ceritakan : Damar Shashangka
).
Berdirinya Ponorogo.
Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker,
sebenarnya masih keturunan bangsawan Majapahit. Beliau masih keturunan
Raden Kudha Merta, ksatria dari Pajajaran yang melarikan diri bersama
Raden Cakradhara. Raden Kudha Merta berhasil menikah dengan Shri
Gitarja, putri Raden Wijaya, Raja Pertama Majapahit. Sedangkan Raden
Cakradhara berhasil menikahi Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri
Gitarja.
Dari perkawinan antara Raden Cakradhara dengan
Tribhuwanatunggadewi inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu.
Sedangkan Raden Kudha Merta, menjadi penguasa daerah Wengker, yang
sekarang dikenal dengan nama Ponorogo.
Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja.
Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya bagaikan
harimau yang kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang
dengan Majapahit.
Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi menjawab
tantangan Ki Ageng Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur
Majapahit dibawah pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.
Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini
disebabkan, banyak para prajurid Majapahit yang membelot dari
kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang dipimpin Raden
Bathara Katong kocar-kacir.
Raden Bathara Katong yang merasa malu
karena telah gagal menjalankan tugas Negara, konon tidak mau pulang ke
Majapahit. Dia bertekad, bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan.
Inilah sikap seorang Ksatria sejati.
Ada seorang ulama Islam yang
tinggal di Wengker yang mengamati gejolak politik itu. Dia bernama Ki
Ageng Mirah. Situasi yang tak menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya.
Dia mendengar Raden Bathara Katong tidak pulang ke Majapahit, dia
berusaha mencari kebenaran berita itu. Dan usahanya menuai hasil. Dia
berhasil menemukan tempat persembunyian Raden Bathara Katong.
Dia
menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan Wengker karena
dia sudah lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik. Namun
diam-diam, Ki Ageng Mirah, menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak Raden
Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya peng-Islam-an Wengker akan
semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai akses langsung
dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat Raden Bathara
Katong memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan melupakan jasanya
telah membantu memberitahukan titik kelemahan Wengker. Dan bila itu
terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan menduduki kedudukan yang mempunyai
akses luas menyebarkan Islam di Wengker.
Dan ternyata, Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru itu.
Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara Katong
harus pura-pura meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong
harus mengatakan untuk memohon perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia
harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.
Ki Ageng Kutu pasti
akan menerima pengabdian Raden Bathara Katong. Ki Ageng Kutu pasti akan
senang melihat Raden Bathara Katong telah membelot dan kini berada di
fihaknya. Manakala rencana itu sudah berhasil, Raden Bathara Katong
harus mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, putri
sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri. Mengingat status Raden Bathara
Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran itu pasti akan
disambut gembira oleh Ki Ageng Kutu..
Dan bila semua rencana
berjalan mulus, Raden Bathara Katong harus mampu menebarkan pengaruhnya
kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli dan teliti mengamati titik
kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki Ageng Kutu bisa
dimanfaatkan untuk tujuan itu.
Bila semua sudah mulus berjalan, dan
bila waktunya sudah tepat, maka Raden Bathara Katong harus sesegera
mungkin mengirimkan utusan ke Majapahit untuk meminta pasukan tempur
tambahan.
Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!
Raden
Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki Ageng Mirah.
Dan atas kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar.
Ki
Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan jauh dengan
Raden Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan suaka
politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden Bathara Katong mengutarakan
niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki Ageng Kutu serta merta
menyetujuinya.
Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.
Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura Menggala dan
Sura Handaka. (Sura Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang
menjadi tokoh kebanggaan masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok
Suromenggolo : Damar Shashangka).
Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka tidak.
Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk kelemahan
Wengker dari Ni Ken Gendhini. Inilah yang diceritakan secara simbolik
dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu, yang bernama Keris Kyai
Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan kepada Raden
Bathara Katong.
Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti
Melintang (Vertikal) dan Rawe berarti Tegak ( Horisontal). Arti
sesungguhnya adalah, kekuatan yang tegak dan melintang dari seluruh
pasukan Wengker, telah berhasil diketahui secara cermat oleh Raden
Bathara Katong atas bantuan Ni Ken Gendhini. Struktur kekuatan militer
ini sudah bisa dibaca dan diketahui semuanya.
Dan manakala waktu
sudah dirasa tepat, dengan diam-diam, dikirimkannya utusan kepada Ki
Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng Mirah, atas nama Raden Bathara
Katong, memohon tambahan pasukan tempur ke Majapahit.
Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu Brawijaya segera memenuhi permintaan pengiriman pasukan baru.
Majapahit dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak menyadari, ada pihak ketiga bermain disana! Ironis sekali.
Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa
kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng ketaton,
bagai banteng yang terluka. Demi Dharma, dia rela menumpahkan darahnya
diatas bumi pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu, Ki Ageng Kutu,
beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!
Namun
bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui oleh
Raden Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama Pasukan
Warok itu terdesak hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh
pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-habisan! Siap
menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan gagh
berani, pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan
Majapahit.
Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat
mereka harus bertempur dengan saudara sendiri. Banyak yang meneteskan
air mata, melihat mayat-mayat prajurid Wengker bergelimpangan
bermandikan darah. Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker
berhasil dihancurkan!
Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi.
Darah harum para ksatria sejati yang benar-benar tulus menegakkan
Dharma! Alam telah mencatatnya! Alam telah merekamnya!
Kabar
kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya berkabung
mendengar kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan Ki Ageng Kutu.
Seluruh Pejabat Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya Genggong
berkabung. Kabar kemenangan itu membuat Majapahit bersedih, bukannya
bersuka cita.
Para pejabat Majapahit menagis sedih melihat sesama
saudara harus saling menumpahkan darah karena campur tangan pihak
ketiga, karena disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng Kutu adalah
seorang Ksatria yang gagah berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi
kekuatan militer Majapahit. Kini, Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan
pasukan Majapahit sendiri. Betapa tidak memilukan!
Kadipaten Wengker
kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat pengukuhan telah
diterima dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya menjadi
Kadipaten Ponorogo. Wengker yang Shiva Buddha, kini telah berhasil
menjadi Kadipaten Islam.
Misi Peng-ISLAM-an Nusantara (Bag-1)
Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar. Sebuah Emperor. Yang wilayahnya
membentang dari ujung utara pulau Sumatera, sampai Papua. Bahkan,
Malaka yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah
kerajaan Majapahit.
Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi.
Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas setelah dikukuhkan sebagai Raja
beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit
sangat disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang
ditakuti oleh Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia ini, pada abad XIII,
hanya ada dua Kerajaan besar, Tiongkok dan Majapahit.
Lambang Negara
Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih.
Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang
nasionalisme sejati. Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi.
Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi Negara adikuasa,
superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat pemerintahan
ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan
iInternasional-nya waktu itu adalah Gresik.
Agama resmi Negara
adalah Hindhu aliran Shiva dan Buddha. Dua agama besar ini dikukuhkan
sebagai agama resmi Negara. Sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva
Buddha. Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva
Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini
terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang
pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari
pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah Emperor di Jawa.
Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta
(Wilwatikta. Vilva: Pohon Maja, Tikta : Pahit ). Sehingga, selain
Majapahit ( baca : Mojopahit) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar
ini dengan nama Wilwatikta ( Wilwotikto).
Kebesaran Majapahit
mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi
Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa
pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah
Mada-nya yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran
benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang
gilang gemilang!
Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang
saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang Pare-greg
(1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak
melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah
oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah
Blambangan sendiri yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. (
Kisah ini terkenal didalam masyarakat Jawa dalam cerita rakyat
pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet. Kebo = Bangsawan, Marcuet
= Kecewa. Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Jaka =
Perjaka, Umbaran = Pengembara. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil
menaklukkan Adipati Kebo Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan
dengan nama Minak Jingga. Minak = Bangsawan, Jingga = Penuh Keinginan.
Adipati Kebo Marcuet inilah Bhre Wirabhumi, dan Minak Jingga tak lain
adalah Raden Gajah, keponakan Bhre Wirabhumi sendiri.)
Namun,
sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan
kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri
dari pusat pemerintahan karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah
Raden Paramesywara, yang berhasil memadamkan pemberontakan Raden Gajah.
Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat sebagai suami oleh Ratu
Suhita. ( Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu Suhita tak
lain adalah Kencana Wungu. Kencana = Mutiara, Wungu = Pucat pasi,
ketakutan. Dan Raden Paramesywara adalah Damar Wulan. Damar = Pelita,
Wulan = Sang Rembulan.)
Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada
tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang
lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya ( Bhre Wijaya). Pada jaman
pemerintahan beliau inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan
Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke
pusat kerajaan, ke pulau Jawa.
Dan kisahnya adalah sebagai berikut :
Diwilayah Kamboja selatan, dulu terdapat Kerajaan kecil yang masuk
dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. ( Sekarang
hanya menjadi perkampungan Champa ). Kerajaan ini berubah menjadi
Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan
ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. (
Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim
As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh
Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu.
Raja Champa memiliki dua orang
putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan yang bungsu bernama
Dewi Anarawati. Syeh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi
Candrawati. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra, yang
sulung bernama Sayyid ‘Ali Murtadlo, dan yang bungsu bernama Sayyid ‘Ali
Rahmad. Karena berkebangsaan Champa ( Indo-china ), Sayyid ‘Ali Rahmad
juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo. ( Nama Champa dari Sayyid ‘Ali
Murtadlo, Raja Champa, Dewi Candrawulan dan Dewi Anarawati, saya belum
mengetahuinya : Damar Shashangka).
Kerajaan Champa dibawah kekuasaan
Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu
Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya
semenjak tahun 1453 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden
Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha
mengundurkan diri dari jabatannya, dan sebagai penggantinya diangkatlah
Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1468
Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri.
Praktis semenjak
tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa
didampingi oleh seorang Mahapatih. Apakah gerangan dalam masa
pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari
seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Prabhu
Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.
Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok
mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan
kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali
penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan
Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah
Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampi-hampir
melupakan istri-istrinya yang lain. ( Prabhu Brawijaya banyak memiliki
istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar. Pada
kesempatan lain, saya akan menceritakannya : Damar Shashangka ).
Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan
Champa datang menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh
para pembesar Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan, Dewi Anarawati.
Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda takluk. Dan salah satu
upeti yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.
Melihat
kecantikan putri berdarah indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan
begitu Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China
yang tengah hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana.
Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati.
Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng
Kian disingkirkan dari istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng
Kian diceraikan. Lantas putri China yang malang ini diserahkan kepada
Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar
sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu
Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada
tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula.
Nama China
Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda
dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong
adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis
China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang sudah
tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu
itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak
Islam.
Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng
Kian sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan,
dinikahilah dia oleh Arya Damar.
Anak yang lahir dari rahim Tan Eng
Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah seorang
anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia
juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden
Patah!
Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian,
lahirlah juga seorang putra. Diberinama Kin Shan. Nama muslimnya adalah
Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha,
atau Adipati Terung yang terkenal itu!
Kembali ke Jawa. Dewi
Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya.
Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil
menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian. Dewi Anarawati meminta kepada
Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak
tinggal dipesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah
Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita
Shiva dan para Wiku Buddha.
Mendengar permintaan istri tercintanya
ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang menjadi masalah,
siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya
padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta
ulam tiba, Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan
memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di
Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang hendak dibangun.
Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.
Para Pembesar
Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat
gelagat yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan Prabhu
Brawijaya, agar selalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan
penting.
Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong, punakawan
terdekat Prabhu Brawijaya juga sudah memperingatkan agar momongan mereka
ini berhati-hati, tidak gegabah. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan
orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang terdekatnya beliau
dengarkan.
Perekonomian Majapahit sudah hamper didominasi oleh etnis
China semenjak putri Tan Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya,
dan memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok. Kini, dengan masuknya
Dewi Anarawati, orang-orang muslim-pun mendepat kesempatan besar.
Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim. Semua
masukan bagi Prabhu Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan
secara sungguh-sungguh. Para Pejabat daerah mengirimkan surat khusus
kepada Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku para pendatang
baru ini. Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.
Hingga pada
suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat
daerah harus menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki
Ageng Kutu, Adipati Wengker ( Ponorogo sekarang), mempersembahkan tarian
khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih baru. Belum pernah
ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piranti
tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang berupa
duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak
diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang pemain, dengan
diiringi oleh para prajurid yang bertingkah polah seperti banci. (
Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama
Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari
acuh tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.
Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan
makna dari suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker
yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan lagi menjelaskan, bahwa
Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala
Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah
adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat cantik, yaitu
Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom
adalah symbol dari Pejabat teras, dan Jathilan adalah symbol dari
Pejabat daerah.
Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit, kini
diperintah oleh seekor harimau yang dikangkangi oleh burung Merak yang
indah. Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan sang burung Merak.
Para Prajurid Majapahit sekarang berubah menjadi penakut, melempem dan
banci, sangat memalukan! Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat
daerah dibuat kebingungan menghadapi invasi halus, imperialisasi halus
yang kini tengah terjadi. Dan terang-terangan Ki Ageng Kutu
memperingatkan agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-orang
Islam!
Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal dengan nama REOG PONOROGO!
Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki
Ageng Kutu, bersama para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit.
Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan perang dengan Majapahit!
Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden Bathara Katong untuk
memimpin pasukan Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker! ( Akan saya
ceritakan pada bagian kedua : Damar Shashangka.)
Prabhu Brawijaya,
menjanjikan daerah ‘perdikan’. Daerah perdikan adalah daerah otonom.
Beliau menjanjikannya kepada Dewi Anarawati. Dan Dewi Anarawati meminta
daerah Ampeldhenta ( didaerah Surabaya sekarang ) agar dijadikan daerah
otonom bagi orang-orang Islam. Dan disana, rencananya akan dibangun
sebuah Ashrama besar, pusat pendidikan bagi kaum muslim.
Begitu
Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka Dewi Anarawati, atas nama
Negara, mengirim utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh Ibrahim
As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit dan menjadi Guru dari Padepokan
yang hendak dibangun.
Dan permintaan ini adalah sebuah kabar
keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi peng-Islam-an Majapahit
sudah diambang mata. Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand ke
Jawa. Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid ‘Ali Murtadlo dan Sayyid ‘Ali
Rahmad.
Sesampainya di Gresik, pelabuhan Internasional pada waktu
itu, mereka disambut oleh masyarakat muslim pesisir yang sudah ada
disana sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa. Masyarakat muslim ini
mulai mendiami pesisir utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana Malik
Ibrahim, yang pada waktu itu memohon menghadap kehadapan Prabhu Hayam
Wuruk hanya untuk sekedar meminta beliau agar ‘pasrah’ memeluk Islam.
Tentu saja, permintaan ini ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk pada
waktu itu karena dianggap lancang. Namun, beliau sama sekali tidak
menjatuhkan hukuman. Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan Syeh
Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang. Namun sayang, di Gresik,
banyak para pengikut Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena wabah penyakit
yang datang tiba-tiba. Banyak yang meninggal. Salah satunya adalah
santriwati Syeh Maulana Malik Ibrahim bernama Fatimah binti Maimun. (
Sampai sekarang makamnya masih ada,). Dan Syeh Maulana Malik Ibrahim
akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal oleh orang-orang Jawa
muslim dengan nama Sunan Gresik.
Syeh Maulana Malik Ibrahim atau
Sunan Gresik telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang dinamakan
Dewan Wali Sangha ( Sangha = Perkumpulan orang-orang suci. Sangha
diambil dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan doktrin Buddhis
mengenai Buddha, Dharma dan Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama
berubah menjadi Wali Songo yang artinya Wali Sembilan.: Damar
Shashangka)
Rombongan dari Champa ini sementara waktu beristirahat
di Gresik sebelum meneruskan perjalanan menuju ibukota Negara Majapahit.
Sayang, setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-Samarqand jatuh sakit dan
meninggal dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama Syeh Ibrahim
Smorokondi. Makamnya masih ada di Gresik sekarang.
Kabar
meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand sampai juga di istana. Dewi
Anarawati bersedih. Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand
dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati, Sayyid ‘Ali Rahmad
diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari sebuah Padepokan
Islam yang hendak didirikan.
Bahkan, Sayyid ‘Ali Rahmad dan Sayyid
‘Ali Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan Majapahit, yaitu Rahadyan
atau Raden. Jadilah mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan Raden
Murtolo ( Orang Jawa tidak bisa mengucapkan huruf ‘dlo’. Huruf ‘dlo’
berubah menjadi ‘lo’. Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan,
Riyadloh jadi Riyalat, dll). Namun lama kelamaan, Raden Murtolo dikenal
dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik sekarang.
Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat
pendidikan Islam pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang membantu.
Tak berapa lama, berdirilah Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan
lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk membedakannya dengan Ashrama
pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas dikemudian hari, Raden
Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel.
Raden Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah tua, ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.
Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha,
sudah memperingatkan Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar
dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum missioner. Kaum yang punya misi
tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam, Pasai juga,
Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat
kerajaan.
Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak ketinggalan
pula Sabdo Palon dan Naya Genggong. Namun, bagaikan berlalunya angin,
Prabhu Brawijaya tetap tidak mendengarkannya.Raja Majapahit yang
ditakuti ini, kini bagaikan harimau yang takluk dibawah kangkangan
burung Merak, Dewi Anarawati.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker dulu.
Subscribe to:
Posts (Atom)