Sirna Ilang Kerthaning Bhumi
Atas perintah Raden Patah, Senopati Demak Bintara Sunan Kudus menemui
Adipati Terung, adik kandung Raden Patah dengan membawa pasukan Demak
Bintara. Adipati Terung di ultimatum agar menyerah, atau dihancurkan.
Adipati Terung dalam dilema. Pada akhirnya, dia menyatakan ‘menyerah’
kepada Demak Bintara.
Beberapa minggu kemudian, Raden Patah datang dari Demak untuk melihat langsung kemenangan
pasukannya. Raden Patah meminta semua laporan dari kepala pasukan
Demak. Diketahui kemudian, Prabhu Brawijaya berhasil meloloskan diri.
Pasukan Bhayangkara Majapahit atau Pasukan Khusus Pengawal Raja, memang
terkenal lihai melindungi junjungan mereka. Tak ada satupun kepala
pasukan Demak yang mengetahui bagaimana Pasukan Bhayangkara bisa
menerobos kepungan rapat Pasukan Islam dan kearah mana mereka membawa
Sang Prabhu pergi.
Raden Patah segera menyebar pasukan mata-mata
untuk melacak keberadaan Sang Prabhu. Dan Raden Patah sendiri segera
melanjutkan perjalanan untuk bertandang ke Pesantren Ampel di Surabaya.
Dia hendak mengabarkan kemenangan besar ini kepada janda Sunan Ampel.
Di Surabaya situasi anarkhis-pun merajalela. Nyi Ageng Ampel, begitu
mendengar laporan Raden Patah, marah! Dengan tegas beliau menyatakan,
apa yang dilakukan Raden Patah adalah sebuah kesalahan besar. Dia telah
berani melanggar wasiat gurunya sendiri, Sunan Ampel, yang mewasiatkan
sebelum beliau wafat, melarang orang-orang Islam merebut tahta
Majapahit. Dan juga, Raden Patah telah berani melawan seorang Imam yang
sah, seorang Umaro’ tidak seharusnya dilawan tanpa ada alasan yang
jelas. Dan yang ketiga, Raden Patah telah berani durhaka kepada ayah
kandungnya sendiri yang telah melimpahkan segala kebaikan bagi dirinya
serta orang-orang Islam.
Nyi Ageng Ampel menangis. Raden Patah
terketuk hati nuraninya, dia ikut mencucurkan air mata. Didepan Nyi
Ageng Ampel, Raden Patah mencium kaki beliau, menangis, menyesali
perbuatannya.
Dengan berurai air mata, Raden Patah meminta solusi
kepada Nyi Ageng Ampel. Dan Nyi Ageng Ampel memerintahkan kepadanya
untuk segera mencari keberadaan Prabhu Brawijaya. Dan apabila sudah
diketemukan, seyogyanya, Prabhu Brawijaya dikukuhkan kembali sebagai
seorang Raja.
Mendengar perintah itu, secara emosional Raden Patah
berniat mencari ayahandanya sendiri bersama beberapa orang prajurid
Demak. Tapi Nyi Ageng Ampel mencegahnya. Dalam situasi anarkhis seperti
ini, tidak memungkinkan bagi dia untuk mencari beliau sendiri.
Dikhawatirkan, akan terjadi kesalah pahaman. Dan sekarang, dimata Prabhu
Brawijaya, dirinya dan seluruh umat Islam yang menyokong pergerakan
pasukan Demak, tidak mungkin dipercaya lagi.
Jalan keluar yang
terbaik adalah, meminta bantuan Sunan Kalijaga atau Syeh Siti Jenar
untuk mewakili dirinya, mencari Prabhu Brawijaya dan apabila sudah bisa
ditemukan, memohon kepada Prabhu Brawijaya agar kembali ke Majapahit.
Sudah bukan rahasia lagi dikalangan Istana, dua ulama besar ini tidak
terlibat dalam penyerangan Majapahit.
Karena Syeh Siti Jenar, baru
saja disidang oleh Dewan Wali Sangha yang mengakibatkan hubungan beliau
dengan Para Wali sekaligus dengan Raden Patah dalam situasi yang tidak
mengenakkan, maka Raden Patah memutuskan untuk mengirim pasukan khusus
menemui Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga, dimohon menghadap ke Pesantren Ampel atas permintaan Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah.
Beberapa hari kemudian, Sunan Kalijaga datang ke Surabaya. Beliau waktu
itu berada di Demak Bintara, memfokuskan diri memimpin pembangunan
Masjid Demak.
Sunan Kalijaga, Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah,
terlibat perundingan yang serius. Dan pada akhirnya, Sunan Kalijaga
menyetujui untuk mengemban tugas mulia itu.
Beberapa hari kemudian,
laporan dari pasukan mata-mata Demak Bintara diterima Raden Patah.
Diketahui, ada konsentrasi besar pasukan Majapahit diwilayah Blambangan.
Diketahui pula, Prabhu Brawijaya ada disana. Ada kabar terpetik, Prabhu
Brawijaya hendak menyeberang ke pulau Bali.
Mendapati informasi
yang dapat dipercaya seperti itu, Sunan Kalijaga, diiringi beberapa
santrinya, segera berangkat ke Blambangan. Dia siap mengambil segala
resiko yang bakal terjadi. Dengan memakai pakaian rakyat sipil yang
tidak mencolok mata, demi untuk menghindari kesalah pahaman, dia
berangkat. Disetiap daerah yang dilalui, Sunan Kalijaga beserta
rombongan melihat pemandangan yang memilukan. Kekacauaan ada
dimana-mana. Penduduk yang masih memegang keyakinan lama, bentrok dengan
penduduk yang sudah mengganti keyakinannya.Korban berjatuhan. Nyawa
melayang karena kepicikan.
Rombongan ini harus pandai-pandai memilih
jalan. Kadangkala memutar kalau dirasa perlu. Mereka sengaja
menghindari tempat keramaian. Mereka lebih memilih menerobos hutan
belantara demi menjaga keamanan.
Dan, manakala mereka sudah tiba di
Blambangan, Sunan Kalijaga, menunjukkan statusnya. Dengan mengibarkan
bendera putih tanda gencatan senjata, dia memasuki kota Blambangan yang
mencekam.
Para prajurid Majapahit terkejut melihat ada serombongan
kecil orang-orang muslim memasuki kota Blambangan. Mereka mengibarkan
bendera putih. Mereka bukan tentara. Mereka tidak bersenjata. Serta
merta, kedatangan mereka dihadang oleh pasukan Majapahit. Dan mereka
tidak diperkenankan memasuki kota. Prajurid Majapahit, siap tempur.
Namun, Sunan Kalijaga menunjukkan siapa dirinya. Dia meminta kepada
kepala prajurid agar menyampaikan pesan kepada Prabhu Brawijaya,
bahwasanya dia, Raden Sahid atau Sunan Kalijaga, datang sebagai duta dan
memohon menghadap.
Ketegangan terjadi. Rombongan kecil ini diujung
tanduk. Nyawa mereka terancam. Namun mereka yakin, prajurid Majapahit
bisa membedakan, mana musuh dalam medan laga dan mana musuh dalam status
duta. Mereka tidak akan berani mencelakai seorang duta.
Ketegangan
sedikit mencair manakala ada pesan dari Sang Prabhu yang mengabulkan
permohonan Sunan Kalijaga untuk menghadap kepada beliau. Prabhu
Brawijaya tahu bagaimana menghormati seorang duta. Prabhu Brawijaya-pun
tahu dari laporan para pasukan Sandhi (Intelejen) bahwa Sunan Kalijaga
bersama para pengikutnya, tidak ikut melakukan penyerangan ke Majapahit.
Sunan Kalijaga beserta rombongan bisa bernafas lega. Mereka segera
menghadap Prabhu Brawijaya dengan pengawalan yang sangat ketat sekali.
Sembari memegang persenjataan lengkap dan siap digunakan, para prajurid
Bhayangkara menyambut kedatangan Sunan Kalijaga. Mereka mengapitnya.
Sunan Kalijaga diperkenankan masuk. Beberapa santrinya disuruh menunggu
diluar.
Prabhu Brawijaya, didampingi para penasehat beliau yang
terdiri dari para Pandhita Shiva dan Wiku Buddha, juga Sabdo Palon dan
Naya Genggong, nampak telah menunggu kedatangan Sunan Kalijaga. Begitu
ada dihadapan Sang Prabhu, Sunan Kalijaga menghaturkan hormat.
Prabhu Brawijaya menanyakan maksud kedatangan Sunan Kalijaga. Sunan
Kalijaga mengatakan bahwa dia adalah duta Raden Patah sekaligus Nyi
Ageng Ampel. Sunan Kalijaga menceritakan segalanya dari awal hingga
akhir. Bahkan dia menceritakan pula kondisi Majapahit. Prabhu Brawijaya
meneteskan air mata mendengar banyak penduduk yang harus meregang nyawa
karena kepicikan, mendengar Keraton megah kebanggaan Nusantara dibumi
hanguskan, mendengar tempat-tempat suci hancur rata dengan tanah.
Seluruh yang hadir merasa sedih, marah, geram, semua bercampur aduk menjadi satu.
Dan manakala Sunan Kalijaga mengahturkan tujuan sebenarnya dia menjadi
duta, yaitu agar Prabhu Brawijaya berkenan kembali memegang tampuk
pemerintahan di Majapahit, seketika ssemua yang hadir memincingkan
mata.Seolah mendengarkan kalimat yang tidak bisa dicerna.
Prabhu
Brawijaya tercenung. Beliau meminta nasehat. Beberapa penasehat
mengusulkan agar hal itu tidak dilakukan, karena sama saja menerima
suatu penghinaan. Dinasti Majapahit, bisa kembali berkuasa hanya karena
kebaikan hati orang-orang Islam. Tidak hanya itu saja, wibawa Sang
Prabhu akan jatuh dimata para pendukungnya. Tidak ada artinya tahta yang
diperoleh dari belas kasihan musuh. Masyarakat Majapahit akan memandang
rendah pemimpin mereka yang mau menerima tahta seperti itu. Selama ini,
Raja-Raja Majapahit, tidak pernah melakukan itu. Bila wibawa Sang
Prabhu telah jatuh, dengan sendirinya, para pengikut Sang Prabhu akan
berani juga bermain-main dengan Sang Prabhu kelak. Hukum tidak akan
dipatuhi. Para pembangkang akan muncul dimana-mana bak jamur tumbuh
dimusim penghujan. Dan lagi, apakah Sang Prabhu tidak malu menerima
tahta dari anaknya sendiri?
Sebaiknya Sang Prabhu tidak menerima tawaran itu.
Sang Prabhu menghela nafas.
Sunan Kalijaga mohon bicara. Apabila memang Sang Prabhu tidak mau
menerima tahta Majapahit dari tangan Raden Patah, maka seyogyanya Sang
Prabhu mempertimbangkan kembali jika hendak mendapatkannya dengan jalan
merebut. Sebab, bila hal itu sampai terjadi, tidak bisa dibayangkan,
tanah Jawa akan banjir darah. Dukungan kekuatan militer bagi Sang Prabhu
akan datang dari segenap pelosok Nusantara, tidak bakalan
tanggung-tanggung lagi. Jawa akan semakin membara bila seluruh Nusantara
akan bangkit. Pembunuhan yang lebih besar dan mengerikan akan terjadi.
Sang Prabhu Brawijaya bagaikan disodori buah simalakama, dimakan mati tidak dimakan pun mati.
Sejenak, Sang Prabhu berunding dengan para penasehat beliau yang
terdiri dari para ahli hukum dan agamawan. Sejurus kemudian, beliau
menyatakan kepada Sunan Kalijaga hendak merundingkan hal ini dengan para
penasehat lebih dalam lagi. Dan Sunan Kalijaga diperbolehkan menghadap
esok hari lagi. Sunan Kalijaga dan seluruh rombongannya diberikan tempat
bermalam, dengan pengawalan ketat.
Keesokan harinya, Sunan Kalijaga
dipanggil menghadap. Prabhu Brawijaya memutuskan, untuk menghindari
pertumpahan darah yang lebih besar lagi, beliau tidak akan mengadakan
gerakan perebutan tahta kembali. Lega Sunan Kalijaga mendengarnya.
Namun apa yang akan dilakukan Sang Prabhu agar seluruh putra-putra
beliau mau merelakan tahta diduduki Raden Patah? Begitu Sunan Kalijaga
meminta kejelasan langkah selanjutnya. Sang Prabhu mengatakan, beliau
akan mengeluarkan maklumat kepada seluruh putra-putra beliau untuk
bersikap sama seperti dirinya. Untuk berjiwa besar memberikan kesempatan
bagi Raden Patah memegang tampuk kekuasaan. Terutama kepada keturunan
beliau di Pengging, maklumat ini benar-benar harus dipatuhi. Semua sudah
paham, yang berhak mewarisi tahta Majapahit sebenarnya adalah keturunan
di Pengging.
Kini, Sang Prabhu yang mempertanyakan jaminan
kebebasan beragama kepada Sunan Kalijaga, apakah Demak Bintara bisa
memberikan wilayah-wilayah otonomi khusus bagi para penguasa daerah yang
mayoritas masyarakatnya tidak beragama Islam? Bisakah Demak Bintara
sebijak Majapahit dulu? Bukankah keyakinan yang dianut Raden Patah
menganggap semua yang diluar keyakinan mereka adalah musuh?
Sunan
Kalijaga terdiam. Dan setelah berfikir barang sejenak, Sunan Kalijaga
betjanji akan ikut andil menentukan arah kebijakan pemerintahan Demak
Bintara. Dan itu berarti, mulai saat ini, dia harus ikut terjun kedunia
politik. Dunia yang dihindarinya selama ini ( Tahta Kadipaten Tuban yang
diserahkan kepadanya, dia berikan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya
Dewi Rasa Wulan : Damar Shashangka).
Prabhu Brawijaya bernafas lega. Dia percaya pada sosok Raden Sahid atau Sunan Kalijaga ini.
Sunan Kalijaga menambahkan, Sang Prabhu seyogyanya kembali ke Trowulan.
Tidak usah meneruskan menyeberang ke pulau Bali. Sebab dengan adanya
Sang Prabhu di Trowulan, para putra dan masyarakat tahu kondisi beliau.
Tahu bahwasanya beliau baik-baik saja. Sehingga seluruh pendukung beliau
akan merasa tenang.
Kembali Sang Prabhu berunding dengan para penasehat sejenak Kemudian beliau memeberikan jawaban.
Ada beliau di Trowulan ataupun tidak, stabilitas negara sepeninggal
beliau tergulingkan dari tahta, mau tidak mau, tetap akan terganggu.
Karena para pendukung beliau pasti juga banyak yang belum bisa menerima
pemberontakan Raden Patah ini. Namun, jika tidak ada komando khusus dari
beliau, hal itu tidak akan menjadi sebuah kekacauan yang besar.
Pembangkangan daerah per daerah pasti terjadi. Tapi, Sang Prabhu
menjamin, tanpa komando beliau, penyatuan kekuatan Majapahit dari daerah
per daerah tidak bakalan terjadi. Dan, beliau tidak perlu pulang ke
Trowulan.
Sunan Kalijaga resah. Bila Sang Prabhu ke Bali, Sunan
Kalijaga takut beliau akan berubah pikiran begitu melihat betapa
militan-nya para pendukung beliau disana. Mau tidak mau, Prabhu
Brawijaya harus bisa diusahakan pulang ke Trowulan. Sunan Kalijaga
memutar otak.
Sunan Kalijaga tahu, hati Prabhu Brawijaya sangat
lembut. Dan kini, Sunan Kalijaga akan berusaha mengetuk kelembutan hati
beliau. Sunan Kalijaga memberikan gambaran betapa mengerikannya jika
para pendukung beliau benar-benar siap melakukan gerakan besar. Tidak
ada jaminan bagi Sang Prabhu sendiri bahwa beliau tidak akan berubah
pikiran bila tetap meneruskan perjalanan ke Bali. Sunan Kalijaga
memohon, Prabhu Brawijaya harus mengambil jarak dengan para pendukung
beliau. Nasib rakyat kecil dalam hal ini dipertaruhkan. Mereka harus
lebih diutamakan.
Sunan Kalijaga memberikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika Sang Prabhu tetap hendak ke Bali
Diam-diam, Prabhu Brawijaya berfikir. Diam-diam hati beliau terketuk.
Kata-kata Sunan Kalijaga memang ada benarnya. Prabhu Brawijaya
tercenung. Beliau memutuskan pertemuan untuk sementara disudahi. Sunan
Kalijaga diminta kembali ketempatnya untuk sementara waktu.
Dan,
Prabhu Brawijaya ingin menyendiri. Ingin merenung tanpa mau diganggu
oleh siapapun. Ketika malam menjelang, Sang Prabhu memanggil Sabdo Palon
dan Naya Genggong. Bertiga bersama-sama membahas langkah selanjutnya.
Dan, ketika malam menjelang puncak, Sabdo Palon dan Naya Genggong
berterus terang, Mereka berdua menunjukkan siapa sebenarnya jati
dirinya. Diiringi semburat cahaya lembut, Sabdo Palon dan Naya Genggong
‘menampakkan wujudnya yang asli’ kepada Prabhu Brawijaya.
Prabhu
Brawijaya terperanjat. Serta merta beliau menghaturkan hormat,
bersembah. Kini, malam ini, untuk pertama kalinya, Sang Prabhu Brawijaya
bersimpuh. ( Siapa mereka? Masih rahasia : Damar Shashangka).
Sabdo
Palon dan Naya Genggong memberikan gambaran apa yang bakal terjadi
kelak di Nusantara. Semenjak hari kehancuran Majapahit, ‘kesadaran’
masyarakat Nusantara akan jatuh ketitik yang paling rendah. ‘Kulit’
lebih diagung-agungkan dari pada ‘Isi’. ‘Kebenaran Yang Mutlak’ dianggap
sebagai milik golongan tertentu. Dharma diputar balikkan. Sampah-sampah
seperti ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun kedepan. Dan
bila sudah saatnya, Alam akan memuntahkannya. Alam akan membersihkannya.
Nusantara akan terguncang. Gempa Bumi, banjir bandang, angin puting
beliung, ombak samudera naik ke daratan, gunung berapi memuntahkan
laharnya berganti-gantian, musibah silih berganti, datang dan pergi.
Bila waktu itu tiba, Alam telah melakukan penyeleksian. Alam akan
memilih mereka-mereka yang ‘berkesadaran tinggi’. Yang ‘kesadarannya
masih rendah’, untuk sementara waktu disisihkan dahulu atau akan
dilahirkan ditempat lain diluar Nusantara. Bila saat itu sudah terjadi,
Sabdo Palon dan Naya Genggong akan muncul lagi, kembali ke Nusantara.
Sabdo Palon dan Naya Genggong akan ‘merawat tumbuhan kesadaran’ dari
mereka-mereka yang terpilih. Sabdo Palon dan Naya Genggong akan menjaga
‘tumbuhan Buddhi’ yang mulai bersemi itu. Itulah saatnya, agama Buddhi,
agama Kesadaran akan berkembang biak di Nusantara. Dan Nusantara, pelan
tapi pasti, akan dapat meraih kejayaannya kembali.
Memang sudah
menjadi garis karma, kehendak Hyang Widdhi Wasa, mereka-mereka saat ini
berkuasa di Nusantara. Prabhu Brawijaya tidak ada gunanya mempertahankan
Shiva Buddha. Prabhu Brawijaya lebih baik menuruti kehendak
mereka-mereka yang tengah berkuasa. Kelak, Prabhu Brawijaya juga akan
lahir lagi, lima ratus tahun kemudian, untuk ikut menyaksikan berseminya
agama Buddhi.
Menangislah Prabhu Brawijaya. Semalaman beliau
menangis. Semua rahasia masa depan Nusantara, dijabarkan oleh Sabdo
Palon dan Naya Genggong.
Keesokan harinya, beliau memanggil Sunan
Kalijaga. Dihadapan seluruh yang hadir, beliau menyatakan hendak kembali
ke Trowulan. Dan yang lebih mengagetkan, beliau menyatakan masuk Islam
demi menjaga stabilitas negara.
Sunan Kalijaga dan seluruh yang
hadir terperangah mendengar keputusan Sang Prabhu. Beberapa penasehat,
pejabat dan kepala pasukan Bhayangkara, bersujud sambil menangis haru.
Mereka memohon agar Sang Prabhu mencabut kembali sabda yang telah beliau
keluarkan. Situasi tegang, sedih, bingung…
Sabdo Palon dan Naya
Genggong angkat bicara. Dihadapan Prabhu Brawijaya, Sunan Kalijaga dan
seluruh yang hadir, mereka mengucapkan sebuah sumpah, bahwasanya lima
ratus tahun kemudian, mereka berdua akan kembali. ( Inilah yang lantas
dikenal dengan JANGKA SABDO PALON NAYA GENGGONG oleh masyarakat Jawa
sampai sekarang. Baca catatan saya tentang SERAT SABDO PALON. : Damar
Shashangka).
Selesai mengucapkan sumpah mereka, Sabdo Palon dan Naya Genggong mencium tangan Sang Prabhu Brawijaya. Sabdo Palon berbisik :
“Lima ratus tahun lagi, ananda akan bertemu dengan kami kembali. Sekarang sudah saatnya kita berpisah. Selamat tinggal ananda.”
Sabdo Palon dan Naya Genggong menyembah hormat, lalu bergegas keluar
dari ruang pertemuan. Semua yang hadir masih bingung melihat peristiwa
ini. Diantara mereka, ada beberapa yang ikut menyembah, melepas lencana
mereka dan memohon maaf kepada Sang Prabhu untuk undur diri.
Bagaikan tugu dari batu, Sang Prabhu Brawijaya diam tak bergerak.
Tinggal beberapa orang yang ada didepan beliau. Beberapa pasukan
Bhayangkara yang memutuskan untuk setia mengiringi Sang Prabhu. Juga ada
Sunan Kalijaga, yang masih pula ada di sana.
Setelah kediaman
beliau yang lama, Sunan Kalijaga memberanikan diri menanyakan keputusan
Sang Prabhu tersebut. Sang Prabhu menjawab, semua memang harus terjadi.
Mendengar sabda Sang Prabhu, Sunan Kalijaga segera mendekat kepada
beliau.
Sunan Kalijaga memohon dengan segala hormat, apabila Sang
Prabhu benar-benar ikhlas menyerahkan tahta kepada Raden Patah, maka
beliau harus rela melepaskan mahkota beserta pakaian kebesaran beliau
sebagai Raja Diraja. Sejenak Sang Prabhu masih ragu, namun ketika sekali
lagi Sunan Kalijaga memohon keikhlasan beliau, maka Sang Prabhu
menyetujuinya. ( Inilah simbolisasi rambut beliau dipotong oleh Sunan
Kalijaga. Pada kali pertama, rambut beliau tidak bisa putus. Dan pada
kali kedua, barulah bisa putus : Damar Shashangka.)
Tidak menunggu
waktu lama, berangkatlah rombongan Prabhu Brawijaya yang terdiri dari
sedikit pasukan Bhayangkara dan Sunan Kalijaga beserta para santri
menuju Trowulan. Sesampainya di Trowulan, masyarakat Majapahit menyambut
dengan penuh suka cita. Keadaan mulai berangsur membaik ketika Sang
Prabhu Brawijaya mengeluarkan maklumat agar semua pertikaian dihentikan.
Disusul kemudian, keluar maklumat serupa dari Demak Bintara yang
memfatwakan, peperangan sudah berhenti, diharamkan membunuh mereka yang
telah kalah perang. Kondisi anarkhisme, berangsur-angsur menjadi
kondusif. Stabilitas untuk sementara waktu kembali normal. Stabilitas
yang dibawa dari Blambangan ini, membuat Sunan Kalijaga, sebagai suatu
kenangan keberhasilan mendamaikan kedua belah pihak, memberikan nama
baru kepada Blambangan, yaitu Banyuwangi. ( Disimbolkan, Sunan Kalijaga
membawa sepotong bambu kemudian dia mengisinya dengan air kotor waktu
masih di Blambangan. Begitu sesampainya di Trowulan, air dalam bambu itu
berubah menjadi jernih dan wangi. Bambu adalah lambang dari sebuah
negara, air kotor yang diambil Sunan Kalijaga adalah masalah yang dibuat
oleh orang-orang yang sekeyakinan dengan Sunan Kalijaga sendiri. Air
yang berubah jernih setibanya di Trowulan melambangkan kembalinya
stabilitas negara.: Damar Shashangka).
Bergiliran, para putra Prabhu
Brawijaya datang ke Trowulan. Adipati Handayaningrat dari Pengging
beserta Ki Ageng Pengging putranya. Raden Bondhan Kejawen dari Tarub.
Raden Bathara Katong dari Ponorogo. Raden Lembu Peteng dari Madura, dan
masih banyak lagi. Tak ketinggalan Raden Patah sendiri.
Dihadapan
seluruh putra-putra beliau, Sunan Kalijaga menyampaikan amanat Sang
Prabhu agar pertikaian dihentikan. Dan agar Raden Patah, diikhlaskan
menduduki tahta Demak Bintara. Seluruh putra-putra beliau, wajib
menerima dan mentaati keputusan ini.
Kepada Sunan Kalijaga, Sang
Prabhu Brawijaya memberikan amanat untuk mendampingi keturunan beliau
yang ada di Tarub yaitu Raden Bondhan Kejawen dan keturunan beliau yang
ada di Pengging. Terutama kepada Raden Bondhan Kejawen, Prabhu Brawijaya
telah mengetahuinya dari Sabdo Palon dan Naya Genggong, bahwa kelak,
dari keturunannya, akan lahir Raja-Raja besar di Jawa. Dinasti Raden
Patah dan dinasti dari Pengging, tidak akan bertahan lama.
Prabhu
Brawijaya bahkan membisikkan kepada Sunan Kalijaga, bahwa Demak hanya
akan dipimpin oleh tiga orang Raja. Setelah itu akan digantikan oleh
keturunan dari Pengging, cuma satu orang Raja. Lantas digantikan oleh
keturunan dari Tarub. Banyak Raja akan terlahir dari keturunan dari
Tarub.
(Ramalan ini terbukti, Demak hanya diperintah oleh tiga orang
Sultan. Yaitu Raden Patah, Sultan Yunus lalu Sultan Trenggana. Setelah
itu terjadi pertumpahan darah antara Kubu Abangan dengan Kubu Putihan.
Dan Jaka Tingkir tampil kemuka. Jaka Tingkir adalah keturunan dari
Pengging. Tapi tidak lama, keturunan dari Tarub, yaitu Danang
Sutawijaya, yang kelak dikenal dengan gelar Panembahan Senopati Ing
Ngalaga Mentaram, akan tampil kemuka menggantikan keturunan Pengging.
Panembahan Senopati inilah pendiri Kesultanan Mataram Islam, yang
sekarang terpecah menjadi Jogjakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan Paku
Alaman amar Shashangka.)
Tidak berapa lama kemudian, Prabhu
Brawijaya jatuh sakit. Dalam kondisi akhir hidupnya, Sunan Kalijaga
dengan setia mendampingi beliau. Kepada Sunan Kalijaga, Prabhu Brawijaya
berwasiat agar dipusara makam beliau kelak apabila beliau wafat, jangan
dituliskan nama beliau atau gelar beliau sebagai Raja terakhir
Majapahit. Melainkan beliau meminta agar dituliskan nama Putri Champa
saja. Ini sebagai penanda kisah akhir hidup beliau, juga kisah akhir
Kerajaan Majapahit yang terkenal dipelosok Nusantara. Bahwasanya, beliau
telah ditikam dari belakang oleh permaisurinya sendiri Dewi Anarawati
atau Putri Champa dan beliau diperlakukan dan tidak dihargai lagi
sebagai seorang laki-laki oleh Raden Patah, putranya sendiri.
Sunan Kalijaga sedih mendapat wasiat seperti itu. Namun begitu beliau wafat, wasiat itu-pun dijalankan.
Seluruh masyarakat berkabung. Seluruh putra dan putri beliau berkabung.
Dan kehancuran Majapahit. Kehancuran Kerajaan Besar ini dikenang oleh
masyarakat Jawa dengan kalimat sandhi yang menyiratkan angka-angka tahun
sebuah kejadian (Surya Sengkala), yaitu SIRNA ILANG KERTANING BHUMI.
SIRNA berarti angka ’0′. ILANG berarti angka ’0′. KERTA berarti angka
’4′ dan BHUMI berarti angka ’1′. Dan apabila dibalik, akan terbaca 1400
Saka atau 1478 Masehi. Kalimat KERTAning BHUMI diambil dari nama asli
Prabhu Brawijaya, yaitu Raden Kertabhumi. Inilah kebiasaan masyarakat
Jawa yang sangat indah dalam mengenang sebuah kejadian penting.
Dan
Raden Patah, memindahkan pusat pemerintahan ke Demak Bintara. Dia
dikukuhkan oleh Dewan Wali Sangha sebagai Sultan dengan gelar Sultan
Syah ‘Alam Akbar Jim-Bun-ningrat.
Keinginan orang-orang Islam
terwujud. Demak Bintara menjadi ke-Khalifah-an Islam pertama di Jawa.
Tapi, pemberontakan dari berbagai daerah, tidak bisa diatasi oleh
Pemerintahan Demak. Wilayah Majapahit yang dulu luas, kini terkikis
habis. Praktis, wilayah Demak Bintara hanya sebatas Jawa Tengah saja.
Kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian seolah menjauh dari Demak Bintara.
Darah terus tertumpah tiada habisnya. Perebutan kekuasaan silih
berganti. Nusantara semakin terpuruk. Semakin tenggelam dipeta
perpolitikan dunia.
Disusul kemudian, pada tahun 1596 Masehi,
Belanda datang ke Jawa. Nusantara semakin menjadi bangsa tempe! Semenjak
Majapahit hancur, hingga sekarang, kemakmuran hanya menjadi mimpi
belaka.
Kapan Majapahit bangkit lagi? Kapan Nusantara akan disegani sebagai Macan lagi?
Menangislah membaca sejarah bangsa kita. Menangislah kalian karena
kalian sendiri yang telah lalai terlalu bangga membawa masuk ideologi
bangsa lain yang tidak sesuai dengan tanah Nusantara.
Sandhya
Kalaning Majapahit. Majapahit hancur sudah. Sinar Kejayaan Nusantara
kini telah meredup, bagai matahari yang tenggelam diufuk barat.
(Tamat)
*(Damar Shashangka) diolah dari berbagai sumber
Atas perintah Raden Patah, Senopati Demak Bintara Sunan Kudus menemui Adipati Terung, adik kandung Raden Patah dengan membawa pasukan Demak Bintara. Adipati Terung di ultimatum agar menyerah, atau dihancurkan. Adipati Terung dalam dilema. Pada akhirnya, dia menyatakan ‘menyerah’ kepada Demak Bintara.
Beberapa minggu kemudian, Raden Patah datang dari Demak untuk melihat langsung kemenangan
pasukannya. Raden Patah meminta semua laporan dari kepala pasukan Demak. Diketahui kemudian, Prabhu Brawijaya berhasil meloloskan diri. Pasukan Bhayangkara Majapahit atau Pasukan Khusus Pengawal Raja, memang terkenal lihai melindungi junjungan mereka. Tak ada satupun kepala pasukan Demak yang mengetahui bagaimana Pasukan Bhayangkara bisa menerobos kepungan rapat Pasukan Islam dan kearah mana mereka membawa Sang Prabhu pergi.
Raden Patah segera menyebar pasukan mata-mata untuk melacak keberadaan Sang Prabhu. Dan Raden Patah sendiri segera melanjutkan perjalanan untuk bertandang ke Pesantren Ampel di Surabaya. Dia hendak mengabarkan kemenangan besar ini kepada janda Sunan Ampel.
Di Surabaya situasi anarkhis-pun merajalela. Nyi Ageng Ampel, begitu mendengar laporan Raden Patah, marah! Dengan tegas beliau menyatakan, apa yang dilakukan Raden Patah adalah sebuah kesalahan besar. Dia telah berani melanggar wasiat gurunya sendiri, Sunan Ampel, yang mewasiatkan sebelum beliau wafat, melarang orang-orang Islam merebut tahta Majapahit. Dan juga, Raden Patah telah berani melawan seorang Imam yang sah, seorang Umaro’ tidak seharusnya dilawan tanpa ada alasan yang jelas. Dan yang ketiga, Raden Patah telah berani durhaka kepada ayah kandungnya sendiri yang telah melimpahkan segala kebaikan bagi dirinya serta orang-orang Islam.
Nyi Ageng Ampel menangis. Raden Patah terketuk hati nuraninya, dia ikut mencucurkan air mata. Didepan Nyi Ageng Ampel, Raden Patah mencium kaki beliau, menangis, menyesali perbuatannya.
Dengan berurai air mata, Raden Patah meminta solusi kepada Nyi Ageng Ampel. Dan Nyi Ageng Ampel memerintahkan kepadanya untuk segera mencari keberadaan Prabhu Brawijaya. Dan apabila sudah diketemukan, seyogyanya, Prabhu Brawijaya dikukuhkan kembali sebagai seorang Raja.
Mendengar perintah itu, secara emosional Raden Patah berniat mencari ayahandanya sendiri bersama beberapa orang prajurid Demak. Tapi Nyi Ageng Ampel mencegahnya. Dalam situasi anarkhis seperti ini, tidak memungkinkan bagi dia untuk mencari beliau sendiri. Dikhawatirkan, akan terjadi kesalah pahaman. Dan sekarang, dimata Prabhu Brawijaya, dirinya dan seluruh umat Islam yang menyokong pergerakan pasukan Demak, tidak mungkin dipercaya lagi.
Jalan keluar yang terbaik adalah, meminta bantuan Sunan Kalijaga atau Syeh Siti Jenar untuk mewakili dirinya, mencari Prabhu Brawijaya dan apabila sudah bisa ditemukan, memohon kepada Prabhu Brawijaya agar kembali ke Majapahit. Sudah bukan rahasia lagi dikalangan Istana, dua ulama besar ini tidak terlibat dalam penyerangan Majapahit.
Karena Syeh Siti Jenar, baru saja disidang oleh Dewan Wali Sangha yang mengakibatkan hubungan beliau dengan Para Wali sekaligus dengan Raden Patah dalam situasi yang tidak mengenakkan, maka Raden Patah memutuskan untuk mengirim pasukan khusus menemui Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga, dimohon menghadap ke Pesantren Ampel atas permintaan Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah.
Beberapa hari kemudian, Sunan Kalijaga datang ke Surabaya. Beliau waktu itu berada di Demak Bintara, memfokuskan diri memimpin pembangunan Masjid Demak.
Sunan Kalijaga, Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah, terlibat perundingan yang serius. Dan pada akhirnya, Sunan Kalijaga menyetujui untuk mengemban tugas mulia itu.
Beberapa hari kemudian, laporan dari pasukan mata-mata Demak Bintara diterima Raden Patah. Diketahui, ada konsentrasi besar pasukan Majapahit diwilayah Blambangan. Diketahui pula, Prabhu Brawijaya ada disana. Ada kabar terpetik, Prabhu Brawijaya hendak menyeberang ke pulau Bali.
Mendapati informasi yang dapat dipercaya seperti itu, Sunan Kalijaga, diiringi beberapa santrinya, segera berangkat ke Blambangan. Dia siap mengambil segala resiko yang bakal terjadi. Dengan memakai pakaian rakyat sipil yang tidak mencolok mata, demi untuk menghindari kesalah pahaman, dia berangkat. Disetiap daerah yang dilalui, Sunan Kalijaga beserta rombongan melihat pemandangan yang memilukan. Kekacauaan ada dimana-mana. Penduduk yang masih memegang keyakinan lama, bentrok dengan penduduk yang sudah mengganti keyakinannya.Korban berjatuhan. Nyawa melayang karena kepicikan.
Rombongan ini harus pandai-pandai memilih jalan. Kadangkala memutar kalau dirasa perlu. Mereka sengaja menghindari tempat keramaian. Mereka lebih memilih menerobos hutan belantara demi menjaga keamanan.
Dan, manakala mereka sudah tiba di Blambangan, Sunan Kalijaga, menunjukkan statusnya. Dengan mengibarkan bendera putih tanda gencatan senjata, dia memasuki kota Blambangan yang mencekam.
Para prajurid Majapahit terkejut melihat ada serombongan kecil orang-orang muslim memasuki kota Blambangan. Mereka mengibarkan bendera putih. Mereka bukan tentara. Mereka tidak bersenjata. Serta merta, kedatangan mereka dihadang oleh pasukan Majapahit. Dan mereka tidak diperkenankan memasuki kota. Prajurid Majapahit, siap tempur.
Namun, Sunan Kalijaga menunjukkan siapa dirinya. Dia meminta kepada kepala prajurid agar menyampaikan pesan kepada Prabhu Brawijaya, bahwasanya dia, Raden Sahid atau Sunan Kalijaga, datang sebagai duta dan memohon menghadap.
Ketegangan terjadi. Rombongan kecil ini diujung tanduk. Nyawa mereka terancam. Namun mereka yakin, prajurid Majapahit bisa membedakan, mana musuh dalam medan laga dan mana musuh dalam status duta. Mereka tidak akan berani mencelakai seorang duta.
Ketegangan sedikit mencair manakala ada pesan dari Sang Prabhu yang mengabulkan permohonan Sunan Kalijaga untuk menghadap kepada beliau. Prabhu Brawijaya tahu bagaimana menghormati seorang duta. Prabhu Brawijaya-pun tahu dari laporan para pasukan Sandhi (Intelejen) bahwa Sunan Kalijaga bersama para pengikutnya, tidak ikut melakukan penyerangan ke Majapahit.
Sunan Kalijaga beserta rombongan bisa bernafas lega. Mereka segera menghadap Prabhu Brawijaya dengan pengawalan yang sangat ketat sekali. Sembari memegang persenjataan lengkap dan siap digunakan, para prajurid Bhayangkara menyambut kedatangan Sunan Kalijaga. Mereka mengapitnya. Sunan Kalijaga diperkenankan masuk. Beberapa santrinya disuruh menunggu diluar.
Prabhu Brawijaya, didampingi para penasehat beliau yang terdiri dari para Pandhita Shiva dan Wiku Buddha, juga Sabdo Palon dan Naya Genggong, nampak telah menunggu kedatangan Sunan Kalijaga. Begitu ada dihadapan Sang Prabhu, Sunan Kalijaga menghaturkan hormat.
Prabhu Brawijaya menanyakan maksud kedatangan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga mengatakan bahwa dia adalah duta Raden Patah sekaligus Nyi Ageng Ampel. Sunan Kalijaga menceritakan segalanya dari awal hingga akhir. Bahkan dia menceritakan pula kondisi Majapahit. Prabhu Brawijaya meneteskan air mata mendengar banyak penduduk yang harus meregang nyawa karena kepicikan, mendengar Keraton megah kebanggaan Nusantara dibumi hanguskan, mendengar tempat-tempat suci hancur rata dengan tanah.
Seluruh yang hadir merasa sedih, marah, geram, semua bercampur aduk menjadi satu.
Dan manakala Sunan Kalijaga mengahturkan tujuan sebenarnya dia menjadi duta, yaitu agar Prabhu Brawijaya berkenan kembali memegang tampuk pemerintahan di Majapahit, seketika ssemua yang hadir memincingkan mata.Seolah mendengarkan kalimat yang tidak bisa dicerna.
Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau meminta nasehat. Beberapa penasehat mengusulkan agar hal itu tidak dilakukan, karena sama saja menerima suatu penghinaan. Dinasti Majapahit, bisa kembali berkuasa hanya karena kebaikan hati orang-orang Islam. Tidak hanya itu saja, wibawa Sang Prabhu akan jatuh dimata para pendukungnya. Tidak ada artinya tahta yang diperoleh dari belas kasihan musuh. Masyarakat Majapahit akan memandang rendah pemimpin mereka yang mau menerima tahta seperti itu. Selama ini, Raja-Raja Majapahit, tidak pernah melakukan itu. Bila wibawa Sang Prabhu telah jatuh, dengan sendirinya, para pengikut Sang Prabhu akan berani juga bermain-main dengan Sang Prabhu kelak. Hukum tidak akan dipatuhi. Para pembangkang akan muncul dimana-mana bak jamur tumbuh dimusim penghujan. Dan lagi, apakah Sang Prabhu tidak malu menerima tahta dari anaknya sendiri?
Sebaiknya Sang Prabhu tidak menerima tawaran itu.
Sang Prabhu menghela nafas.
Sunan Kalijaga mohon bicara. Apabila memang Sang Prabhu tidak mau menerima tahta Majapahit dari tangan Raden Patah, maka seyogyanya Sang Prabhu mempertimbangkan kembali jika hendak mendapatkannya dengan jalan merebut. Sebab, bila hal itu sampai terjadi, tidak bisa dibayangkan, tanah Jawa akan banjir darah. Dukungan kekuatan militer bagi Sang Prabhu akan datang dari segenap pelosok Nusantara, tidak bakalan tanggung-tanggung lagi. Jawa akan semakin membara bila seluruh Nusantara akan bangkit. Pembunuhan yang lebih besar dan mengerikan akan terjadi.
Sang Prabhu Brawijaya bagaikan disodori buah simalakama, dimakan mati tidak dimakan pun mati.
Sejenak, Sang Prabhu berunding dengan para penasehat beliau yang terdiri dari para ahli hukum dan agamawan. Sejurus kemudian, beliau menyatakan kepada Sunan Kalijaga hendak merundingkan hal ini dengan para penasehat lebih dalam lagi. Dan Sunan Kalijaga diperbolehkan menghadap esok hari lagi. Sunan Kalijaga dan seluruh rombongannya diberikan tempat bermalam, dengan pengawalan ketat.
Keesokan harinya, Sunan Kalijaga dipanggil menghadap. Prabhu Brawijaya memutuskan, untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar lagi, beliau tidak akan mengadakan gerakan perebutan tahta kembali. Lega Sunan Kalijaga mendengarnya.
Namun apa yang akan dilakukan Sang Prabhu agar seluruh putra-putra beliau mau merelakan tahta diduduki Raden Patah? Begitu Sunan Kalijaga meminta kejelasan langkah selanjutnya. Sang Prabhu mengatakan, beliau akan mengeluarkan maklumat kepada seluruh putra-putra beliau untuk bersikap sama seperti dirinya. Untuk berjiwa besar memberikan kesempatan bagi Raden Patah memegang tampuk kekuasaan. Terutama kepada keturunan beliau di Pengging, maklumat ini benar-benar harus dipatuhi. Semua sudah paham, yang berhak mewarisi tahta Majapahit sebenarnya adalah keturunan di Pengging.
Kini, Sang Prabhu yang mempertanyakan jaminan kebebasan beragama kepada Sunan Kalijaga, apakah Demak Bintara bisa memberikan wilayah-wilayah otonomi khusus bagi para penguasa daerah yang mayoritas masyarakatnya tidak beragama Islam? Bisakah Demak Bintara sebijak Majapahit dulu? Bukankah keyakinan yang dianut Raden Patah menganggap semua yang diluar keyakinan mereka adalah musuh?
Sunan Kalijaga terdiam. Dan setelah berfikir barang sejenak, Sunan Kalijaga betjanji akan ikut andil menentukan arah kebijakan pemerintahan Demak Bintara. Dan itu berarti, mulai saat ini, dia harus ikut terjun kedunia politik. Dunia yang dihindarinya selama ini ( Tahta Kadipaten Tuban yang diserahkan kepadanya, dia berikan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya Dewi Rasa Wulan : Damar Shashangka).
Prabhu Brawijaya bernafas lega. Dia percaya pada sosok Raden Sahid atau Sunan Kalijaga ini.
Sunan Kalijaga menambahkan, Sang Prabhu seyogyanya kembali ke Trowulan. Tidak usah meneruskan menyeberang ke pulau Bali. Sebab dengan adanya Sang Prabhu di Trowulan, para putra dan masyarakat tahu kondisi beliau. Tahu bahwasanya beliau baik-baik saja. Sehingga seluruh pendukung beliau akan merasa tenang.
Kembali Sang Prabhu berunding dengan para penasehat sejenak Kemudian beliau memeberikan jawaban.
Ada beliau di Trowulan ataupun tidak, stabilitas negara sepeninggal beliau tergulingkan dari tahta, mau tidak mau, tetap akan terganggu. Karena para pendukung beliau pasti juga banyak yang belum bisa menerima pemberontakan Raden Patah ini. Namun, jika tidak ada komando khusus dari beliau, hal itu tidak akan menjadi sebuah kekacauan yang besar. Pembangkangan daerah per daerah pasti terjadi. Tapi, Sang Prabhu menjamin, tanpa komando beliau, penyatuan kekuatan Majapahit dari daerah per daerah tidak bakalan terjadi. Dan, beliau tidak perlu pulang ke Trowulan.
Sunan Kalijaga resah. Bila Sang Prabhu ke Bali, Sunan Kalijaga takut beliau akan berubah pikiran begitu melihat betapa militan-nya para pendukung beliau disana. Mau tidak mau, Prabhu Brawijaya harus bisa diusahakan pulang ke Trowulan. Sunan Kalijaga memutar otak.
Sunan Kalijaga tahu, hati Prabhu Brawijaya sangat lembut. Dan kini, Sunan Kalijaga akan berusaha mengetuk kelembutan hati beliau. Sunan Kalijaga memberikan gambaran betapa mengerikannya jika para pendukung beliau benar-benar siap melakukan gerakan besar. Tidak ada jaminan bagi Sang Prabhu sendiri bahwa beliau tidak akan berubah pikiran bila tetap meneruskan perjalanan ke Bali. Sunan Kalijaga memohon, Prabhu Brawijaya harus mengambil jarak dengan para pendukung beliau. Nasib rakyat kecil dalam hal ini dipertaruhkan. Mereka harus lebih diutamakan.
Sunan Kalijaga memberikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika Sang Prabhu tetap hendak ke Bali
Diam-diam, Prabhu Brawijaya berfikir. Diam-diam hati beliau terketuk. Kata-kata Sunan Kalijaga memang ada benarnya. Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau memutuskan pertemuan untuk sementara disudahi. Sunan Kalijaga diminta kembali ketempatnya untuk sementara waktu.
Dan, Prabhu Brawijaya ingin menyendiri. Ingin merenung tanpa mau diganggu oleh siapapun. Ketika malam menjelang, Sang Prabhu memanggil Sabdo Palon dan Naya Genggong. Bertiga bersama-sama membahas langkah selanjutnya.
Dan, ketika malam menjelang puncak, Sabdo Palon dan Naya Genggong berterus terang, Mereka berdua menunjukkan siapa sebenarnya jati dirinya. Diiringi semburat cahaya lembut, Sabdo Palon dan Naya Genggong ‘menampakkan wujudnya yang asli’ kepada Prabhu Brawijaya.
Prabhu Brawijaya terperanjat. Serta merta beliau menghaturkan hormat, bersembah. Kini, malam ini, untuk pertama kalinya, Sang Prabhu Brawijaya bersimpuh. ( Siapa mereka? Masih rahasia : Damar Shashangka).
Sabdo Palon dan Naya Genggong memberikan gambaran apa yang bakal terjadi kelak di Nusantara. Semenjak hari kehancuran Majapahit, ‘kesadaran’ masyarakat Nusantara akan jatuh ketitik yang paling rendah. ‘Kulit’ lebih diagung-agungkan dari pada ‘Isi’. ‘Kebenaran Yang Mutlak’ dianggap sebagai milik golongan tertentu. Dharma diputar balikkan. Sampah-sampah seperti ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun kedepan. Dan bila sudah saatnya, Alam akan memuntahkannya. Alam akan membersihkannya.
Nusantara akan terguncang. Gempa Bumi, banjir bandang, angin puting beliung, ombak samudera naik ke daratan, gunung berapi memuntahkan laharnya berganti-gantian, musibah silih berganti, datang dan pergi. Bila waktu itu tiba, Alam telah melakukan penyeleksian. Alam akan memilih mereka-mereka yang ‘berkesadaran tinggi’. Yang ‘kesadarannya masih rendah’, untuk sementara waktu disisihkan dahulu atau akan dilahirkan ditempat lain diluar Nusantara. Bila saat itu sudah terjadi, Sabdo Palon dan Naya Genggong akan muncul lagi, kembali ke Nusantara. Sabdo Palon dan Naya Genggong akan ‘merawat tumbuhan kesadaran’ dari mereka-mereka yang terpilih. Sabdo Palon dan Naya Genggong akan menjaga ‘tumbuhan Buddhi’ yang mulai bersemi itu. Itulah saatnya, agama Buddhi, agama Kesadaran akan berkembang biak di Nusantara. Dan Nusantara, pelan tapi pasti, akan dapat meraih kejayaannya kembali.
Memang sudah menjadi garis karma, kehendak Hyang Widdhi Wasa, mereka-mereka saat ini berkuasa di Nusantara. Prabhu Brawijaya tidak ada gunanya mempertahankan Shiva Buddha. Prabhu Brawijaya lebih baik menuruti kehendak mereka-mereka yang tengah berkuasa. Kelak, Prabhu Brawijaya juga akan lahir lagi, lima ratus tahun kemudian, untuk ikut menyaksikan berseminya agama Buddhi.
Menangislah Prabhu Brawijaya. Semalaman beliau menangis. Semua rahasia masa depan Nusantara, dijabarkan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Keesokan harinya, beliau memanggil Sunan Kalijaga. Dihadapan seluruh yang hadir, beliau menyatakan hendak kembali ke Trowulan. Dan yang lebih mengagetkan, beliau menyatakan masuk Islam demi menjaga stabilitas negara.
Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir terperangah mendengar keputusan Sang Prabhu. Beberapa penasehat, pejabat dan kepala pasukan Bhayangkara, bersujud sambil menangis haru. Mereka memohon agar Sang Prabhu mencabut kembali sabda yang telah beliau keluarkan. Situasi tegang, sedih, bingung…
Sabdo Palon dan Naya Genggong angkat bicara. Dihadapan Prabhu Brawijaya, Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir, mereka mengucapkan sebuah sumpah, bahwasanya lima ratus tahun kemudian, mereka berdua akan kembali. ( Inilah yang lantas dikenal dengan JANGKA SABDO PALON NAYA GENGGONG oleh masyarakat Jawa sampai sekarang. Baca catatan saya tentang SERAT SABDO PALON. : Damar Shashangka).
Selesai mengucapkan sumpah mereka, Sabdo Palon dan Naya Genggong mencium tangan Sang Prabhu Brawijaya. Sabdo Palon berbisik :
“Lima ratus tahun lagi, ananda akan bertemu dengan kami kembali. Sekarang sudah saatnya kita berpisah. Selamat tinggal ananda.”
Sabdo Palon dan Naya Genggong menyembah hormat, lalu bergegas keluar dari ruang pertemuan. Semua yang hadir masih bingung melihat peristiwa ini. Diantara mereka, ada beberapa yang ikut menyembah, melepas lencana mereka dan memohon maaf kepada Sang Prabhu untuk undur diri.
Bagaikan tugu dari batu, Sang Prabhu Brawijaya diam tak bergerak. Tinggal beberapa orang yang ada didepan beliau. Beberapa pasukan Bhayangkara yang memutuskan untuk setia mengiringi Sang Prabhu. Juga ada Sunan Kalijaga, yang masih pula ada di sana.
Setelah kediaman beliau yang lama, Sunan Kalijaga memberanikan diri menanyakan keputusan Sang Prabhu tersebut. Sang Prabhu menjawab, semua memang harus terjadi. Mendengar sabda Sang Prabhu, Sunan Kalijaga segera mendekat kepada beliau.
Sunan Kalijaga memohon dengan segala hormat, apabila Sang Prabhu benar-benar ikhlas menyerahkan tahta kepada Raden Patah, maka beliau harus rela melepaskan mahkota beserta pakaian kebesaran beliau sebagai Raja Diraja. Sejenak Sang Prabhu masih ragu, namun ketika sekali lagi Sunan Kalijaga memohon keikhlasan beliau, maka Sang Prabhu menyetujuinya. ( Inilah simbolisasi rambut beliau dipotong oleh Sunan Kalijaga. Pada kali pertama, rambut beliau tidak bisa putus. Dan pada kali kedua, barulah bisa putus : Damar Shashangka.)
Tidak menunggu waktu lama, berangkatlah rombongan Prabhu Brawijaya yang terdiri dari sedikit pasukan Bhayangkara dan Sunan Kalijaga beserta para santri menuju Trowulan. Sesampainya di Trowulan, masyarakat Majapahit menyambut dengan penuh suka cita. Keadaan mulai berangsur membaik ketika Sang Prabhu Brawijaya mengeluarkan maklumat agar semua pertikaian dihentikan. Disusul kemudian, keluar maklumat serupa dari Demak Bintara yang memfatwakan, peperangan sudah berhenti, diharamkan membunuh mereka yang telah kalah perang. Kondisi anarkhisme, berangsur-angsur menjadi kondusif. Stabilitas untuk sementara waktu kembali normal. Stabilitas yang dibawa dari Blambangan ini, membuat Sunan Kalijaga, sebagai suatu kenangan keberhasilan mendamaikan kedua belah pihak, memberikan nama baru kepada Blambangan, yaitu Banyuwangi. ( Disimbolkan, Sunan Kalijaga membawa sepotong bambu kemudian dia mengisinya dengan air kotor waktu masih di Blambangan. Begitu sesampainya di Trowulan, air dalam bambu itu berubah menjadi jernih dan wangi. Bambu adalah lambang dari sebuah negara, air kotor yang diambil Sunan Kalijaga adalah masalah yang dibuat oleh orang-orang yang sekeyakinan dengan Sunan Kalijaga sendiri. Air yang berubah jernih setibanya di Trowulan melambangkan kembalinya stabilitas negara.: Damar Shashangka).
Bergiliran, para putra Prabhu Brawijaya datang ke Trowulan. Adipati Handayaningrat dari Pengging beserta Ki Ageng Pengging putranya. Raden Bondhan Kejawen dari Tarub. Raden Bathara Katong dari Ponorogo. Raden Lembu Peteng dari Madura, dan masih banyak lagi. Tak ketinggalan Raden Patah sendiri.
Dihadapan seluruh putra-putra beliau, Sunan Kalijaga menyampaikan amanat Sang Prabhu agar pertikaian dihentikan. Dan agar Raden Patah, diikhlaskan menduduki tahta Demak Bintara. Seluruh putra-putra beliau, wajib menerima dan mentaati keputusan ini.
Kepada Sunan Kalijaga, Sang Prabhu Brawijaya memberikan amanat untuk mendampingi keturunan beliau yang ada di Tarub yaitu Raden Bondhan Kejawen dan keturunan beliau yang ada di Pengging. Terutama kepada Raden Bondhan Kejawen, Prabhu Brawijaya telah mengetahuinya dari Sabdo Palon dan Naya Genggong, bahwa kelak, dari keturunannya, akan lahir Raja-Raja besar di Jawa. Dinasti Raden Patah dan dinasti dari Pengging, tidak akan bertahan lama.
Prabhu Brawijaya bahkan membisikkan kepada Sunan Kalijaga, bahwa Demak hanya akan dipimpin oleh tiga orang Raja. Setelah itu akan digantikan oleh keturunan dari Pengging, cuma satu orang Raja. Lantas digantikan oleh keturunan dari Tarub. Banyak Raja akan terlahir dari keturunan dari Tarub.
(Ramalan ini terbukti, Demak hanya diperintah oleh tiga orang Sultan. Yaitu Raden Patah, Sultan Yunus lalu Sultan Trenggana. Setelah itu terjadi pertumpahan darah antara Kubu Abangan dengan Kubu Putihan. Dan Jaka Tingkir tampil kemuka. Jaka Tingkir adalah keturunan dari Pengging. Tapi tidak lama, keturunan dari Tarub, yaitu Danang Sutawijaya, yang kelak dikenal dengan gelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mentaram, akan tampil kemuka menggantikan keturunan Pengging. Panembahan Senopati inilah pendiri Kesultanan Mataram Islam, yang sekarang terpecah menjadi Jogjakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman amar Shashangka.)
Tidak berapa lama kemudian, Prabhu Brawijaya jatuh sakit. Dalam kondisi akhir hidupnya, Sunan Kalijaga dengan setia mendampingi beliau. Kepada Sunan Kalijaga, Prabhu Brawijaya berwasiat agar dipusara makam beliau kelak apabila beliau wafat, jangan dituliskan nama beliau atau gelar beliau sebagai Raja terakhir Majapahit. Melainkan beliau meminta agar dituliskan nama Putri Champa saja. Ini sebagai penanda kisah akhir hidup beliau, juga kisah akhir Kerajaan Majapahit yang terkenal dipelosok Nusantara. Bahwasanya, beliau telah ditikam dari belakang oleh permaisurinya sendiri Dewi Anarawati atau Putri Champa dan beliau diperlakukan dan tidak dihargai lagi sebagai seorang laki-laki oleh Raden Patah, putranya sendiri.
Sunan Kalijaga sedih mendapat wasiat seperti itu. Namun begitu beliau wafat, wasiat itu-pun dijalankan.
Seluruh masyarakat berkabung. Seluruh putra dan putri beliau berkabung.
Dan kehancuran Majapahit. Kehancuran Kerajaan Besar ini dikenang oleh masyarakat Jawa dengan kalimat sandhi yang menyiratkan angka-angka tahun sebuah kejadian (Surya Sengkala), yaitu SIRNA ILANG KERTANING BHUMI. SIRNA berarti angka ’0′. ILANG berarti angka ’0′. KERTA berarti angka ’4′ dan BHUMI berarti angka ’1′. Dan apabila dibalik, akan terbaca 1400 Saka atau 1478 Masehi. Kalimat KERTAning BHUMI diambil dari nama asli Prabhu Brawijaya, yaitu Raden Kertabhumi. Inilah kebiasaan masyarakat Jawa yang sangat indah dalam mengenang sebuah kejadian penting.
Dan Raden Patah, memindahkan pusat pemerintahan ke Demak Bintara. Dia dikukuhkan oleh Dewan Wali Sangha sebagai Sultan dengan gelar Sultan Syah ‘Alam Akbar Jim-Bun-ningrat.
Keinginan orang-orang Islam terwujud. Demak Bintara menjadi ke-Khalifah-an Islam pertama di Jawa. Tapi, pemberontakan dari berbagai daerah, tidak bisa diatasi oleh Pemerintahan Demak. Wilayah Majapahit yang dulu luas, kini terkikis habis. Praktis, wilayah Demak Bintara hanya sebatas Jawa Tengah saja. Kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian seolah menjauh dari Demak Bintara. Darah terus tertumpah tiada habisnya. Perebutan kekuasaan silih berganti. Nusantara semakin terpuruk. Semakin tenggelam dipeta perpolitikan dunia.
Disusul kemudian, pada tahun 1596 Masehi, Belanda datang ke Jawa. Nusantara semakin menjadi bangsa tempe! Semenjak Majapahit hancur, hingga sekarang, kemakmuran hanya menjadi mimpi belaka.
Kapan Majapahit bangkit lagi? Kapan Nusantara akan disegani sebagai Macan lagi?
Menangislah membaca sejarah bangsa kita. Menangislah kalian karena kalian sendiri yang telah lalai terlalu bangga membawa masuk ideologi bangsa lain yang tidak sesuai dengan tanah Nusantara.
Sandhya Kalaning Majapahit. Majapahit hancur sudah. Sinar Kejayaan Nusantara kini telah meredup, bagai matahari yang tenggelam diufuk barat.
(Tamat)
*(Damar Shashangka) diolah dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment