Misi Peng-ISLAM-an Nusantara (Bag-3)
Kubu Abangan
Seorang ulama berdarah Majapahit, yang lahir di Kadipaten Tuban, yang
sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa yaitu Sunan Kalijaga,
mati-matian membendung gerakan militansi Islam. Beliau seringkali
mengingatkan, bahwasanya membangun akhlaq lebih penting daripada
mendirikan sebuah Negara Islam.
Sunan Kalijaga adalah putra Adipati
Tuban, Arya Teja. Adipati Arya Teja adalah keturunan Senopati Agung
Majapahit masa lampau, Adipati Arya Ranggalawe yang berhasil memimpin
pasukan Majapahit mengalahkan pasukan Tiongkok Mongolia yang hendak
menguasai Jawa (Adipati Arya Ranggalawe adalah salah satu tangan kanan
Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.)
Adipati Arya Teja
berhasil di Islamkan oleh Sunan Ampel. Bahkan kakak kandung beliau
dinikahi Sunan Ampel. Dari pernikahan Sunan Ampel dengan kakak kandung
Adipati Arya Teja, lahirlah Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Lamongan,
dan lima putri yang lain (seperti yang telah saya tulis pada bagian
pertama : Damar Shashangka ).
Para pengikut Sunan Giri yang tidak
sepaham dengan para pengikut Sunan Kalijaga, sering terlibat
konflik-konflik terselubung. Di pihak Sunan Giri, banyak ulama yang
bergabung, seperti Sunan Derajat, Sunan Lamongan, Sunan Majagung (
sekarang dikenal dengan Sunan Bejagung), Sunan Ngundung dan putranya
Sunan Kudus, dll.
Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan Murya (sekarang dikenal dengan nama Sunan Muria), Syeh Jangkung, Syeh Siti Jenar, dll.
Khusus mengenai Syeh Siti Jenar atau juga disebut Sunan Kajenar, beliau
adalah ulama murni yang menekuni spiritualitas. Beliau sangat-sangat
tidak menyetujui gerakan kaum Putih yang merencanakan berdirinya Negara
Islam Jawa.
Pertikaian ini mencapai puncaknya ketika Syeh Siti
Jenar, menyatakan keluar dari Dewan Wali Sangha. Syeh Siti Jenar
menyatakan terpisah dari Majelis Ulama Jawa itu. Beliau tidak mengakui
lagi Sunan Ampel sebagai seorang Mufti.
Didaerah Cirebon, Syeh Siti Jenar banyak memiliki pengikut.
Manakala menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat dan kedudukan
Mufti digantikan oleh Sunan Giri, keberadaan Syeh Siti Jenar dianggap
sangat membahayakan Islam.
Semua dinamika ini, terus diamati oleh
intelejen Majapahit. Gerakan-gerakan militansi Islam mulai merebak
dipesisir utara Jawa. Mulai Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten.
Para pejabat daerah telah mengirimkan laporan kepada Prabhu Brawijaya.
Tapi Prabhu Brawijaya tetap yakin, semua masih dibawah kontrol beliau.
Keturunan di Pengging
Pernikahan Dewi Anarawati dengan Prabhu Brawijaya semakin dikukuhkan
dengan diangkatnya putri Champa ini sebagai permaisuri. Keputusan yang
sangat luar biasa ini menuai protes. Kesuksesan besar bagi Dewi
Anarawati membuat para pejabat Majapahit resah. Bisa dilihat jelas
disini, bila kelak Prabhu Brawijaya wafat, maka yang akan
menggantikannya sudah pasti putra dari seorang permaisuri. Dan sang
permaisuri beragama Islam. Dapat dipastikan, Majapahit akan berubah
menjadi Negara Islam.
Dari luar Istana, Sunan Giri menyusun strategi
memperkuat barisan militansi Islam. Dari dalam Istana, Dewi Anarawati
mempersiapkan rencana yang brilian. Jika Sunan Giri gagal merebut
Majapahit dengan cara pemberontakan, dari dalam istana, Majapahit sudah
pasti bisa dikuasai oleh Dewi Anarawati. Bila rencana pertama gagal,
rencana kedua masih bisa berjalan.
Tapi ternyata, apa yang
diharapkan Dewi Anarawati menuai hambatan. Dari hasil perkawinannya
dengan Prabhu Brawijaya, lahirlah tiga orang anak. Yang sulung seorang
putri, dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa Kadipaten
Pengging ( sekitar daerah Solo, Jawa Tengah sekarang), putra kedua
bernama Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura, dan yang ketiga Raden
Gugur, masih kecil dan tinggal di Istana. (Kelak, Raden Gugur inilah
yang terkenal dengan julukan Sunan Lawu, dipercaya sebagai penguasa
mistik Gunung Lawu, yang terletak didaerah Magetan, hingga sekarang :
Damar Shashangka.)
Hambatan yang dituai Dewi Anarawati adalah, putri
sulungnya tidak tertarik memeluk Islam, begitu juga dengan Raden Gugur.
Hanya Raden Lembu Peteng yang mau memeluk Islam.
Dari pernikahan
putri sulung Dewi Anarawati dengan Adipati Handayaningrat IV, lahirlah
dua orang putra, Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Keduanya juga tidak
tertarik memeluk Islam. Si sulung bahkan pergi meninggalkan kemewahan
Kadipaten dan menjadi seorang pertapa di Gunung Merapi ( didaerah
Jogjakarta sekarang). Sampai sekarang, petilasan bekas pertapaan beliau
masih ada dan berubah menjadi sebuah makam yang seringkali diziarahi.
Otomatis, yang kelak menggantikan Adipati Handayaningrat IV sebagai
Adipati Pengging, bahkan juga jika Prabhu Brawijaya mangkat, tak lain
adalah adik Kebo Kanigara, yaitu Kebo Kenanga. Kelak, dia akan mendapat
limpahan tahta Pengging maupun Majapahit! Inilah pewaris sah tahta
Majapahit.
Keno Kenanga lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging.
Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan Syeh Siti Jenar. Keduanya, yang
satu beragama Shiva Buddha dan yang satu beragama Islam, sama-sama
tertarik mendalami spiritual murni. Mereka berdua seringkali berdiskusi
tentang ‘Kebenaran Sejati’. Dan hasilnya, tidak ada perbedaan diantara
Shiva Buddha dan Islam.
Namun kedekatan mereka ini disalah artikan
oleh ulama-ulama radikal yang masih melihat kulit, masih melihat
perbedaan. Syeh Siti Jenar dituduh mendekati Ki Ageng Pengging untuk
mencari dukungan kekuatan. Dan konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan
sebagai murid Syeh Siti Jenar yang hendak melakukan pemberontakan ke
Demak Bintara. Padahal Ki Ageng Pengging tidak tertarik dengan tahta.
Walaupun sesungguhnya, memang benar bahwa beliau lah yang lebih berhak
menjadi Raja Majapahit kelak ketika Majapahit berhasil dihancurkan oleh
Raden Patah Dan juga, Ki Ageng Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau
dengan Syeh Siti Jenar hanyalah seorang ‘sahabat spiritual’. Hubungan
seperti ini, tidak akan bisa dimengerti oleh mereka yang berpandangan
dangkal. Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar adalah seorang
spiritualis sejati. Kelak, setalah Majapahit berhasil dihancurkan para
militant Islam, dua orang sahabat ini menjadi target utama untuk
dimusnahkan. Baik Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging gugur karena
korban kepicikan.
Dan, nama Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar
dibuat hitam. Sampai sekarang, nama keduanya masih terus dihakimi
sebagai dua orang yang sesat dikalangan Islam. Namun bagaimanapun juga,
keharuman nama keduanya tetap terjaga dikisi-kisi hati tersembunyi
masyarakat Jawa, walaupun tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya
secara terang-terangan. Ironis.
Dari Ki Ageng Pengging inilah, lahir
seorang tokoh terkenal di Jawa. Yaitu Mas Karebat atau Jaka Tngkir. Dan
kelak menjadi Sultan Pajang setelah Demak hancur dengan gelar Sultan
Adiwijaya.
Keturunan di Tarub
Dikisahkan secara vulgar, suatu
ketika Prabhu Brawijaya terserang penyakit Rajasinga atau syphilis. Para
Tabib Istana sudah bekerja keras berusaha menyembuhkan beliau, tapi
penyakit beliau tetap membandel.
Atas inisiatif beliau sendiri,
setiap malam beliau tidur diarel Pura Keraton. Memohon kepada Mahadewa
agar diberi kesembuhan. Dan konon, setelah beberapa malam beliau
memohon, suatu malam, beliau mendapat petunjuk sangat jelas.
Dalam keheningan meditasinya, lamat-lamat beliau ‘mendengar’ suara.
“Jika engkau ingin sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita berdarah
Wandhan. Dan, inilah kali terakhir engkau boleh menikah lagi.”
Mendapat ‘wisik’ yang sangat jelas seperti itu, Prabhu Brawijaya
termangu-mangu. Dan beliau teringat, di Istana ada beberapa pelayan
Istana yang berasal dari daerah Wandhan ( Bandha Niera, didaerah
Sulawesi ).
Keesokan harinya, beliau memanggil para pelayan istana
dari daerah Wandhan. Beliau memilih yang paling cantik. Ada seorang
pelayan dari Wandhan, bernama Dewi Bondrit Cemara, sangat cantik.
Diambillah dia sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara
dikenal dengan nama Dewi Wandhan Kuning.
Begitu menikahi Dewi
Wandhan Kuning, dan setelah melakukan senggama beberapa kali, penyakit
Sang Prabhu berangsur-angsur sembuh.
Namun Sang Prabhu merasa
perkawinannya dengan Dewi Wandhan Kuning harus dirahasiakan. Karena
apabila kabar ini terdengar sampai ke daerah Wandhan, pasti para
bangsawan Sulawesi merasa terhina oleh sebab Sang Prabhu bukannya
mengambil salah seorang putri bangsawan Wandhan, tapi malah mengambil
seorang pelayan.
Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga akhirnya
melahirkan seorang anak laki-laki, putra ini lantas dititipkan kepada
Kepala Urusan Sawah Istana, Ki Juru Tani. ( Waktu itu, Istana memiliki
areal pesawahan khusus yang hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh
kerabat Istana.)
Anak ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen ( Bondhan perubahan dari kata Wandhan. Kejawen berarti yang telah berdarah Jawa.)
Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki Juru Tani. Dan manakala sudah
berangsur dewasa, atas perintah Sang Prabhu, Raden Bondhan Kejawen
dikirimkan kepada Ki Ageng Tarub, seorang Pandhita Shiva yang memiliki
Ashrama di daerah Tarub ( sekitar Purwodadi, Jawa Tengah sekarang.)
Jika anda pernah mendengar legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan, maka
inilah dia. Jaka Tarub yang konon mencuri selendang bidadari Dewi
Nawangwulan dan lantas ditinggal oleh sang bidadari setelah sekian lama
menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang menyembunyikan selendang
itu adalah Jaka Tarub sendiri. ( Saya tidak akan membedah simbolisasi
legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic yang saya bahas :
Damar Shashangka).
Jaka Tarub inilah yang lantas dikenal dengan nama
Ki Ageng Tarub. Menginjak dewasa, Raden Bondhan Kejawen dinikahkan
dengan Dewi Nawangsih, putri tunggal Ki Ageng Tarub. Dan kelak Raden
Bondhan Kejawen bergelar Ki Ageng Tarub II.
Dari hasil perkawinan
Raden Bondhan Kejawen dengan Dewi Nawangsih, lahirlah Raden Getas
Pandhawa. Dari Raden Getas Pandhawa, lahirlah Ki Ageng Sela yang hidup
sejaman dengan Sultan Trenggana, Sultan Demak ketiga. Ki Ageng Sela
inilah tokoh yang konon bisa memegang petir sehingga menggegerkan
seluruh Kesultanan Demak ( simbolisasi lagi, kapan-kapan saya ulas :
Damar Shashangka).
Sampai sekarang nama Ki Ageng Sela terkenal di
tengah masyarakat Jawa. Ki Ageng Sela inilah keturunan Tarub yang mulai
beralih memeluk Islam. Beliau berguru kepada Sunan Kalijaga. Perpindahan
agama ini berjalan dengan damai. Nama Islam beliau adalah Ki Ageng
Abdul Rahman.
Dari Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Mangenis Sela.
Dari Ki Ageng Mangenis Sela, lahirlah Ki Ageng Pamanahan. Dan dari Ki
Ageng Pamanahan lahirlah Panembahan Senopati Ing Ngalaga, tokoh terkenal
pendiri dinasti Mataram Islam dikemudian hari. ( Panembahan Senopati
Ing Ngalaga Mataram inilah leluhur Para Sultan Kasultanan Jogjakarta,
Para Sunan Kasunanan Surakarta (Solo), Pakualaman dan Mangkunegaran
sekarang.)
Peng-Islam-an keturunan Raden Bondhan Kejawen, berlangsung dengan damai.
Raden Patah.
Ingat putri China Tan Eng Kian yang dinikahi Adipati Arya Damar di Palembang?
Dari hasil pernikahan dengan Prabhu Brawijaya, Tan Eng Kian memiliki
seorang putra bernama Tan Eng Hwat. Dikenal juga dengan nama muslim
Raden Hassan. Dari perkawinan Tan Eng Kian dengan Arya Damar sendiri,
lahirlah seorang putra bernama Kin Shan, dikenal dengan nama muslim
Raden Hussein.
Sejak kecil, Raden Hassan dan Raden Hussein dididik
secara Islam oleh ayahnya Arya Damar. Menjelang dewasa, Raden Hassan
memohon ijin kepada ibunya untuk pergi ke Jawa. Dia berkeinginan untuk
bertemu dengan ayah kandungnya, Prabhu Brawijaya.
Tan Eng Kian tidak
bisa menghalangi keinginan putranya. Dari Palembang, Raden Hassan
bertolak ke Jawa. Sampailah ia di pelabuhan Gresik yang ramai. Melihat
keadaan Gresik yang hiruk-pikuk, Raden Hassan kagum. Dia bisa
membayangkan bagaimana besarnya kekuasaan Majapahit. Menilik di Gresik
banyak orang muslim, Raden Hassan tertarik.
Dan dengar-dengar, ada
Pesantren besar disana. Pesantren Giri. Raden Hassan memutuskan untuk
bertandang ke Giri. Bertemulah dia dengan Sunan Giri. Sunan Giri senang
melihat kedatangan Raden Hassan setelah mengetahui dia adalah putra
Prabhu Brawijaya yang lahir di Palembang. Sunan Giri seketika melihat
sebuah peluang besar.
Di Giri, Raden Hassan memperdalam
ke-Islaman-nya. Disana, Raden Hassan mulai tertarik dengan ide-ide
ke-Khalifah-an Islam. Dan militansi Raden Hassan mulai terbentuk.Ada
kesepakatan pemahaman antara Raden Hassan dengan Sunan Giri.
Dari
Sunan Giri, Raden Hassan memperoleh ide untuk meminta daerah otonomi
khusus kepada ayahnya, Prabhu Brawijaya. Bila disetujui, hendaknya Raden
Patah memilih daerah di pesisir Jawa bagian tengah. Jika itu terwujud,
keberadaan daerah otonomi didaerah pesisir utara Jawa bagian tengah,
akan menjadi penghubung pergerakan militant Islam dari Jawa Timur dan
Jawa Barat di Cirebon.
Cirebon, kini tumbuh pesat sebagai pusat
kegiatan Islam dibawah pimpinan Pangeran Cakrabhuwana, putra kandung
Prabhu Siliwangi, Raja Pajajaran. (Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah belum datang dari Mesir ke Cirebon. Dia datang pada tahun
1475 Masehi. Pada bagian selanjutnya akan saya ceritakan : Damar
Shashangka.)
Setelah dirasa cukup, Raden Hassan melanjutkan
perjalanan ke Pesantren Ampel dengan diiringi beberapa santri Sunan
Giri. Disana dia disambut suka cita oleh Sunan Ampel. Disana, dia diberi
nama baru oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Abdul Fattah yang lantas
dikenal masyarakat Jawa dengan nama Raden Patah.
Selesai bertandang
di Ampel, Raden Hassan yang kini dikenal dengan nama Raden Patah
melanjutkan perjalanan ke ibu kota Negara Majapahit. Dia yang semula
hanya berniat untuk bertemu dengan ayahnya, sekarang dia telah membawa
misi tertentu.
Betapa suka cita Prabhu Brawijaya mendapati putra
kandungnya telah tumbuh dewasa. Dan manakala, Raden Patah memohon
anugerah untuk diberikan daerah otonom, Prabhu Brawijaya mengabulkannya.
Raden Patah meminta daerah pesisir utara Jawa bagian tengah. Dia
memilih daerah yang dikenal dengan nama Glagah Wangi.
Prabhu
Brawijaya menyetujui permintaan Raden Patah. Dia mendanai segala
keperluan untuk membangun daerah baru. Raden Patah, dengan disokong
tenaga dan dana dari Majapahit, berangkat ke Jawa Tengah. Di daerah
pesisir utara, didaerah yang dipenuhi tumbuhan pohon Glagah, dia
membentuk pusat pemerintahan Kadipaten baru. Begitu pusat Kadipaten
dibentuk, dinamailah tempat itu Demak Bintara. Dan Raden Patah,
dikukuhkan oleh Sang Prabhu Brawijaya sebagai penguasa wilayah otonom
Islam baru disana.
Demak Bintara berkembang pesat. Selain menjadi
pusat kegiatan politik, Demak Bintara juga menjadi pusat kegiatan
keagamaan. Demak Bintara menjadi jembatan penghubung antara barat dan
timur pesisir utara Jawa.
Dipesisir utara Jawa, gerakan-gerakan
militant Islam mulai menguat. Sayang, fenomena itu tetap dipandang
sepele oleh Prabhu Brawijaya. Beliau tetap yakin, dominasi Majapahit
masih mampu mengontrol semuanya. Padahal para pejabat daerah yang dekat
dengan pesisir utara sudah melaporkan adanya kegiatan-kegiatan yang
mencurigakan. Pasukan Telik Sandhibaya telah memberikan laporan serius
tentang adanya kegiatan yang patut dicurigai akan mengancam kedaulatan
Majapahit.
Tak lama berselang, Raden Hussein, putra Tan Eng Kian
dengan Arya Damar, menyusul ke Majapahit. Dia mengabdikan diri sebagai
tentara di Majapahit. Raden Hussein tidak terpengaruh ide-ide pendirian
ke-Khalifah-an Islam. Dia diangkat sebagai Adipati didaerah Terung (
Sidoarjo, sekarang ) dengan gelar, Adipati Pecattandha.
Kebaikan
Prabhu Brawijaya sangat besar sebenarnya. Tapi kebaikan yang tidak
disertai kebijaksanaan bukanlah kebaikan. Dan hal ini pasti akan menuai
masalah dikemudian hari. Bibit-bibit itu mulai muncul, tinggal menunggu
waktu untuk pecah kepermukaan.
Dan Prabhu Brawijaya tidak akan pernah menyangkanya
No comments:
Post a Comment