Misi Peng-ISLAM-an Nusantara (Bag-2)
Berdirinya Giri Kedhaton
Blambangan ( Banyuwangi sekarang ), sekitar tahun 1450 Masehi terkena
wabah penyakit. Hal ini dikarenakan ketidaksadaran masyarakatnya yang
kurang mampu menjaga kebersihan lingkungan. Blambangan diperintah oleh
Adipati Menak Sembuyu, didampingi Patih Bajul Sengara.
Wabah
penyakit itu masuk juga ke istana Kadipaten. Putri Sang Adipati, Dewi
Sekardhadhu, jatuh sakit. Ditengah wabah yang melanda, datanglah seorang
ulama dari Samudera Pasai (Aceh sekarang ), yang masih berkerabat dekat
dengan Syeh Ibrahim As-Samarqand, bernama Syeh Maulana Ishaq. Dia ahli
pengobatan. Mendengar Sang Adipati mengadakan sayembara, dia serta merta
mengikutinya. Dan berkat keahlian pengobatan yang dia dapat dari
Champa, sang putri berangsur-angsur sembuh.
Adipati Menak Sembuyu
menepati janji. Sesuai isi sayembara, barangsiapa yang mampu
menyembuhkan sang putri, jika lelaki akan dinikahkan jika perempuan akan
diangkat sebagai saudara, maka, Syeh Maulana Ishaq dinikahkan dengan
Dewi Sekardhadhu.
Namun pada perjalanan waktu selanjutnya,
ketegangan mulai timbul. Ini disebabkan, Syeh Maulana Ishaq, mengajak
Adipati beserta seluruh keluarga untuk memeluk agama Islam.
Ketegangan ini lama-lama berbuntut pengusiran Syeh Maulana Ishaq dari
Blambangan. Perceraian terjadi. Dan waktu itu, Dewi Sekardhadhu tengah
hamil tua. Keputusan untuk menceraikan Dewi Sekardhadhu dengan Syeh
Maulana Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati karena melihat stabilitas
Kadipaten Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah menjadi dua
kubu. Kubu yang mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang tetap
menolak infiltrasi asing ke wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada
ajaran Islam, sedangkan kubu kedua tetap tidak menyetujui masuknya Islam
karena terlalu diskriminatif menurut mereka. Antar kerabat jadi
terpecah belah, saling curiga dan tegang. Ini yang tidak mereka sukai.
Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq, ternyata masalah belum usai. Kubu yang
pro ulama Pasai ini, kini menantikan kelahiran putra sang Syeh yang
tengah dikandung Dewi Sekardhadhu. Sosok Syeh Maulana Ishaq, kini
menjadi laten bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi ketegangan
belum juga bisa diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan, dengan
sangat terpaksa, memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri
kepada saudagar muslim dari Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.
Dalam cerita rakyat dari sumber Islam, konon dikisahkan anak itu
dilarung ketengah laut (meniru cerita Nabi Musa) dengan menggunakan
peti. Konon ada saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar. Kapal
dagangnya tiba-tiba tidak bisa bergerak karena menabrak peti itu. Dan
peti itu akhirnya dibawa naik ke geladak oleh anak buah sang saudagar.
Isinya ternyata seorang bayi.
Sesungguhnya itu hanya cerita kiasan.
Yang terjadi, saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar di Blambangan
diperintahkan untuk menghadap ke Kadipaten menjelang mereka hendak balik
ke Gresik. Inilah maksudnya kapal tidak bisa bergerak. Para saudagar
bertanya-tanya, ada kesalahan apa yang mereka buat sehingga mereka
disuruh menghadap ke Kadipaten? Ternyata, di Kadipaten, Adipati Menak
Sembuyu, dengan diam-diam telah mengatur pertemuan itu. Sang Adipati
memberikan seorang anak bayi, cucunya sendiri, yang lahir dari ayah
seorang muslim. Anak itu dititipkan kepada para saudagar anak buah
saudagar kaya di Gresik yang bernama Nyi Ageng Pinatih, yang seorang
muslim. Adipati Menak Sembuyu tahu telah menitipkan cucunya kepada
siapa. Beliau yakin, cucunya akan aman bersama Nyi Ageng Pinatih. Hanya
dengan jalan inilah, Blambangan dapat kembali tenang.
Putra Syeh Maulana Ishaq ini, lahir pada tahun 1452 Masehi.
Sekembalinya dari Blambangan, para saudagar ini menghadap kepada
majikan mereka, Nyi Ageng Pinatih sembari memberikan oleh-oleh yang
sangat berharga. Seorang anak bayi keturunan bangsawan Blambangan.
Bahkan dia adalah putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang disegani oleh
orang-orang muslim. Nyi Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah
anugerah itu. Diambillah bayi itu, dianggap anak sendiri. Karena bayi
itu hadir seiring kapal selesai berlayar dari samudera, maka bayi itu
dinamakan Jaka Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.
Jaka Samudera dibawa menghadap ke Ampeldhenta menjelang usia tujuh tahun. Dia tinggal disana. Belajar agama dari Sunan Ampel.
Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari Nyi
Ageng Pinatih, maka sosok anak ini sangat dia perhatikan dan
diistimewakan. Sunan Ampel menganggapnya anak sendiri.
Sunan Ampel,
dari hasil perkawinannya dengan kakak kandung Adipati Tuban Arya Teja,
memiliki delapan putra dan putri. Yang penting untuk diketahui adalah
Makdum Ibrahim (Nama Champa-nya : Bong- Ang : kelak terkenal dengan
sebutan Sunan Benang. Lama-lama pengucapannya berubah menjadi Sunan
Bonang ). Yang kedua Abdul Qasim, terkenal kemudian dengan nama Sunan
Derajat. Yang ketiga Maulana Ahmad, yang terkenal dengan nama Sunan
Lamongan, yang keempat bernama Siti Murtasi’ah, kelak dijodohkan dengan
Jaka Samudera, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton
(Sunan Giri), yang kelima putri bernama Siti Asyiqah, kelak dijodohkan
dengan Raden Patah ( Tan Eng Hwat ), putra Tan Eng Kian, janda Prabhu
Brawijaya yang ada di Palembang itu.
Kekuatan Islam dibangun melalui
tali pernikahan. Jaka Samudera, diberi nama lain oleh Sunan Ampel,
yaitu Raden Paku. Kelak dia dikenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton. Dia
adalah santri senior. Sunan Ampel bahkan telah mencalonkan,
mengkaderkan dia sebagai penggantinya kelak bila sudah meninggal.
Sunan Giri sangat radikal dalam pemahaman keagamannya. Setamat berguru
dari Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik. Di Gresik, dia menyatukan
komunitas muslim disana. Dia mendirikan Pesantren. Terkenal dengan nama
Pesantren Giri.
Namun dalam perkembangannya, Pesantren Giri
memaklumatkan lepas dari kekuasaan Majapahit yang dia pandang Negara
kafir. Pesantren Giri berubah menjadi pusat pemerintahan. Maka dikenal
dengan nama Giri Kedhaton ( Kerajaan Giri ). Sunan Giri, mengangkat
dirinya sebagi khalifah Islam dengan gelar Prabhu Satmata ( Penguasa
Bermata Enam. Gelar sindiran kepada Deva Shiva yang cuma bermata tiga ).
Mendengar Gresik melepaskan diri dari pusat kekuasan, Prabhu Brawijaya,
sebagai Raja Diraja Nusantara yang sah, segera mengirimkan pasukan
tempur untuk menjebol Giri Kedhaton. Darah tertumpah. Darah mengalir.
Dan akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan. Kekhalifahan Islam bertama
itu tidak berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit hancur oleh
serangan Demak Bintara, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun 1487
Masehi. ( Sembilan tahun setelah Majapahit hancur pada tahun 1478 Masehi
).
Dari sumber Islam, banyak cerita yang memojokkan pasukan
Majapahit. Konon Sunan Giri berhasil mengusir pasukan Majapahit hanya
dengan melemparkan sebuah kalam atau penanya. Kalam miliknya ini katanya
berubah menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga membuat puyeng
atau munyeng para prajurid Majapahit. Maka dikatakan, ‘kalam’ yang bisa
membuat ‘munyeng’ inilah senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan
nama ‘Kalamunyeng’. Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri,
melalui tulisan-tulisannya yang mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu
mengadakan pemberontakan yang sempat ‘memusingkan’ Majapahit.
Namun,
karena Sunan Ampel meminta pengampunan kepada Prabhu Brawijaya, Sunan
Giri tidak mendapat hukuman. Tapi gerak-geriknya, selalu diawasi oleh
Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit. Inilah kelemahan
Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan bara api kecil yang sebenarnya bisa
membahayakan.
Sabdo Palon dan Naya Genggong sudah mengingatkan agar
seorang yang bersalah harus mendapatkan sangsi hukuman. Karena itulah
kewajiban yang merupakan sebuah janji seorang Raja. Salah satu kewajiban
menjalankan janji suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili
siapa saja yang bersalah. Janji ini adalah satu bagian integral dari
tujuh janji yang lain, yaitu ANGKASHA (Ruang), Raja harus memberikan
ruang untuk mendengarkan suara rakyatnya, VAYU (Angin), Raja harus mampu
mewujudkan pemerataan kesejahteraan kepada rakyatnya bagai angin, AGNI
(Api), Raja harus memberikan hukuman yang seadil-adilnya kepada yang
bersalah tanpa pandang bulu bagai api yang membakar, TIRTA (Air), Raja
harus mampu menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi rakyatnya
bagaikan air yang mampu menumbuhkan biji-bijian, PRTIVI (Tanah), Raja
harus mampu memberikan tempat yang aman bagi rakyatnya, menampung
semuanya, tanpa ada diskriminasi, bagaikan tanah yang mau menampung
semua manusia, SURYA (Matahari), Raja harus mampu memberikan jaminan
keamanan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu seperti Matahari yang
memberikan kehidupan kepada mayapada, CHANDRA (Bulan ), Raja harus mampu
mengangkat rakyatnya dari keterbelakangan, dari kebodohan, dari
kegelapan, bagaikan sang rembulan yang menyinari kegelapan dimalam hari,
dan yang terakhir adalah KARTIKA (Bintang), Raja harus mampu memberikan
aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi rakyat demi
kesejahteraan, kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang yang
mampu menunjukkan arah mata angin dengan pasti dikala malam menjalang.
Inilah DELAPAN JANJI RAJA yang disebut ASTHAVRATA (Astobroto ; Jawa ).
Dan menurut Sabdo Palon dan Naya Genggong, Prabhu Brawijaya telah lalai
menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.
Mendapati kondisi memanas
seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan sebuah fatwa, Haram hukumnya
menyerang Majapahit, karena bagaimanapun juga Prabhu Brawijaya adalah
Imam yang wajib dipatuhi. Setelah keluar fatwa dari pemimpin Islam
se-Jawa, konflik mulai mereda.
Namun bagaimanapun juga, dikalangan
orang-orang Islam diam-diam terbagi menjadi dua kubu. Yaitu kubu yang
mencita-citakan berdirinya Kekhalifahan Islam Jawa, dan kubu yang tidak
menginginkan berdirinya Kekhalifahan itu. Kubu kedua ini berpendapat,
dalam naungan Kerajaan Majapahit, yang notabene Shiva Buddha, ummat
Islam diberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadah agamanya. Bahkan,
syari’at Islam pun boleh dijalankan didaerah-daerah tertentu.
Kubu
pertama dipelopori oleh Sunan Giri, sedangkan kubu kedua dipelopori oleh
Sunan Kalijaga, putra Adipati Tuban Arya Teja, keponakan Sunan Ampel.
Kubu Sunan Giri mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk Islam secara
kaffah, secara bulat-bulat, maka pantas disebut PUTIHAN (Kaum Putih).
Dan mereka menyebut kubu yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai ABANGAN
(Kaum Merah).
Bibit perpecahan didalam orang-orang Islam sendiri
mulai muncul. Hal ini hanya bagaikan api dalam sekam ketika Sunan Ampel
masih hidup. Kelak, ketika Majapahit berhasil dijebol oleh para militant
Islam dan ketika Sunan Ampel sudah wafat, kedua kubu ini terlibat
pertikaian frontal yang berdarah-darah ( Yang paling parah dan memakan
banyak korban, sampai-sampai para investor dari Portugis melarikan diri
ke Malaka dan menceritakan di Jawa tengah terjadi situasi chaos dan
anarkhis yang mengerikan, adalah pertikaian antara Arya Penangsang,
santri Sunan Kudus, penguasa Jipang Panolan dari kubu Putihan dengan
Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari Sunan Kalijaga, penguasa
Pajang dari kubu Abangan. Nanti akan saya ceritakan : Damar Shashangka
).
Berdirinya Ponorogo.
Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker,
sebenarnya masih keturunan bangsawan Majapahit. Beliau masih keturunan
Raden Kudha Merta, ksatria dari Pajajaran yang melarikan diri bersama
Raden Cakradhara. Raden Kudha Merta berhasil menikah dengan Shri
Gitarja, putri Raden Wijaya, Raja Pertama Majapahit. Sedangkan Raden
Cakradhara berhasil menikahi Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri
Gitarja.
Dari perkawinan antara Raden Cakradhara dengan
Tribhuwanatunggadewi inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu.
Sedangkan Raden Kudha Merta, menjadi penguasa daerah Wengker, yang
sekarang dikenal dengan nama Ponorogo.
Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja.
Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya bagaikan
harimau yang kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang
dengan Majapahit.
Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi menjawab
tantangan Ki Ageng Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur
Majapahit dibawah pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.
Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini
disebabkan, banyak para prajurid Majapahit yang membelot dari
kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang dipimpin Raden
Bathara Katong kocar-kacir.
Raden Bathara Katong yang merasa malu
karena telah gagal menjalankan tugas Negara, konon tidak mau pulang ke
Majapahit. Dia bertekad, bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan.
Inilah sikap seorang Ksatria sejati.
Ada seorang ulama Islam yang
tinggal di Wengker yang mengamati gejolak politik itu. Dia bernama Ki
Ageng Mirah. Situasi yang tak menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya.
Dia mendengar Raden Bathara Katong tidak pulang ke Majapahit, dia
berusaha mencari kebenaran berita itu. Dan usahanya menuai hasil. Dia
berhasil menemukan tempat persembunyian Raden Bathara Katong.
Dia
menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan Wengker karena
dia sudah lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik. Namun
diam-diam, Ki Ageng Mirah, menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak Raden
Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya peng-Islam-an Wengker akan
semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai akses langsung
dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat Raden Bathara
Katong memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan melupakan jasanya
telah membantu memberitahukan titik kelemahan Wengker. Dan bila itu
terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan menduduki kedudukan yang mempunyai
akses luas menyebarkan Islam di Wengker.
Dan ternyata, Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru itu.
Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara Katong
harus pura-pura meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong
harus mengatakan untuk memohon perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia
harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.
Ki Ageng Kutu pasti
akan menerima pengabdian Raden Bathara Katong. Ki Ageng Kutu pasti akan
senang melihat Raden Bathara Katong telah membelot dan kini berada di
fihaknya. Manakala rencana itu sudah berhasil, Raden Bathara Katong
harus mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, putri
sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri. Mengingat status Raden Bathara
Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran itu pasti akan
disambut gembira oleh Ki Ageng Kutu..
Dan bila semua rencana
berjalan mulus, Raden Bathara Katong harus mampu menebarkan pengaruhnya
kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli dan teliti mengamati titik
kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki Ageng Kutu bisa
dimanfaatkan untuk tujuan itu.
Bila semua sudah mulus berjalan, dan
bila waktunya sudah tepat, maka Raden Bathara Katong harus sesegera
mungkin mengirimkan utusan ke Majapahit untuk meminta pasukan tempur
tambahan.
Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!
Raden
Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki Ageng Mirah.
Dan atas kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar.
Ki
Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan jauh dengan
Raden Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan suaka
politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden Bathara Katong mengutarakan
niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki Ageng Kutu serta merta
menyetujuinya.
Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.
Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura Menggala dan
Sura Handaka. (Sura Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang
menjadi tokoh kebanggaan masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok
Suromenggolo : Damar Shashangka).
Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka tidak.
Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk kelemahan
Wengker dari Ni Ken Gendhini. Inilah yang diceritakan secara simbolik
dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu, yang bernama Keris Kyai
Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan kepada Raden
Bathara Katong.
Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti
Melintang (Vertikal) dan Rawe berarti Tegak ( Horisontal). Arti
sesungguhnya adalah, kekuatan yang tegak dan melintang dari seluruh
pasukan Wengker, telah berhasil diketahui secara cermat oleh Raden
Bathara Katong atas bantuan Ni Ken Gendhini. Struktur kekuatan militer
ini sudah bisa dibaca dan diketahui semuanya.
Dan manakala waktu
sudah dirasa tepat, dengan diam-diam, dikirimkannya utusan kepada Ki
Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng Mirah, atas nama Raden Bathara
Katong, memohon tambahan pasukan tempur ke Majapahit.
Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu Brawijaya segera memenuhi permintaan pengiriman pasukan baru.
Majapahit dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak menyadari, ada pihak ketiga bermain disana! Ironis sekali.
Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa
kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng ketaton,
bagai banteng yang terluka. Demi Dharma, dia rela menumpahkan darahnya
diatas bumi pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu, Ki Ageng Kutu,
beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!
Namun
bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui oleh
Raden Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama Pasukan
Warok itu terdesak hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh
pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-habisan! Siap
menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan gagh
berani, pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan
Majapahit.
Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat
mereka harus bertempur dengan saudara sendiri. Banyak yang meneteskan
air mata, melihat mayat-mayat prajurid Wengker bergelimpangan
bermandikan darah. Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker
berhasil dihancurkan!
Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi.
Darah harum para ksatria sejati yang benar-benar tulus menegakkan
Dharma! Alam telah mencatatnya! Alam telah merekamnya!
Kabar
kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya berkabung
mendengar kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan Ki Ageng Kutu.
Seluruh Pejabat Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya Genggong
berkabung. Kabar kemenangan itu membuat Majapahit bersedih, bukannya
bersuka cita.
Para pejabat Majapahit menagis sedih melihat sesama
saudara harus saling menumpahkan darah karena campur tangan pihak
ketiga, karena disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng Kutu adalah
seorang Ksatria yang gagah berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi
kekuatan militer Majapahit. Kini, Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan
pasukan Majapahit sendiri. Betapa tidak memilukan!
Kadipaten Wengker
kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat pengukuhan telah
diterima dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya menjadi
Kadipaten Ponorogo. Wengker yang Shiva Buddha, kini telah berhasil
menjadi Kadipaten Islam.
No comments:
Post a Comment