Misi Peng-ISLAM-an Nusantara (Bag-1)
Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar. Sebuah Emperor. Yang wilayahnya
membentang dari ujung utara pulau Sumatera, sampai Papua. Bahkan,
Malaka yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah
kerajaan Majapahit.
Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi.
Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas setelah dikukuhkan sebagai Raja
beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit
sangat disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang
ditakuti oleh Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia ini, pada abad XIII,
hanya ada dua Kerajaan besar, Tiongkok dan Majapahit.
Lambang Negara
Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih.
Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang
nasionalisme sejati. Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi.
Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi Negara adikuasa,
superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat pemerintahan
ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan
iInternasional-nya waktu itu adalah Gresik.
Agama resmi Negara
adalah Hindhu aliran Shiva dan Buddha. Dua agama besar ini dikukuhkan
sebagai agama resmi Negara. Sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva
Buddha. Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva
Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini
terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang
pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari
pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah Emperor di Jawa.
Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta
(Wilwatikta. Vilva: Pohon Maja, Tikta : Pahit ). Sehingga, selain
Majapahit ( baca : Mojopahit) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar
ini dengan nama Wilwatikta ( Wilwotikto).
Kebesaran Majapahit
mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi
Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa
pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah
Mada-nya yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran
benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang
gilang gemilang!
Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang
saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang Pare-greg
(1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak
melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah
oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah
Blambangan sendiri yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. (
Kisah ini terkenal didalam masyarakat Jawa dalam cerita rakyat
pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet. Kebo = Bangsawan, Marcuet
= Kecewa. Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Jaka =
Perjaka, Umbaran = Pengembara. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil
menaklukkan Adipati Kebo Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan
dengan nama Minak Jingga. Minak = Bangsawan, Jingga = Penuh Keinginan.
Adipati Kebo Marcuet inilah Bhre Wirabhumi, dan Minak Jingga tak lain
adalah Raden Gajah, keponakan Bhre Wirabhumi sendiri.)
Namun,
sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan
kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri
dari pusat pemerintahan karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah
Raden Paramesywara, yang berhasil memadamkan pemberontakan Raden Gajah.
Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat sebagai suami oleh Ratu
Suhita. ( Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu Suhita tak
lain adalah Kencana Wungu. Kencana = Mutiara, Wungu = Pucat pasi,
ketakutan. Dan Raden Paramesywara adalah Damar Wulan. Damar = Pelita,
Wulan = Sang Rembulan.)
Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada
tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang
lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya ( Bhre Wijaya). Pada jaman
pemerintahan beliau inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan
Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke
pusat kerajaan, ke pulau Jawa.
Dan kisahnya adalah sebagai berikut :
Diwilayah Kamboja selatan, dulu terdapat Kerajaan kecil yang masuk
dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. ( Sekarang
hanya menjadi perkampungan Champa ). Kerajaan ini berubah menjadi
Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan
ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. (
Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim
As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh
Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu.
Raja Champa memiliki dua orang
putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan yang bungsu bernama
Dewi Anarawati. Syeh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi
Candrawati. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra, yang
sulung bernama Sayyid ‘Ali Murtadlo, dan yang bungsu bernama Sayyid ‘Ali
Rahmad. Karena berkebangsaan Champa ( Indo-china ), Sayyid ‘Ali Rahmad
juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo. ( Nama Champa dari Sayyid ‘Ali
Murtadlo, Raja Champa, Dewi Candrawulan dan Dewi Anarawati, saya belum
mengetahuinya : Damar Shashangka).
Kerajaan Champa dibawah kekuasaan
Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu
Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya
semenjak tahun 1453 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden
Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha
mengundurkan diri dari jabatannya, dan sebagai penggantinya diangkatlah
Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1468
Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri.
Praktis semenjak
tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa
didampingi oleh seorang Mahapatih. Apakah gerangan dalam masa
pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari
seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Prabhu
Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.
Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok
mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan
kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali
penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan
Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah
Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampi-hampir
melupakan istri-istrinya yang lain. ( Prabhu Brawijaya banyak memiliki
istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar. Pada
kesempatan lain, saya akan menceritakannya : Damar Shashangka ).
Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan
Champa datang menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh
para pembesar Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan, Dewi Anarawati.
Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda takluk. Dan salah satu
upeti yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.
Melihat
kecantikan putri berdarah indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan
begitu Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China
yang tengah hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana.
Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati.
Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng
Kian disingkirkan dari istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng
Kian diceraikan. Lantas putri China yang malang ini diserahkan kepada
Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar
sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu
Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada
tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula.
Nama China
Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda
dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong
adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis
China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang sudah
tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu
itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak
Islam.
Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng
Kian sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan,
dinikahilah dia oleh Arya Damar.
Anak yang lahir dari rahim Tan Eng
Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah seorang
anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia
juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden
Patah!
Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian,
lahirlah juga seorang putra. Diberinama Kin Shan. Nama muslimnya adalah
Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha,
atau Adipati Terung yang terkenal itu!
Kembali ke Jawa. Dewi
Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya.
Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil
menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian. Dewi Anarawati meminta kepada
Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak
tinggal dipesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah
Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita
Shiva dan para Wiku Buddha.
Mendengar permintaan istri tercintanya
ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang menjadi masalah,
siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya
padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta
ulam tiba, Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan
memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di
Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang hendak dibangun.
Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.
Para Pembesar
Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat
gelagat yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan Prabhu
Brawijaya, agar selalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan
penting.
Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong, punakawan
terdekat Prabhu Brawijaya juga sudah memperingatkan agar momongan mereka
ini berhati-hati, tidak gegabah. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan
orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang terdekatnya beliau
dengarkan.
Perekonomian Majapahit sudah hamper didominasi oleh etnis
China semenjak putri Tan Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya,
dan memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok. Kini, dengan masuknya
Dewi Anarawati, orang-orang muslim-pun mendepat kesempatan besar.
Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim. Semua
masukan bagi Prabhu Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan
secara sungguh-sungguh. Para Pejabat daerah mengirimkan surat khusus
kepada Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku para pendatang
baru ini. Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.
Hingga pada
suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat
daerah harus menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki
Ageng Kutu, Adipati Wengker ( Ponorogo sekarang), mempersembahkan tarian
khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih baru. Belum pernah
ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piranti
tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang berupa
duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak
diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang pemain, dengan
diiringi oleh para prajurid yang bertingkah polah seperti banci. (
Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama
Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari
acuh tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.
Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan
makna dari suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker
yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan lagi menjelaskan, bahwa
Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala
Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah
adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat cantik, yaitu
Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom
adalah symbol dari Pejabat teras, dan Jathilan adalah symbol dari
Pejabat daerah.
Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit, kini
diperintah oleh seekor harimau yang dikangkangi oleh burung Merak yang
indah. Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan sang burung Merak.
Para Prajurid Majapahit sekarang berubah menjadi penakut, melempem dan
banci, sangat memalukan! Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat
daerah dibuat kebingungan menghadapi invasi halus, imperialisasi halus
yang kini tengah terjadi. Dan terang-terangan Ki Ageng Kutu
memperingatkan agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-orang
Islam!
Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal dengan nama REOG PONOROGO!
Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki
Ageng Kutu, bersama para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit.
Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan perang dengan Majapahit!
Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden Bathara Katong untuk
memimpin pasukan Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker! ( Akan saya
ceritakan pada bagian kedua : Damar Shashangka.)
Prabhu Brawijaya,
menjanjikan daerah ‘perdikan’. Daerah perdikan adalah daerah otonom.
Beliau menjanjikannya kepada Dewi Anarawati. Dan Dewi Anarawati meminta
daerah Ampeldhenta ( didaerah Surabaya sekarang ) agar dijadikan daerah
otonom bagi orang-orang Islam. Dan disana, rencananya akan dibangun
sebuah Ashrama besar, pusat pendidikan bagi kaum muslim.
Begitu
Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka Dewi Anarawati, atas nama
Negara, mengirim utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh Ibrahim
As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit dan menjadi Guru dari Padepokan
yang hendak dibangun.
Dan permintaan ini adalah sebuah kabar
keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi peng-Islam-an Majapahit
sudah diambang mata. Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand ke
Jawa. Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid ‘Ali Murtadlo dan Sayyid ‘Ali
Rahmad.
Sesampainya di Gresik, pelabuhan Internasional pada waktu
itu, mereka disambut oleh masyarakat muslim pesisir yang sudah ada
disana sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa. Masyarakat muslim ini
mulai mendiami pesisir utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana Malik
Ibrahim, yang pada waktu itu memohon menghadap kehadapan Prabhu Hayam
Wuruk hanya untuk sekedar meminta beliau agar ‘pasrah’ memeluk Islam.
Tentu saja, permintaan ini ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk pada
waktu itu karena dianggap lancang. Namun, beliau sama sekali tidak
menjatuhkan hukuman. Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan Syeh
Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang. Namun sayang, di Gresik,
banyak para pengikut Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena wabah penyakit
yang datang tiba-tiba. Banyak yang meninggal. Salah satunya adalah
santriwati Syeh Maulana Malik Ibrahim bernama Fatimah binti Maimun. (
Sampai sekarang makamnya masih ada,). Dan Syeh Maulana Malik Ibrahim
akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal oleh orang-orang Jawa
muslim dengan nama Sunan Gresik.
Syeh Maulana Malik Ibrahim atau
Sunan Gresik telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang dinamakan
Dewan Wali Sangha ( Sangha = Perkumpulan orang-orang suci. Sangha
diambil dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan doktrin Buddhis
mengenai Buddha, Dharma dan Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama
berubah menjadi Wali Songo yang artinya Wali Sembilan.: Damar
Shashangka)
Rombongan dari Champa ini sementara waktu beristirahat
di Gresik sebelum meneruskan perjalanan menuju ibukota Negara Majapahit.
Sayang, setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-Samarqand jatuh sakit dan
meninggal dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama Syeh Ibrahim
Smorokondi. Makamnya masih ada di Gresik sekarang.
Kabar
meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand sampai juga di istana. Dewi
Anarawati bersedih. Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand
dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati, Sayyid ‘Ali Rahmad
diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari sebuah Padepokan
Islam yang hendak didirikan.
Bahkan, Sayyid ‘Ali Rahmad dan Sayyid
‘Ali Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan Majapahit, yaitu Rahadyan
atau Raden. Jadilah mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan Raden
Murtolo ( Orang Jawa tidak bisa mengucapkan huruf ‘dlo’. Huruf ‘dlo’
berubah menjadi ‘lo’. Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan,
Riyadloh jadi Riyalat, dll). Namun lama kelamaan, Raden Murtolo dikenal
dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik sekarang.
Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat
pendidikan Islam pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang membantu.
Tak berapa lama, berdirilah Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan
lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk membedakannya dengan Ashrama
pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas dikemudian hari, Raden
Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel.
Raden Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah tua, ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.
Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha,
sudah memperingatkan Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar
dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum missioner. Kaum yang punya misi
tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam, Pasai juga,
Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat
kerajaan.
Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak ketinggalan
pula Sabdo Palon dan Naya Genggong. Namun, bagaikan berlalunya angin,
Prabhu Brawijaya tetap tidak mendengarkannya.Raja Majapahit yang
ditakuti ini, kini bagaikan harimau yang takluk dibawah kangkangan
burung Merak, Dewi Anarawati.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker dulu.
No comments:
Post a Comment