Prasasti
adalah ketetapan resmi yang dikeluarkan oleh para raja Bali-Kuno.
Prasasti menjelaskan tentang aturan yang telah disepakati bersama. Teks
prasasti jarang menjelaskan tentang asal usul keturunan para raja itu.
Karena tidak dijumpai secara pasti nama keturunannya, juga secara
parsial terputus tahun prasasti yang dikeluarkan dari raja satu ke raja
yang lain, maka menimbulkan berbagai macam penafsiran tentang kisah
peristiwa apa yang telah terjadi dalam kehidupan mereka terdahulu.
Adakah hubungan kekerabatan antara raja satu dengan raja sebelumnya,
berapa lama mereka berkuasa, tahun berapa mereka meninggal dan dimana
dicandikan? Adakah terjadi pengambilalihan kekuasaan secara paksa dari
kerabat dekat raja maupun dari orang luar?
Sejarah
pemerintahan raja-raja Bali-Kuno, tidak ditemukan peralihan kekuasaan
dengan cara paksa, dalam arti jika sang raja meninggal, tapuk
pemerintahan akan digantikan oleh istri dan atau
anaknya.
Apabila sang anak masih kecil, belum cukup umur untuk berkuasa, maka
akan digantikan oleh sang paman atau kerabat dekat raja yang lain.
Apabila ‘buntu’ tak ada yang mau menggantikan,
maka
akan dipakai metode yang lain, melaui jalan ‘niskala’, dengan jalan
minta petunjuk “nedunang ida bhatara” Hal seperti ini terlihat dalam
teks Purana Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh, dimana Sri
Pasung
Grigis, seorang nyuklabrahmacari (tidak kawin seumur hidup), untuk
mencari penggantinya sebagai orang suci di Pura Lempuyang, Gamongan,
Karangasem.
Setelah
terkumpul salinan naskah-naskah kuna itu, lalu kita telisik, prasasti
satu dengan yang lain dirunut menurut angka tahun dan nama raja yang
mengeluarkan prasasti itu. Kadang-kadang terlihat
nama
samar, dengan perkataan lain, beda nama tetapi orangnya satu, misalnya,
antara Raja Sri Jayasakti, Sri Gnijaya Sakti, Sri Gnijaya dan Sri
Ragajaya. Masa pemerintahan ke empat nama raja ini, menurut tahun
prasasti dan purana, yang dikeluarkan berkisar tahun 1119–1177 Masehi.
Dalam prasasti nama Sri Gnijaya Sakti dan Sri Gnijaya tidak muncul, jadi
tidak ada prasasti yang dikeluarkan, sebagaimana umumnya raja raja yang
lain. Begitu pula dengan raja Sri Ragajaya, hanya mengeluarkan satu
prasasti yang disebut Prasasti Tejakula, tahun Isaka 1077/1155 Masehi.
Sedangkan Raja Sri Jaya Sakti mengeluarkan prasasti terakhir pada tahun
Isaka 1072/1150
Masehi,
yang disebut Prasasti Sading Kapal. (Poeger, 1964:105). Tetapi dalam
naskah Purana Bali Dwipa, Piagem Dukuh Gamongan, Prasasti Pura Puseh,
Sading, Kapal, Purana Pura Batu Karu, Purana Pura Pucak Bukit Gede, dan
beberapa naskah lainnya, akan terlihat jelas kisah kehidupan para raja
Bali-Kuno itu. Disamping itu, dalam purana tidak disebutkan
prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para raja.
Teks
Piagem Dukuh Gamongan dan Prasasti Pura Puseh Sading, Kapal, nama raja
Sri Jaya Sakti identik dengan Sri Gnijaya Sakti, begitu juga putranya
diberi nama sama dengan ayah kandung Sri
Gnijaya
juga (tanpa ident sakti di belakang namanya). Dalam Piagem Dukuh
Gamongan, Sri Gnijaya menjadi raja Bali Isaka 1051/1129 Masehi. Purana
Bali Dwipa, Sri Jaya Sakti meninggal dunia Isaka
1072/1150
Masehi. Sedangkan nama Sri Ragajaya tidak muncul dalam purana manapun,
Dalam kamus Jawa Kuna (Zoetmulder, 1994:899), kata raga artinya warna
merah, Warna merah identik
dengan
warna Api atau Gni. Dari analisis ini raja Sri Ragajaya adalah nama
lain dari Sri Gnijaya, raja ini banyak menjadi titik awal dalam
penulisan piagem, purana, babad, prakempa, pamancangah lainnya yang ada
di Bali masa kini.
Demikian
pula setelah Raja Sri Aji Hungsu berkuasa muncul nama Sri Walaprabhu
yang menggantikannya. Raja Walaprabhu mengeluarkan tiga prasasti yang
disebut Prasasti Babahan, Klandis, Babi A, menjadi raja Bali tahun
1079–1088 Masehi (Semadi Astra, 1977:21).
Dalam
purana, raja Sri Walaprabhu tidak muncul nama itu, yang muncul
menggantikan Sri Aji Hungsu adalah Sri Sakalindu Kirana, anak dari Sri
Aji Hungsu yang beribu bangsawan. Hanya
satu
prasasti yang dikeluarkan raja Sri Sakalindu Kirana yang disebut
prasasti Pengotan, Isaka 1010/1088 Masehi. Padahal dalam Purana Bali
Dwipa, Purana Pura Pucak Bukit Gede, Raja Sri Sakalindu Kirana berkuasa
selama 20 tahun dan digantikan oleh adiknya Sri Suradipa yang berkuasa
selama 15 tahun.
Dengan
demikian Walaprabhu diperkirakan seorang janda yang menjadi raja,
kemungkinan setelah Sri Aji Hungsu meninggal, kemudian tapuk
pemerintahan diganti oleh sang permaisuri yang
seorang
janda, maka disebut Waluprabu dalam buku Mengenal Pura Sad Kahyangan
dan Kahyangan Jagat oleh Tim (2008:211) istri Sri Aji Hungsu disebut
bhatari mandul di-pratista atau dicandikan di
Pura
Penulisan. Atau analisis lain, dalam Kamus Jawa Kuna, kata walaprabhu
berasal dari bahasa sanskerta, dari urat kata wala dan prabhu. Wala
artinya muda, kekanakan, tidak tumbuh atau belum
berkembang
penuh, muncul baru, tolol, junior. Prabhu artinya raja, Jadi walaprabhu
artinya raja muda, raja junior. Dengan demikian setelah Sri Aji Hungsu
meninggal tapuk pemerintahan digantikan oleh permaisuri bersama putri
mahkota yang masih kecil, bersamasama menjadi penguasa Bali pada era
itu.
Tetapi
kebalikkan dari purana ini yaitu dalam prasasti yang dikeluarkan oleh
Sri Aji Hungsu selalu menyebutkan, paduka haji anak wungsu kalih bhatari
lumah ing burwan, bhatara lumah ing banu
wka,
artinya, raja Sri Aji Hungsu setiap mengeluarkan prasasti selalu
mencantumkan almarhumah ibunya yang dicandikan di Buruwan, dan
almarhumah ayah yang dicandikan di Banyu Wka. Sedangkan dalam purana
tidak muncul nama Sri Aji Hungsu mengatasnamakan almarhum kedua
orangtuanya yang dikebumikan di Bhurwan dan Banu Wka. Yang dicandikan di
Buruwan adalah Ibunda Sri Mahendradatta dan di Banu Wka (Gunung Kawi)
dicandikan ayahnda yaitu Sri Udayana.
Demikian
pula dengan nama raja Sri Ajnadewi yang berkuasa setelah Sri Udayana.
Hanya satu prasasti dikeluarkan oleh raja Sri Ajnadewi yang disebut
prasasti Sembiran, tahun Isaka 938/1016
Masehi.
Pertanyaannya siapakah Sri Ajnadewi? Di dalam Purana Bali Dwipa, Sri
Udayana meninggal dunia Isaka 940/1018 Masehi, dicandikan di Banu Wka.
Sri Ajnadewi tidak muncul dalam purana mana pun. Begitu pula dalam teks
Purana Bali Dwipa, tertulis Sri Marakata berkuasa bersama-sama ibunya
sebagai penguasa Bali pada era itu. Dalam Purana Pura Luhur Batukaru
dijelaskan Raja Sri Marakata menjadi raja Bali Isaka 944/1022 Masehi.
Sedangkan
dalam prasasti yang dikeluarkan tidak kelihatan bahwa raja Sri Marakata
berkuasa bersama ibunya. Kalau boleh diartikan secara bebas, Sang
Ajnadewi artinya seorang dewi yang mahir
dalam
bidang ilmu waskita. Dalam dongeng serat calonarang yang ada di Bali,
permaisuri Sri Udayana yang bernama Sri Mahendratta Gunaprya Dharmapatni
sering dihubungkan ahli dalam ilmu mistis.Raja ini dimakamkan di
Buruwan, dikuburanya terlukis arca Durga Mahisasura Wardhini. Arca ini
menguatkan dugaan orang bahwa Mahendradatta sebagai penganut
ajaran-ajaran ilmu gaib dan Dewi Durgalah yang menganugrahinya
kesaktian. Jadi Sri Ajnadewi nama lain dari Sri Mahendratta Gunapriya
Dharmapatni.
Begitu
pula Raja Patih Kebo Parud dengan Raja Patih Sri Jayakatong adik
kandung dari Sri Pasung Gerigis. Dalam prasasti Pengotan, tahun Caka
1218/1296 Masehi dan prasasti Sukawana, tahun Caka 1222/1300 Masehi,
yang dikeluarkan oleh Raja Patih Makakasir Kebo Parud, berisikan
persoalan Desa Kedisan dan Desa Sukawana yang terletak di perbatasan
Balingkang.
Sedangkan
menurut buku Negarakertagama dikatakan bahwa pada tahun 1284 raja
Kertanegara telah menyerang Bali dan rajanya ditawan. Sayang sekali
dalam buku Negara Kertagama tidak disebutkan siapa nama raja Bali itu.
Dalam Purana Bali Dwipa dijelaskan raja Kertanegara ingin mengusai Bali
yang tatkala itu menjadi senapati Bali adalah Raja Patih Kebo Parud.
Dalam Piagem Dukuh Gamongan dijelaskan tahun Caka 1238/1318 Masehi, Sri
Jayakatong sebagai penguasa di kerajaan Batahanar dan mendirikan Pura
Gaduh, Blahbatuh. Setelah raja patih Sri Jaya Katong yang menjadi raja
adalah Sri Taruna Jaya, Sri Masula-Masuli dan Sri Astasura Ratna Bumi
Banten, raja akhir
Bali Kuno.
Dari
acuan di atas secara tegas menyebutkan yang menjadi pimpinan
pemerintahan saat itu seorang Patih atau seorang Senapati bawahan raja
yang mewakili dikeluarkannya prasasti tersebut. Dalam
skema
silsilah Sri Karang Buncing bahwa Raja Patih Kebo Parud menjadi pucuk
pimpinan setelah raja Sri Indracakru yang disebut juga Sri Sidhimatra,
nama sama dengan sang ayah setelah menjalani
hidup
suci. Raja Sri Indracakru menggantikan kakaknya yaitu Sri Dewa Lancana.
Dimana putra dari Sri Dewa Lencana yaitu Sri Taruna Jaya masih kecil
yang semestinya menggantikan ayahnya.
Karena
kesenangan Sri Indracakru (Sri Sidhimantra) melakukan hidup suci
mengikuti jejak para leluhur sebelumnya. Untuk menjalani roda
pemerintahan diwakili oleh putranya yang nomor dua yaitu Sri Jaya
Katong. Yang kemungkinan tatkala menduduki tapuk pemerintahan Sri Jaya
Katong diberi gelar Raja Patih Makakasir Kebo Parud. Setelah Sri Taruna
Jaya cukup umur untuk menjadi
raja
maka Sri Jaya Katong pun melakukan hidup suci dengan mendirikan Pura
Gaduh di Blahbatuh. Sri Jaya Katong merupakan cikal bakal berdirinya
kerajaan baru yang disebut Batahanar artinya
istana
baru, dimana sebelumnya kerajaan Bali Kuno masih berada di Bali Utara,
disebut kerajaan Singamandawa, sekarang menjadi nama kota Singaraja.
Perkembangan
selanjutnya pusat kerajaan menyebar ke selatan daerah Pejeng, Bedulu
dan Blahbatuh. Argumentasi lain pada era Kebo Parud muncul nama Kebo Iwa
merupakan anak didik dari
Sri
Jaya Katong. Jadi Kebo Parud bukan seorang patih dari Jawa. Dimana
beberapa penekun sastra menafsirkan Kebo Parud seorang patih dari
kerajaan Singosari.
Yang
dipengaruhi oleh Kerajaan Singasari terhadap Bali adalah penyebaran
paham baru yang disebut agama Bhairawa. Peninggalan paham Bhairawa
sangat kentara pada masa kini dengan adanya peninggalan Patung Bhima di
Pura Kebo Edan, Pejeng dan Patung Arca Pangulu (patung kepala) di Pura
Puseh Gaduh, Blahbatuh dan beberapa tinggalan lain yang tersebar di
wilayah Gianyar. Dalam Piagem Dukuh Gamongan disebutkan Arca Pangulu
maka lingganira hyang wawudateng artinya patung kepala merupakan simbol
suci tuhan ajaran baru era itu.
Begitu
pula dengan nama Sri Taruna Jaya identik dengan Sri Jayasunu. Catatan
prasasti tembaga di Banjar Srokodan, Perbekel Abuan, Susut, Bangli,
dialih aksara dan diterjemahkan oleh Putu Budiastra, disebut prasasti
Srokodan (Bhatara Guru), satusatunya prasasti yang dikeluarkan oleh Sri
Taruna Jaya, tahun Isaka 1246/1324 Masehi untuk desa Hyang Putih dan
sekitarnya. Tetapi dalam Piagem Dukuh Gamongan, Sri Dewa Lancana
menurunkan putra Sri Taruna Jaya. Tidak muncul Sri Taruna Jaya
menurunkan putra buncing (kembar laki perempuan) Sri Masula dan Sri
Masuli. Dalam Purana Bali Dwipa muncul Sri Jayasunu mempunyai putra
buncing bernama Sri Masula dan Sri
Masuli
setelah menjadi raja diberi gelar Sri Bhatara Mahaguru Dharmotungga
Warmadewa, gelar ini identik dalam prasasti Tumbu Isaka 1247/1325
Masehi.
Tetapi
Sri Jayasunu satupun tidak ada mengeluarkan prasasti sebagai mana raja
yang lain. Sedangkan dalam salinan lontar Aji Murti Siwasasana ning
Bwana Rwa, milik Desa Pakraman Gamongan,
muncul
nama Sri Jayasunu yang mengeluarkan pedoman itu disaat rapat besar di
Majapahit. Dan beberapa purana lain muncul nama Sri Jayasunu yang
menjadi pedoman awal dalam penulisan.
Salinan
lontar Aji Murti Siwa Sasana dan Purana Bali Dwipa tersebut diatas
tidak secara tegas tahun berapa naskah itu ditulis, siapa yang dimaksud
dengan Sri Jayasunu? Siapakah orang tua Sri
Jayasunu?
Kamus Jawa Kuna, oleh P.J. Zoetmulder (1994:1147), sunu artinya putra,
anak, keturunan. Jadi Sri Jayasunu artinya raja keturunan Jaya. Tidak
terdapatnya prasasti-prasasti Bali yang
dikeluarkan
oleh raja Sri Jayasunu, membuat kekaburan perjalanan sejarah keturunan
raja-raja Bali-Kuno. Yang dimaksud keturunan Jayasunu (turunan jaya)
disini adalah turunan dari Sri Jaya Sakti nama lain Sri Gnijaya Sakti
yang menjadi raja Bali pada tahun Isaka 1041/1119 Masehi, yang
menurunkan 5 putra. Putra ke dua dari Sri Jaya Sakti bernama Sri Maha
Sidhimantradewa, menurunkan putra bernama Sri Dewa Lancana, menurunkan
putra Sri Taruna Jaya. Dengan demikian Sri Taruna Jaya adalah turunan
Jaya juga, tiga generasi setelah Sri Jaya Sakti. Dari analisis ini Sri
Jayasunu adalah turunan Jaya versi purana, identik dengan Sri Taruna
Jaya turunan Jaya versi Prasasti Srokodan dan Piagem Dukuh Gamongan.
Begitu pula dengan keberadaan Sri Batu Ireng identik dengan Sri Astasura
Ratna Bumi Banten, raja Bali tahun 1337 Masehi. Dalam prasasti yang
dikeluarkan oleh raja-raja Bali Kuno, satu pun tidak tercatat nama raja
Sri Batu Ireng. Setelah menjadi raja diberi gelar Sri Astasura Ratna
Bumi Banten
Demikian
juga dengan Sri Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing. Dalam mitologi yang
dikenal masyarakat Bali hingga kini, Kebo Iwa adalah seorang patih sakti
pada masa akhir Bali-Kuno. Ia
digambarkan
seorang lelaki bertubuh besar, tinggi, gagah perkasa serta sakti. Kebo
Iwa disebut-sebut bertempat tinggal di Blahbatuh, sebelah baratdaya kota
Gianyar. Selain sebagai patih sakti, Kebo Iwa
dikenal
juga sebagai seorang arsitek (undagi). Banyak bangunanbangunan kuno
sebagai hasil karyanya. Tetapi dalam prasasti yang dikeluarkan Raja Sri
Astasura Ratna Bumi Banten, satu pun tidak muncul nama Kebo Iwa sebagai
mahapatih kerajaan Badhahulu dan kisah kehidupannya.
Secara
administratif, dalam Prasasti Langgahan, Isaka 1259/1337 Masehi, yang
dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, terdapat beberapa
senapati (mahapatih) kerajaan yang
menyaksikan
dikeluarkannya prasasti di kala itu, antara lain, senapati kuturan
makakasir mabasa sinom (sang mahapatih di wilayah kuturan bernama
makakasir mabasa sinom), sang senapati sarbwa
makakasir
candri lengis, sang senapati wrasanten makakasir jagatrang, sang
senapati dinganga makakasir gagak lpas, dan beberapa senapati lainnya.
Kebo
Iwa hanyalah sebagai penjaga pos keamanan untuk daerah Batahanyar dan
Blahbatuh, Ki Tambyak penjaga pos keamanan di Jimbaran, Ki Bwahan di
Batur, Si Tunjung Tutur di Tenganan,
Ki
Pasung Grigis di Tengkulak, serta para ksatria lainnya yang menyebar di
jagat Bali. Sedangkan dalam purana, prakempa, babad, pamancangah,
lainnya Kebo Iwa adalah mahapatih kerajaan
Badhahulu.
Sedangkan dalam Purana Pura Luhur Pucak Padang Dawa, Kebo Iwa diberi
sebutan bhatara amurbeng rat, dewa gede kebo iwa, bhatara gede sakti,
bhatara guru, dan sebagainya.
Demikian
juga dengan Sri Karang Buncing, karena nyineb wangsa (menutup asal
usul), sehingga dalam kehidupan sosial di masyarakat ada menyebut, arya
karang buncing, gusti karang buncing, prabali karang buncing, pasek
karang buncing, sri arya karang buncing, karang gaduh, bendesa karang
buncing, arya kedi dan soroh karang lainnya.
Munculnya perbedaan identitas tersebut berdasarkan guna karma, tugas dan fungsi keturunan beliau saat itu. Tatkala keturunannya menjabat sebagai kepala desa, bendesa karang buncing sebutannya. Tatkala keturunannya mendapat tugas pemerintahan Dalem (Majapahit), arya karang buncing sebutannya. Sedangkan keturunan yang berasal dari pertapa raja raja Bali Kuno di Desa Gamongan, persebaranya warga dukuh sebutannya. Tatkala ada pengelompokkan dalam penulisan babad antara nak jawa dan nak bali atau keturunan berasal dari Jawa dan orang Bali, prabali karang buncing disebutnya. Jika keturunannya mamarekan (mengabdi) di keluarga dalem atau yang berkasta lebih tinggi, pasek karang buncing
disebutnya, dan sebagainya. Sesungguhnya kata-kata Karang Buncing yang
berbeda itu berasal dari Sri Karang Buncing adik kandung Sri Kbo Iwa
yang hidup pada masa peralihan pemerintahan Bali Kuno ke Majapahit.
Beliau berdua adalah keturunan akhir raja-raja Bali Kuno dan misan mindon (sepupu)
dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Disamping kesepakatan warga
dalam Mahasaba, nama Sri Karang Buncing yang dipakai momentum oleh
keturunannya masa kini di dalam mendekatkan diri kepada Hyang Kawitan (leluhur) dan Hyang Widhi/ Tuhan.
Sekilas
dapat disimpulkan, bila penulisan awal sejarah Bali hanya bersumber
dari prasasti prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang bersangkutan,
akan terlihat mereka berkuasa sangat pendek, ini
terlihat
berdasarkan awal dan akhir tahun prasasti yang dikeluarkan. Dalam
prasasti tidak tertulis hubungan kekerabatan raja satu dengan raja yang
lainnya, dan tidak kelihatan kisah kehidupan mereka. Sedangkan dalam
purana kadang-kadang mereka berkuasa melebihi dari prasasti-prasasti
yang dikeluarkan, serta asal asul dan kisah peristiwa yang terjadi
kepadanya sangat jelas. Sedangkan apabila hanya purana, piagem, babad,
prakempa, pemancangah yang dipakai pedoman dalam penulisan awal sejarah
Bali tanpa didukung data sejarah yang dikeluarkan pada zaman orangnya
sendiri maka teks itu akan mengambang dalam arti masih diragukan
kebenarannya. Hanya orang-orang penting yang berkuasa pada zamannya akan
tercatat dalam buku sejarah Bali.
Sri
Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing banyak mempunyai nama samar, tergantung
masyarakat hendak menggambarkan beliau itu dari sisi yang mana, apakah
kisah kehidupannya mau dimitoskan,
dilecehkan,
dipolitisir, dibudayakan, disucikan, atau dihilangkan dan sebagainya,
tentunya akan berdampak mendoktrin pikiran generasi selanjutnya tentang
perjalanan sejarah Bali.
Runutan nama raja yang berkuasa di Bali, bersumber dari Prasasti,
Purana, Piagem, Babad, Prakempa dan Pamancangah lainnya, adalah
sebagai berikut:
1. Sri Kesari Warmadewa (isaka 804-837)
2. Sri Ugrasena (isaka 837-864).
3. Sri Haji Tabanendra Warmadewa (877-889).
4. Sri Jaya Singa Warmadewa (isaka 892).
5. Sri Janasadhu Warmadewa (isaka 897).
6. Sri Maharaja Cri Wijaya Mahadewi (isaka 905).
7. Sri Dharmodayana + Mahendradata (isaka 911-933).
8. Sri Sang Ajnadewi (isaka 938).
9. Sri Wardana Marakata (isaka 944-948).
10. Sri Haji Hungsu (isaka 971-999).
11. Sri Walaprabu (isaka 1001-1010).
12. Sri Sakalindu Kirana (isaka 1010-1023).
13. Sri Suradhipa (isaka 1024-1041).
14. Sri Jaya Sakti (isaka 1055-1072).
15. Sri Gnijaya (isaka 1072-1077).
16. Sri Ragajaya (isaka 1077-1099).
17. Sri Maharaja Haji Jaya Pangus (isaka 1099-1103).
18. Sri Hekajaya Lancana (isaka 1103-1122).
19. Sri Adi Kuti Ketana (isaka 1122-1126).
20. Sri Adi Dewa Lancana (isaka 1126-1172).
21. Sri Indra Cakru (isaka 1172).
22. Rajapatih Kebo Parud (1206-1222).
23. Rajapatih Sri Jaya Katong (isaka 1222-1238).
24. Sri Taruna Jaya (isaka 1238-1246).
25. Sri Masula-Masuli (isaka1246-1250).
26. Sri Astasura Ratna Bumi Banten (isaka 1259-1265).
27. Kyayi Agung Pasek Gelgel (isaka 1265-1272).
28. Dalem Samprangan (isaka 1272).
29. Dalem Gelgel/Sri Kresna Kepakisan (isaka1302).
30. Dalem Waturenggong (isaka 1382).
Nama
keluarga akan berbeda setelah menjadi raja sesuai gelar yg diberikan
oleh kerajaan, begitu pun setelah jadi raja dan melakukan hidup suci
akan ganti nama juga ,,,
DAFTAR PUSTAKA
Beberapa data sekunder yang dipakai pedoman dalam penulisan atikel ini dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi, sebagai berikut:
1)
Prasasti, adalah aturan resmi yang dikeluarkan oleh raja pada zamannya
sendiri disaksikan strukturisasi pemerintahanya. Teks prasasti jarang
menjelaskan tentang asal usul keturunan para raja
itu. Prasasti umumnya ditulis diatas tembaga, batu, perunggu, tahan ribuan tahun, sangat disucikan dan di stanakan di pura.
2)
Purana,isinya menceritakan kejadian yang telah lewat tentang kisah para
raja serta keturunannya dan dikaitkan dengan mitos para dewa yang
berstana di gunung sekitarnya. Purana ditulis diatas daun
lontar
menjadi pedoman untuk kelanjutan dari pangemong dan pangempon pura itu.
Dalam purana tercatat nama leluhur warga yang merintis keberadaan
sejarah pura. Purana pun disimpan di pura.
3)
Piagem, adalah pegangan dari kelompok warga (klen) yang isinya
menceritakan kisah leluhur mereka terdahulu dan keterkaitan dengan
keberadaan purana dan prasasti dari pura tertentu.
4) Prakempa,
adalah pegangan dari klompok warga (klen) yang isinya menceritakan
sekelumit jejak leluhur mereka yang hanya ada di desa setempat.
5)
Babad adalah cerita yang didengar, dari mulut ke mulut, bisa bersumber
dari nak kerauhan (trance) atau hasil perenungan seseorang lalu ditulis
dan dikait-kaitkan dengan nama tertentu, tanpa sumber sejarah yang
jelas, menjadi milik pribadi.
6)
Hasil deskripsi seseorang dalam persyaratan memperoleh gelar
kesarjanaan di perguruan tinggi. Ironisnya jika para akademisi memakai
acuan babad dalam menulis suatu karya ilmiah lalu dijadikan pedoman oleh
umat kebanyakan maka hasilnya bertentangan dengan apa yang tercantum
dalam prasasti dan purana.
No comments:
Post a Comment