Misi Peng-ISLAM-an Nusantara (Bag-4)
Mendekati detik-detik pemberontakan
Demak Bintara berkembang pesat. Tempat ini dirasa strategis untuk
pengembangan militansi Islam karena letaknya agak jauh dari pusat
kekuasaan. Di Demak Bintara, para ulama-ulama Putihan sering mengadakan
pertemuan. Jadilah Demak Bintara dikenal sebagai Kota Seribu Wali.
Ditambah pada tahun 1475 Masehi, seorang ulama berdarah Mesir-Sunda datang dari Mesir. Dia adalah
Syarif Hidayatullah. Dia datang bersama ibunya Syarifah Muda’im.
Syarifah Muda’im adalah putri Pajajaran. Putri dari Prabhu Silihwangi
penguasa Kerajaan Pejajaran. ( Hanya Kerajaan ini yang tidak masuk
wilayah Majapahit. Walau kecil, Pajajaran terkenal kuat. Anda bisa
membayangkan adanya Timor Leste sekarang. Seperti itulah keadaan
Majapahit dan Pajajaran. : Damar Shashangka).
Nama asli Syarifah
Muda’im adalah Dewi Rara Santang. Dia bersama kakaknya Pangeran
Walangsungsang, tertarik mempelajari Islam. Ketika berada di Makkah,
Dewi Rara Santang dipinang oleh bangsawan Mesir, Syarif Abdullah.
Menikahlah Dewi Rara Santang dengan bangsawan ini. Dan namanya berganti
Syarifah Muda’im. Dari pernikahan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah.
Pangeran Walang Sungsang, mendirikan daerah hunian baru di pesisir
utara Jawa barat. Dikenal kemudian dengan nama Tegal Alang-Alang. Lantas
berubah menjadi Caruban. Berubah lagi menjadi Caruban Larang. Pada
akhirnya, dikenal dengan nama Cirebon sampai sekarang.
Pangeran
Walang Sungsang, dikenal kemudian dengan nama Pangeran Cakrabhuwana.
Oleh ayahandanya, Prabhu Silihwangi diberikan gelar kehormatan Shri
Manggana.
Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabhuwana lantas dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Sunan Giri terpilih sebagai
penggantinya. Pusat Majelis Ulama Jawa kini berpindah ke Giri Kedhaton.
Dan, pada waktu inilah tragedi Syeh Siti Jenar terjadi. Syeh Siti Jenar
dipanggil ke Giri Kedhaton dan disidang oleh Dewan Wali Sangha dibawah
pimpinan Sunan Giri. Walau tidak mengakui keberadaan Majelis Ulama Jawa,
beliau tetap hadir. Beliau dituduh telah menyebarkan aliran sesat.
Adapula yang menuduh sebagai antek-antek Syi’ah. Ada juga yang
mengatakan beliau ahli sihir, dan lain sebagainya. ( Akan saya buat
catatan tersendiri tentang beliau : Damar Shashangka).
Pada sidang
pertama para ulama yang tergabung dalam Dewan Wali Sangha tidak bisa
menemukan kesalahan Syeh Siti Jenar. Sehingga, beliau lantas dibebaskan
dari segala tuduhan. Namun bagaimanapun juga, Syeh Siti Jenar adalah
duri didalam daging bagi mereka. Maka sejak saat itu,
kesalahan-kesalahan beliau senantiasa dicari-cari.
Konsentrasi Dewan
Wali Sangha terpecah pada rencana perebutan kekuasaan. Melalui
serangkaian musyawarah yang pelik, maka disimpulkan, kekuatan militansi
Islam sudah cukup siap untuk mengadakan perebutan kekuasaan. Raden
Patah, Adipati Demak Bintara, terpilih secara mutlak sebagai pemimpin
gerakan.
Kubu Abangan, tidak menghadiri musyawarah ini. Apalagi
semenjak Dewan Wali Sangha atau Majelis Ulama Jawa dipegang Sunan Giri,
hubungan kubu Putihan dan kubu Abangan kian meruncing.
Sunan
Kalijaga dan para pengikutnya hanya mau membantu Dewan Wali Sangha
merampungkan pembangunan Masjid Demak. Selebihnya, mereka tidak ikut
campur.
Persiapan sudah matang. Tinggal memilih hari yang
ditentukan. Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit mengendus
rencana ini. Prabhu Brawijaya mendapat laporan para pasukan Intelejen
yang ada disekitar Demak Bintara. Sayangnya, beliau tidak begitu
mempercayainya. Beliau berkeyakinan, tidak mungkin Raden Patah, putra
kandungnya sendiri akan nekad berbuat seperti itu. Prabhu Brawijaya
tidak memahami betapa militant-nya orang yang sudah terdoktrin!
Dan
manakala pergerakan pasukan besar-besaran terdengar, yaitu pasukan
orang-orang Islam Putihan, gabungan dari seluruh lasykar yang ada di
wilayah pesisir utara Jawa timur sampai Jawa barat mulai bergerak.
Keadaan menjadi gempar! Para Pejabat daerah kalang kabut. Mereka tidak
menyangka orang-orang Islam sedemikian banyaknya.
Setiap daerah yang
dilalui pasukan ini, tidak ada yang bisa membendung. Kekuatan mereka
cukup besar. Persiapan mereka cukup tertata. Sedangkan daerah-daerah
yang dilalui, tidak mempunyai persiapan sama sekali. Daerah perdaerah
yang dilewati, harus melawan sendiri-sendiri. Tidak ada penyatuan
pasukan dari daerah satu dengan daerah lain. Semua serba mendadak. Dan
tak ada pilihan lain kecuali melawan atau mundur teratur.
Gerakan
pasukan ini cukup kuat. Para Adipati yang berhasil mundur segera
melarikan diri ke ibu kota Negara. Mereka melaporkan agresi mendadak
pasukan pesisir yang terdiri dari orang-orang Islam itu.
Dan dari
mereka, Prabhu Brawijaya mendapat laporan yang mencengangkan, yaitu
telah terjadi pergerakan pasukan dari Demak Bintara. Pasukan berpakaian
putih-putih. Berbendera tulisan asing! Berteriak-teriak dengan bahasa
yang tidak dimengerti! Pasukan ini dapat dipastikan adalah pasukan
orang-orang Islam. Dan kini, tengah bergerak menuju ibu kota Negara
Majapahit.
Percaya tidak percaya Prabhu Brawijaya mendengarnya.
Laporan pasukan Telik Sandhibaya selama ini telah menjadi kenyataan..
Namun, Prabhu Brawijaya tetap tidak bisa mengerti, mana mungkin Raden
Patah berbuat seperti itu. Mana mungkin orang-orang Islam berani dan
tega mengadalan pemberontakan. Selama ini, Majapahit telah memberikan
bantuan material yang tidak sedikit bagi mereka. Sesak! Dada Prabhu
Brawijaya seketika serasa sesak bagai dihantam palu! Bergemuruh
mendidih! Beliau menyebut Nama Mahadeva berkali-kali.
Seluruh
pembesar Majapahit tegang. Mereka menantikan komando Sang Prabhu. Waktu
berjalan cepat. Sang Prabhu masih belum mengeluarkan titah apapun.
Pergerakan pasukan sudah memasuki Madiun, sebentar lagi mencapai wilayah
Kadhiri, sudah teramat dekat dengan ibu kota Negara.
Pertempuran-pertempuran penghadangan telah terjadi secara otomatis. Dan
semua telah masuk menjadi laporan bagi Sang Prabhu.
Bahkan ada laporan yang menyatakan, beberapa daerah yang terpengaruh Islam, malah ikut bergabung dengan pasukan ini.
Adipati Kertosono ( wilayah Kediri sekarang ) mengirinkan utusan khusus
kepada Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan perintah perang!
Sang
Prabhu masih termangu-mangu. Dan manakala terdengar Adipati Kertosono
melakukan perlawanan mati-matian tanpa menunggu komando beliau, barulah
Sang Prabhu tersadar! Segera beliau memerintahkan seluruh pasukan
Majapahit untuk mempersiapkan sebuah perang besar!
Para Panglima
yang telah menanti-nantikan perintah ini menyambut dengan suka cita!
Inilah yang mereka nanti-nantikan! Tanpa menunggu waktu lama, seluruh
kekuatan Majapahit segera dipersiapkan.
Pasukan Majapahit telah siap
sedia menyambut kedatangan pasukan Demak Bintara. Dan sekali lagi,
mereka tinggal menunggu perintah untuk MENYERANG!
Dan komando
terakhir inipun tidak segera keluar. Pasukan Majapahit resah. Para
Panglima cemas. Para kepala pasukan tempur digaris depan terus mendesak
kepada Para Panglima masing-masing agar segera mengeluarkan perintah
penyerangan!
Para Panglima juga mendesak Sang Senopati Agung,
meminta kepada Prabhu Brawijaya untuk segera memberikan komando
terakhir. Perlu dicatat, salah satu panglima yang memperkuat barisan
Majapahit adalah Adipati Terung, adik tiri Raden Patah.
Dalam
hatinya bertanya-tanya, ada apakah dengan kakak tirinya sehingga
mengadakan gerakan makar sedemikian rupa? Selama ini, dia tidak melihat
ada yang salah dengan pemerintahan Prabhu Brawijaya. Tidak ada
diskriminasi dalam hal keagamaan. Dirinya yang muslim-pun, bisa bebas
menjalankan ibadah agamanya. Bahkan, bisa dipercaya menjabat sebagai
seorang Adipati, yang notabene bukan jabatan main-main.
Adipati Terung tidak bisa memahami pola pikir kakak tirinya.
Dan perintah penyerangan tidak juga segera turun. Seluruh pasukan yang
sudah bersiap sedia dibarak masing-masing, dilanda ketegangan yang luar
biasa!
Di Istana, Para Mantri resah. Melihat situasi ini, Sabdo
Palon dan Naya Genggong meminta Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan
perintah. Namun apa jawaban Sang Prabhu? Beliau masih tidak yakin
pasukan Demak akan tega menyerang ibu kota Negara Majapahit. Sabdo Palon
dan Naga Genggong menandaskan, cara berfikir Raden Patah dan para
pasukan ini sudah lain. Sang Prabhu tidak akan bisa memahaminya. Jalan
satu-satunya sekarang adalah, menghadapi mereka secara frontal. Pada
saat ini, tidak ada cara lain.
Dan manakala kabar terdengar pasukan
Demak telah merangsak maju dan memasuki pinggiran ibu kota Majapahit,
dan disana mereka mengadakan perusakan hebat. Dengan sangat terpaksa,
Sang Prabhu mengeluarkan perintah penyerangan! Tapi, perintah itu
sebenarnya telah terlambat!
Begitu keluar perintah penyerangan, ada
hal yang tidak terduga, pasukan Ponorogo dan beberapa daerah yang lain
membelot! Diketahui kemudian ternyata mereka adalah pasukan dari
daerah-daerah yang sudah muslim.
Dan, peperangan pecah sudah!
Peperangan yang besar. Darah tertumpah lagi! Senopati Demak dipimpin
oleh Sunan Ngundung. Dan dipihak Majapahit, Senopati dipegang oleh Arya
Lembu Pangarsa. Prajurid Majapahit mengamuk dimedan laga. Para prajurid
yang sudah berpengalaman tempur ini dan disegani diseluruh Nusantara,
sekarang tidak main-main lagi! Adipati Sengguruh, Raden Bondhan Kejawen
yang masih belia, Adipati Terung, Adipati Singosari dan yang lain ikut
mengamuk dimedan laga!
Sayang, banyak kesatuan-kesatuan Majapahit
yang berasal dari daerah muslim, membelot. Namun, pada hari pertama,
pasukan Demak Bintara terpukul mundur!
Pada hari kedua, pasukan
Demak terpukul lebih telak. Senopati Demak, Sunan Ngundung tewas! (
Makamnya masih ada di Trowulan, Mojokerto sampai sekarang.) Pasukan
Demak mengundurkan diri. Pasukan cadangan masuk dipimpin oleh putra
Sunan Ngundung, Sunan Kudus. Pertempuran kembali pecah!
Namun
bagaimanapun juga, pasukan Demak harus mengakui kekuatan pasukan
Majapahit. Mereka terpukul mundur keluar dari ibu kota Negara. Kehebatan
pasukan Majapahit yang terkenal itu, ternyata terbukti!
Pasukan
Demak bertahan. Beberapa minggu kemudian, datang pasukan dari Palembang
bergabung dengan pasukan Majapahit. Pasukan Majapahit seolah mendapat
suntikan darah segar. Namun ternyata, bergabungnya pasukan Palembang ini
hanyalah bagian dari siasat dari orang-orang Demak.
Pasukan
Palembang, diam-diam memusnahkan seluruh persediaan bahan makanan
tentara Majapahit. Lumbung-lumbung besar dibakar! Semua persediaan bahan
pangan ludes! ( Inilah simbolisasi dari didatangkannya peti ajaib milik
Adipati Arya Damar dari Palembang yang apabila dibuka, mampu
mengeluarkan beribu-ribu tikus dan memakan seluruh beras dan bahan
pangan tentara Majapahit. : Damar Shashangka).
Majapahit kebobolan
luar dalam. Majapahit benar-benar tidak pernah menyangka akan hal itu.
Begitu persediaan bahan pangan menipis, dari hari kehari, pelan namun
pasti, pasukan Majapahit terpukul mundur!
Mendengar pasukan
Majapahit terdesak, Kepala Pasukan Bhayangkara, yaitu Pasukan Khusus
Pengawal Raja, segera mengamankan Prabhu Brawijaya. Keadaan sudah
sedemikian genting dan Sang Prabhu, mau tidak mau, harus segera
meloloskan diri. Ini harus dilakukan secepatnya, karena untuk menyatukan
kembali kekuatan tentara Majapahit kelak, sosok Prabhu Brawijaya, masih
dibutuhkan!
Dengan dikawal Pasukan Bhayangkara, Prabhu Brawijaya
segera keluar dari Istana. Pasukan Bhayangkara memutuskan agar Sang
Prabhu menyelamatkan diri ke Pulau Bali. Pulau yang kondusif untuk saat
ini.
Ditengah kekacauan itu, Dewi Anarawati, diam-diam dibawa oleh
pasukan Islam ke Gresik. Putra bungsu Dewi Anarawati, Raden Gugur yang
masih kecil, diselamatkan oleh pasukan Ponorogo dan dibawa ke Kadipaten
Ponorogo.
Dan pada akhirnya, Majapahit bisa dijebol. Seluruh Istana
dirusak dan dibakar!. Perusakan terjadi dimana-mana. ( Maka jangan
heran, sampai sekarang bekas Istana Majapahit yang terkenal di Nusantara
itu, musnah tak berbekas. : Damar Shashangka )
Dan pada akhirnya,
terjadilah tragedi kemanusiaan yang sampai sekarang ‘ditutupi’. Perang
yang semula melibatkan dua kekuatan militer Majapahit dan Demak, kini
merembet menjadi perang sipil. Mereka yang merasa diatas angin, kini
menjadi sosok malaikat maut. Pertumpahan darah terjadi. Masyarakat
Majapahit yang masih memegang keyakinan lama, berhadapan secara frontal
dengan mereka yang telah berpindah keyakinan.
Dimana-mana, situasi
anarkhis terjadi. Dimana-mana dua kubu ini bentrok. Dimana-mana
kekacauan merajalela. Jawa dalam situasi chaos! Ibu pertiwi menangis.
Ibu pertiwi terluka. Putra-putranya kini tengah saling menumpahkan darah
hanya karena disalah satu pihak tengah dilanda ‘ketidak sadaran’.
Akibat tragedi yang mencerabut segala sendi-sendi masyarakat Majapahit
ini, bangunan-bangunan indah dari Kerajaan Agung Majapahit, musnah tak
berbekas! Majapahit yang terkenal sebagai Macan Asia, ludes dibabat
habis. Di Jawa Timur, Majapahit seolah-olah hanya sebuah mitos belaka,
karena banyak peninggalan dari jaman keemasan Nusantara ini, hancur
karena kepicikan.
Hanya sedikit yang tersisa. Dan yang sedikit itulah yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang.
Eksodus besar-besaran terjadi. Para Agamawan, Para Bangsawan dan rakyat
yang tetap memegang teguh keyakinannya, menyingkir ketempat-tempat yang
dirasa aman. Kebanyakan menyeberang ke Bali, Kalimantan dan Lombok.
Ada seorang putri selir Prabhu Brawijaya yang melarikan diri bersama
sisa-sisa prajurid Majapahit dan beberapa penduduk. Dia bernama Dewi
Rara Anteng. Bersama suaminya Raden Jaka Seger, dia menyingkir ke
pegunungan Bromo. Sampai sekarang keturunan mereka masih ada disana,
dikenal dengan nama suku Tengger. Diambil dari nama Dewi Rara An-TENG
dan Raden Jaka Se-GER. Diwilayah pegunungan Bromo, pasukan Demak memang
tidak bisa menjangkau. Medannya cukup sulit dan terisolir. ( Suku
Tengger baru membuka diri pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.
Ketika disensus dan ditanyakan apa agama mereka, mereka menyatakan
beragama Budo. Padahal ritual yang mereka jalankan lebih dekat ke agama
Hindhu dari pada agama Buddha. Para petugas sensus tidak tahu, istilah
Hindhu memang tidak dikenal pada jaman Majapahit. Yang terkenal adalah
agomo Siwo Budo atau hanya disebut wong Budo saja. : Damar Shashangka).
Dengan dikawal oleh Pasukan Bhayangkara dan beberapa kesatuan pasukan
yang tersisa, Prabhu Brawijaya menyingkir ke arah timur. Dan untuk
sementara, beliau tinggal di Blambangan. Adipati Blambangan, memperkuat
barisan pasukan ini. Dan tak hanya itu, para penduduk Blambangan-pun
dengan suka rela ikut menggabungkan diri. Mereka benar-benar melindungi
Prabhu Brawijaya ekstra ketat. Mereka siap tempur di Blambangan. Keadaan
darurat diberlakukan.
Selama ada di Blambangan, Prabhu Brawijaya
terus terusik batinnya. Raden Patah, yang biasa beliau banggil dengan
nama Patah itu, ternyata telah tega melakukan ini semua. Kebaikan beliau
selama ini dibalas dengan racun. Sabdo Palon dan Naya Genggong
menabahkan hati Sang Prabhu. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak patut
disesali lagi.
Kini, saatnya untuk menata kembali yang tersisa. Dan untuk tujuan itu, Prabhu Brawijaya harus menyeberang ke Pulau Bali.
No comments:
Post a Comment