Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya, disebutkan bahwa Maha Rsi
bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan
(Taro – Tegal Lalang, Gianyar, sekarang) .
Kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai
sarana upacara, mula-mula terbatas kepada para pengikutnya saja, lama
kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro.
Jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air, dan
api disebut “Bali”, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan
dengan menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali.
Jadi yang dinamakan orang Bali mula-mula adalah penduduk Taro.
Lama kelamaan ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang ke seluruh
pulau, sehingga pulau ini dinamakan Pulau Bali, dalam pengertian pulau
yang dihuni oleh orang-orang Bali, lebih tegas lagi pulau di mana
penduduknya melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara
(Bali).
Tradisi beragama dengan menggunakan banten kemudian dikembangkan oleh
Maha Rsi lain seperti: Mpu Sangkulputih, Mpu Kuturan, Mpu Manik
Angkeran, Mpu Jiwaya, dan Mpu Nirartha.
Sejak kapan sarana upakara itu berubah nama dari “Bali” menjadi
“Banten” dan mengapa demikian, sulit mencari sumber sastranya. Beberapa
Sulinggih yang saya hubungi ada yang menyatakan bahwa banten asal kata
dari wanten mengalami perubahan dari kata wantu atau bantu.
Jadi banten adalah alat bantu dalam pemujaan, sehingga timbul
pengertian bahwa bali atau banten adalah “niyasa” atau simbol keagamaan.
Umat Hindu melaksanakan ajaran Agama-nya antara lain melalui empat
jalan/ cara (marga), yaitu: Bhakti marga, Karma marga, Jnana marga, dan
Raja marga.
Bhakti marga dan Karma marga dilaksanakan sebagai tahap pertama yang
lazim disebut sebagai “Apara bhakti”, sedangkan tahap berikutnya sesuai
dengan kemampuan nalar diri masing-masing dilaksanakan Jnana marga dan
Raja marga yang disebut sebagai “Para bhakti”.
Pada tahap apara bhakti pemujaan dilaksanakan dengan banyak
menggunakan alat-alat bantu seperti banten, simbol-simbol dan jenis
upakara lainnya, seterusnya pada tahap para bhakti penggunaan banten dan
simbol-simbol lainnya berkurang.
Umumnya di Bali keempat marga itu dilaksanakan sekaligus dalam bentuk
upacara Agama dengan menggunakan sarana banten yang terdiri dari bahan
pokok: daun, bunga, buah, air ,dan api. Sarana-sarana itu mempunyai
fungsi sebagai:
Persembahan atau tanda terima kasih kepada Hyang Widhi.Sebagai alat
konsentrasi memuja Hyang Widhi.Sebagai simbol Hyang Widhi atau
manifestasi-Nya.Sebagai alat pensucian.Sebagai pengganti mantra.Karena
demikian sakralnya makna banten maka dalam Yadnya prakerti disebutkan
bahwa mereka yang membuat banten hendaknya dapat berkonsentrasi kepada
siapa banten itu akan dihaturkan/ dipersembahkan.
Dalam Buku Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu sebagai
hasil Paruman Sulinggih yang disahkan PHDI disebutkan bahwa seorang
Tukang Banten hendaknya sudah mensucikan diri dengan upacara Pawintenan
(sekurang-kurangnya ayaban Bebangkit).
Tujuannya adalah agar Tukang Banten sudah mengetahui tata cara dan
aturan-aturan dalam membuat banten misalnya dengan konsentrasi penuh
melaksanakan amanat pemesan banten yang akan mempersembahkannya kepada
Hyang Widhi.
Di kala membuat banten kesucian dan kedamaian hati tetap terjaga,
antara lain tidak mengeluarkan kata-kata kasar, tidak dalam keadaan
kesal atau sedih, tidak sedang cuntaka, tidak sedang berpakaian yang
tidak pantas, menggaruk-garuk anggota badan, atau membuat banten di
sembarang tempat.
Disimpulkan bahwa ketika membuat banten, dikondisikan situasi yang
suci, sakral, konsentrasi penuh, rasa bhakti dan kasih sayang kepada
Hyang Widhi. Lihatlah ketika banten disiapkan untuk upacara besar di
Besakih, tempat membuat banten disebut sebagai “Pesucian” yang tidak
boleh dimasuki oleh sembarang orang atau orang yang tidak
berkepentingan.
“Dewasa” atau hari baik untuk mulai membuat banten ditetapkan dengan
teliti oleh para Sulinggih. Dalam puja-stuti pereresik banten juga
diucapkan doa agar banten tidak dilangkahi anjing, ayam, atau dipegang
oleh anak kecil, atau orang yang sedang cuntaka. Beberapa jenis banten
utama bahkan hanya boleh dibuat oleh Sang Dwijati, misalnya Catur, dan
Pangenteg Gumi.
Untuk menegaskan penting dan sakralnya banten, Mpu Jiwaya salah
seorang tokoh pemimpin Agama di abad ke-10 mengajarkan membuat
“reringgitan” dengan bahan daun kelapa, enau atau lontar. Reringgitan
itu kadang demikian sulit sehingga konsentrasi kita harus penuh. Jika
tidak, bisa reringgitannya rusak atau tangannya yang teriris pisau.
No comments:
Post a Comment